Mohon tunggu...
Mr Lee
Mr Lee Mohon Tunggu... -

belajar menulis sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Janjimu.... Kau Dustai dan Kini Menebar Janji-janji Baru....

15 November 2015   06:15 Diperbarui: 12 April 2018   11:05 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi masih lengang belum terdengar bisingnya kendaraan. Udara sejuk segar setelah tadi malam turun hujan. Ia nongkrong di warung kopi di pinggir jalan. Ia duduk sambil nyeruput kopi panas legi dan kental (nasgitel). Diambilnya satu pisang goreng masih hangat dan renyah. Ia mulai ngobrol dengan penjual warung itu.
“Mas, aku yakin sampean milih banteng.”
Lho kok tahu?”
“Ya tahu dong... itu ada gambar bertanduk lagi nyeruduk!”
“Ya Mas. Ia berjanji berkali-kali, tapi janjinya hanya sebagian kecil yang ditepati. Dulu janji lima tahun, baru setengah jalan sudah berhenti. Lalu ia pindah ke Jakarta, sama saja. Kalau sekarang mungkin bisa diselesaikan lima tahun, hanya janji-janji sulit ditepati...”
“Betul Mas baru terpilih sudah berani menaikan BBM, lalu turun naik...  Yang lain menyusul dinaikkan!!“
“Masih banyak janji-janjinya, segudang mungkin...”
“Memang Mas mencatat jumlah janji-janjinya ketika kampanye dulu? Kok tahu segudang...?”
“Kan aku bilang, mungkin...”
“O iyaa.. betul juga sampean, mungkin”
“Yang jelas Mas, jika aku belanja di pasar harga-harga naik. Ongkos transport naik. Jadi, sekarang aku harus persiapkan tambahan dana belanja. Dulu dan sekarang sama saja Mas, yang hidup enak ya.. para pejabat.”
“Yang enak pejabat mana? Memang sampean tahu?”
“Itu pejabat yang kelihatan di tv. Mereka saling menyerang. Saling menuding. Pakai stelan jas. Pakai mobil mewah. Dapat fasilitas. Lha kita?!”
“Jangan iri Mas. Atau dengki. Mereka kan sudah mikir. Mereka memikirkan rakyat Mas. Wajar kan jika dapat fasilitas negara? Lha kita apa?”
“Kita ya... rakyat. Warga negara. Berhak mendaoat keadilan dan kesejahteraaan.... Itu tertera di Pancasila! Masak tidak boleh protes?!”
“Kata bapak-bapak itu, kita ini negara demokrasi, boleh protes, tapi tidak boleh anarkis atau dengan kata-kata kasar sarkastis. Protes boleh, tapi harus menggunakan bahasa yang baik dan benar, halus lembut dan tidak menyinggung perasaan orang...Mas. Jika menyinggung nama baik orang, apalagi pejabat, bisa kena pasal 'pencemaran nama baik'!”
“Maksudnya?”
“Mbuh Mas! Aku nggak ngerti. Aku ra mikir. Yang penting hidup mengalir seperti air...”
“Ya Iyaa Mas. Kalau seperti roda, namanya menggelinding hehehe.......”
“O... hari sudah siang. Tak terasa Mas. Berapa semuanya?
“Lima ribu saja Mas.”
“Terima kasih”

Warga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun