Peran media sosial sangat signifikan dalam menyebarkan informasi di antara para penggunanya, seperti saat kita membentuk sebuah grup di media sosial, kita bisa dengan mudah mendapatkan dan berbagi informasi dengan anggota grup. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, media sosial bisa menjadi alat yang paling mudah untuk menyebarkan berita palsu atau hoax. Penyebaran hoax melalui media sosial semakin meningkat ketika orang yang menerima pesan pertama kali tidak mampu berpikir secara kritis.
Chen et al. dalam jurnalnya berjudul "Email Hoax Detection System Using Levenshtein Distance Method" mengemukakan bahwa hoax atau informasi palsu dapat berbahaya karena dapat mempengaruhi persepsi manusia dengan menyajikan informasi palsu sebagai kebenaran. Hoax dapat menodai citra dan kredibilitas seseorang dan mempengaruhi banyak orang. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoax dapat diartikan sebagai berita bohong. Di dalam Oxford English Dictionary, hoax didefinisikan sebagai malicious deception atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat.
Dilansir dari website Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Artinya, Indonesia masih dibayang-bayangi kasus Hoax yang seharusnya bisa dicegah dengan menerapkan sikap kritis masyarakat khususnya mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa Indonesia. Ada beberapa kasus hoax terkait berbagai sector baik politik, bencana dan lain sebagainya yang sempat memuncak dan populer dikalangan Masyarakat Indonesia seperti kasus hoax "Babi ngepet", kasus hoax "Ratna Sarumpaet", kasus hoax "telur palsu dan telur plastik", dan kasus hoax lainnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa berita hoax memiliki dampak negatif yang sangat besar, seperti merugikan pihak tertentu, merusak reputasi seseorang, menyebarkan fitnah, mengalihkan isu yang sebenarnya penting, dan bahkan bisa menjadi bentuk penipuan publik.
Berpikir kritis ini juga saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam mencegah penyebaran hoax yang merajalela di berbagai media social di Indonesia. Salah satu pengalaman saya mengenai berpikir kritis ini adalah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya terdapat beberapa kasus yang pernah saya temui di media social, kemudian saya berpikir kritis tentang kasus tersebut dibarengi dengan penelusuran kebenarannya melalui berbagai berita atau literature yang berkaitan dengan kasus tersebut hingga saya temukan ternyata kasus tersebut adalah hoax.Â
Hal terpenting lainnya adalah dengan menanamkan sikap menumbuhkan literasi digital dan media. Dengan mengembangkan sikap seperti itu, diharapkan orang dapat mengevaluasi pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersial dan politik di balik citra atau pesan media, serta meneliti siapa yang bertanggung jawab atas pesan atau gagasan yang disiratkan dalam berita. Literasi media mencakup cara memahami, mengakses, mengevaluasi, dan memproduksi media. Memahami artinya adalah bagaimana masyarakat dapat memilih jenis informasi yang diinginkan. Karena begitu banyaknya informasi yang mudah didapatkan, masyarakat perlu memilih dengan bijak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa keahlian berpikir kritis sangat penting dalam mengolah informasi yang diterima seseorang, terutama melalui media sosial, untuk menghindari terjebak pada informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini terbukti bahwa seseorang yang tidak memiliki literasi digital dan media cenderung menerima informasi secara pasif dan tidak kritis, sehingga dapat terpengaruh oleh informasi yang salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H