Sebagai mahasiswa sebuah universitas negeri di Jogja tentu tidak asing lagi dengan yang namanya "Klitih". Kata ini sudah terdengar di telinga saya jauh sebelum merantau ke Jogja. Walau kata "Klitih" ini sedikit memberikan saya stigma negatif terhadap Jogja tapi itu tidak membuat saya mengurungkan niat untuk merantau ke kota pendidikan ini. Hanya saja dalam perjalan waktu terkadang pemberitaan klitih mendatangkan sedikit kekhawatiran terlebih ketika ada kegiatan yang sampai larut malam.
Dilansir dari tulisan Aris dalam artikel Gramedia Blog, Klitih menurut Drs. Soeprapto, S.U dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang yang sifatnya positif. Seiring berjalannya waktu kata ini mengalami pergeseran makna. Hari ini klitih diartikan sebagai aktivitas kriminal khususnya di wilayah Yogyakarta.
Klitih umumnya dilakukan oleh sekelompok remaja di waktu tengah malam. Klitih ini rupanya telah terstruktur. Belakangan diketahui kalau klitih ini memiliki struktur organisasi mulai dari ketua hingga bendahara. Layaknya organisasi pada umumnya kelompok klitih ini juga melakukan penerimaan anggota baru yang disertai dengan pembekalan.
Sedikit berbeda dengan pembegalan, aksi klitih sendiri tidak bertujuan untuk merampas barang pengendara lain melainkan menyerang personal yang dianggap sebagai musuh yang berasal dari kelompok/geng lain. Aksi klitih ini biasanya terjadi pada pukul 23:00 hingga dini hari, hal ini yang membuat mahasiswa di Jogja ketika berkegiatan hingga larut malam khawatir.
Klitih adalah salah satu fenomena di mana moral pada generasi mudah mulai menghilang. Lantas, apa kegunaan pendidikan kewarganegaraan yang digadang-gadang sebagai sarana pendidikan moral di lingkungan sekolah hingga perguruan tinggi. Degradasi moral yang sangat signifikan ini bukan hanya merugikan personal yang menjadi pelaku tentu fenomena ini telah memakan banyak korban. Alih-alih menjadikan pendidikan kewarganegaraan sebagai sarana pendidikan moral justru pelajaran ini memiliki banyak kekurangan, wajar seruan untuk kembali ke PMP (Pendidikan Moral Pancasila) sempat bergema hingga dibahas di lingkungan kementrian.
Jika kita melihat kembali seluruh materi yang diajarkan dalam perangkat pembelajaran pendidikan kewarganegaraan hampir semua materinya sangat teoristis. Di mulai dari materi mengenai ide-ide yang melahirkan Pancasila, filosofi Pancasila, Pancasila dan UUD 1945, implementasi Pancasila dalam norma bermasyarakat dan masih banyak lagi. Itu semua sangat teoristis.
Sedangkan seperti yang kita ketahui bersama yang namanya mengajarkan moral Pancasila bukan hanya sebatas teori tapi perlu silabus pembelajaran dimana para pelajar melihat dan dapat merasakan nilai-nilai moral yang diajarkan. Perlu adanya evaluasi kembali terhadap substansi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang ada di sekolah-sekolah.
Seharusnya pendidikan kewarganegaraan yang hadir untuk mengatasi degradasi nilai-nilai moral terhadap generasi muda. Bukan hanya sebatas ceramah kelas yang penuh dengan filosofis dan teori tetapi pelajaran ini mampu membuat para generasi muda sadar akan pentingnya menanamkan moral Pancasila demi terwujudnya cita-cita bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H