Laut Cina Selatan merupakan salah satu wilayah yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah sekaligus menjadi salah satu jalur perdagangan terbesar dunia. Oleh karenanya, banyak pihak di kawasan tersebut memiliki kepentingan terhadap kepemilikan wilayah sumber ini mengingat melimpahnya sumber daya alam salah satunya klaim Cina atas wilayah kepulauan Natuna yang merupakan bagian integral dari Indonesia. Adapun klaim Cina atas kepulauan Natuna didasarkan pada "Nine Dash Line" yang membentuk sembilan garis putus pada tahun 2009 yang beririsan dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia sejauh 200 mil dari garis pantai.
Kapal nelayan Cina seringkali memasuki wilayah perairan timur kepulauan Natuna dengan diiringi kapal Chinese Coast Guard di wilayah ZEE indonesia. Indonesia sejatinya memiliki hak penuh atas wilayah Natuna beserta ZEEnya berdasarkan United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) yang telah diratifikasi pada tahun 1985.Â
Tindakan pelanggaran wilayah ini telah terjadi semenjak tahun 2019 ketika Aliansi Nelayan Natuna menangkap pergerakan kapal-kapal asing di Laut Natuna Utara. Hal ini menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan Indonesia yang jikalau dibiarkan dapat meruntuhkan kedaulatan indonesia atas wilayah tersebut. Oleh karenanya, Indonesia perlu merespons atas tindakan China ini salah satunya melalui upaya diplomasi militer.
Sebelum membahas apa itu diplomasi militer, alangkah baiknya mengetahui pengertian diplomasi itu sendiri. Menurut Harold Nicholson, diplomasi diartikan sebagai manajemen urusan internasional melalui negosiasi yang metodenya disesuaikan dengan kepentingan seorang duta besar, utusan bisnis atau para diplomat.Â
Diplomasi memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan nasional suatu negara dari negara lain. Adapun diplomasi militer atau juga disebut sebagai diplomasi pertahanan merupakan cabang dari diplomasi yang bertuan untuk melaksanakan kerjasama militer yang kemudian dapat mengurangi ketegangan antarngera.
Salah satu upaya diplomasi yang pernah Indonesia lakukan dalam menanggapi konflik Laut Cina Selatan adalah dengan mengadakan kerjasama latihan militer gabungan dengan negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) melalui ASEAN Solidarity Exercise Natuna 2023 (ASEX-01N).Â
Latihan militer gabungan ini diadakan pada 19 September 2023 yang pada waktu itu diikuti oleh 10 negara ASEAN dan dari pihak observer diikuti oleh Timor Leste. Kerjasama ini memiliki urgensi untuk mempersatukan negara-negara ASEAN di tengah konflik Laut China Selatan.
Latihan militer gabungan  ASEX-01N melibatkan Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) dalam berbagai kegiatan non-kombatan di antaranya meliputi pengamanan kawasan maritim, serta pencarian dan penyelamatan. Indonesia memiliki harapan besar agar kerjasama militer ini menjadi sarana untuk memperkuat kapabilitas militer dalam memelihara perdamaian, kesejahteraan, dan keamanan di kawasan mengingat adanya konflik Laut China Selatan yang mempengaruhi stabilitas kawasan.
Pada kesempatan latihan militer gabungan ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengirimkan armada perang lautnya yaitu KRI dr. Radjiman Wedyodiningrat-992 serta KRI Jhon Lie-358. Tak hanya sampai di situ, Malaysia pun turut mengirimkan kapal patrolinya KD Trengganu, Brunei Darussalam pun mengirimkan kapal patrolinya KDB Derulehsan, serta Singapura juga mengirimkan aramada perang laut tipe kapal korvet RSS Vigour. Adapun kapal-kapal tersebut melakukan patroli di Laut Natuna Utara selama 18-23 September 2023.
Dengan adanya kerjasama militer seperti yang dilakukan Indonesia dalam latihan gabungan ASEX-01N ini tentu diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi agresivitas China yang kerap melintasi wilayah perairan Natuna. Kekuatan kolektif menjadi penting untuk menanggulangi ancaman yang datang dari luar karena dengan mengumpulkan kekuatan maka dapat meningkatan efektivitas pertahanan. Tak hanya sampai di situ, ketika kerjasama militer terjalin itu juga dapat mengurangi ketegangan yang potensial terjadi di antara negara-negara ASEAN itu sendiri.
Kedaulatan merupakan salah satu unsur yang tidak boleh terlepas dari suatu negara sebagaimana diatur dalam Konvensi Montevidio 1933. Oleh karenanya, menjaga kedaulatan adalah tugas yang wajib diemban oleh negara khususnya Indonesia itu sendiri. Mengingat bahwasanya kalau kedaulatan itu hilang maka ancaman dari pihak luar menjadi terelakkan. Agresivitas China di wilayah Kepulauan Natuna adalah ancaman nyata terhadap kedaulatan Indonesia yang pada akhirnya memerlukan diplomasi militer sebagai upaya untuk mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia.