Pendidikan adalah kunci utama kemajuan bangsa. Saat kehancuran Jepang oleh tentara sekutu di akhir perang dunia kedua, hal pertama yang dilakukannya adalah menyelamatkan dunia pendidikannya terlebih dahulu dengan mencaritahu berapa banyak guru yang selamat pada tragedi tersebut. Pendidikan menjadi kunci penting kebangkitan masif bangsa tersebut setelah terpuruk akibat serangan besar bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 yang lalu.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Potensi yang dimilikinya sangatlah luar biasa besar. Berdasarkan sensus penduduk terakhir tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah 237.641.326 jiwa yang termasuk terbesar keempat dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Potensi sumber daya alam juga tidak kalah luar biasa. Hal ini harus diimbangi dengan pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia yang baik, agar Indonesia mampu menjadi negara yang maju dan berdikari. Bagaikan Jepang, Indonesia sebenarnya memiliki usia yang tidak jauh berbeda jika dihitung dari akhir kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua, namun Jepang berhasil bangkit dan membenahi sumber daya manusianya melalui sistem pendidikannya yang detail, excellent, dan menjangkau semua remote area.
Kurang Meratanya Kualitas Pendidikan Hingga Remote Area
Kelemahan dari sistem pendidikan di Indonesia nampak dari lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap pelaksana teknis hingga tingkat paling bawah. Daerah-daerah di Indonesia terbagi ke dalam zona urban, sub-urban, dan rural area. Dengan jumlah desa/kelurahan mencapai 79.702 di seluruh Indonesia, tentu sangat sulit bagi pemerintah pusat untuk hanya bermodalkan data statistik terpusat dan mengambil kebijakan makro berlandaskan data statistik tersebut. Mengontrol pelaksaan seluruh program pemerintah hingga detail remote area tentu sangat sulit, terlebih jika infrastruktur nasional masih belum memadai untuk melakukan integrasi masif tingkat nasional.
ilustrasi : komparasi pendidikan di kota dan pendidikan di remote area
Hingga kini, masih ada gap antara urban, sub-urban, dan rural area. Tidakmendukungnya infrastruktur penunjang transportasi antara urban, sub-urban, dan rural diakibatkan kualitas jalan yang kurang baik, debit jalan yang terlalu besar, dan transportasi umum yang masih belum terintegrasi dengan baik masih menjadi akar masalah yang berakibat pada senjangnyakualitas sarana dan prasarana antaraurban, sub-urban, dan rural area. Hal ini tentu berakibat pada kurang meratanya kualitas pendidikan antara satu zona dengan zona yang lain. Secara umum, kasus seperti ini terjadi di setiap daerah, dimana pendidikan berkualitas dengan sarana dan prasarana yang memadai hanya tersedia di zona urban terdekat (pusat kota) sedangkan masing-masing remote area (rural area) biasanya berjarak sangat jauh dari pusat kota terdekat, dengan jenis medan tempuh yang bermacam-macam. Lantas, bagaimana kualitas pendidikan di daerah remote area kalau kondisinya seperti ini? Tentu saja terjadi gap, karena informasi tentu akan mengalir deras ke pusat kota terdekat. Para penduduk di zona sub-urban atau bahkan zona rural harus menjemput bola pergi ke pusat kota terdekat untuk mendapatkan trend informasi terkini jika tidak ingin ketinggalan informasi.
Sebuah contoh sederhana saya gunakan untuk menggambarkan kasus ini. Katakanlah, terdapat seorang siswa berbakat dan memiliki tingkat intelektualitas yang baik ternyata ditakdirkan terlahir di daerah remote area. Dalam kasus ini, untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya, ada dua hal yang bisa dilakukan, yakni: merantau ke pusat kota terdekat agar mendapatkan fasilitas dan pembinaan terbaik, atau tetap tinggal dan mengenyam pendidikan di daerah tempat tinggalnya, namun harus melakukan kalibrasi diri dengan pergi secara rutin ke pusat kota untuk mendapatkan trend informasi terkini mengenai dunia pendidikan (misal, trend olimpiade sains, skala persaingan, kualitas sarana dan prasana penunjang belajar, buku-buku terkini sebagai referensi belajar, dsb). Jika ditinjau dari segi ekonomi, keduanya ternyata membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yakni biaya living cost maupun transportation cost. Tentu saja hal ini sangat membebani siswa berbakat tersebut dalam menembus persaingan pendidikan meski hanya tingkat lokal sekalipun. Kasus seperti ini tidak akan terjadi apabila zona urban, sub-urban, dan rural telah terintegrasi dengan baik sehingga tidak terjadi kesenjangan antara satu zona dengan zona yang lain.
Self-Distance Learning dan Dukungan Teknologi Telekomunikasi Low Cost untuk Pangsa Pasar Remote Area
Solusi alternatif yang bisa diambil oleh siswa tersebut adalah Self Distance Learning. Dengan menggunakan teknologi telekomunikasi low cost, self-distance learning dapat dengan mudah dilakukan oleh setiap kalangan. Kini, siswa tersebut tak perlu lagi pergi jauh ke pusat kota terdekat hanya supaya tidak ketinggalan informasi seputar pendidikan. Dengan menggunakan teknologi telekomunikasi low cost, siswa yang berasal dari daerah bahkan mampu memperoleh update informasi terbaru seputar pendidikan yang dia inginkan, tidak sebatas pada daerahnya saja, namun sudah dapat go beyond menembus batas daerah masing-masing. Dengan pemanfaatkan teknologi telekomunikasi nirkabel yang kini semakin pesat perkembangannya, setiap orang jadi memiliki hak akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas.
Ilustrasi : Pemanfaatan teknologi telekomunikasi yang tepat mampu menunjang self-distance learning dan mampu membantu siswa dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi terbaru dengan cepat
Adanya teknologi telekomunikasi low cost dimaksudkan untuk menggapai pangsa pasar zona remote area, sehingga para user di zona remote area nantinya dapat menikmati pelayanan telekomunikasi nirkabel jarak jauh yang dapat menunjang terlaksananya self-distance learning. Dengan terjadinya self-distance learning, diharapkan nantinya para pelajar di daerah dapat memiliki motivasi belajar yang sama dengan siswa-siswa yang berada di kota akibat meratanya hak akses terhadap informasi.
Tercapainya Integrasi Masif Dunia Pendidikan Indonesia dengan adanya Implementasi Teknologi Telekomunikasi dan Informasi
Indonesia memang sedang tahap berbenah, perlahan tapi pasti. Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, telah termaktub perancangan pembangunan nasional ke depan dalam berbagai bidang untuk menunjang pemerataan perekonomian nasional. Pembangunan masif dan berkelanjutan masih sedang digalakkan oleh pemerintah, demi pemerataan hak akses hingga remote area. Pembangunan infrastruktur sedang dalam tahap penyelesaian satu demi satu, agar semua daerah dapat terintegrasi dengan baik secara nasional.
Teknologi telekomunikasi adalah sebuah teknologi yang mampu membantu pemerintah untuk pemerataan pembangunan. Dengan adanya teknologi telekomunikasi nirkabel, dunia pendidikan di Indonesia akan lebih terintegrasi antara satu dengan yang lain. Pemerataan kualitas sumber daya manusia diharapkan akan terjadi akibat pemerataan hak akses setiap orang terhadap segala macam informasi yang dibutuhkan, sehingga diharapkan integrasi masif akan terjadi dalam skala nasional dan meminimalisir kesenjangan antara zona urban, sub-urban, dan rural area. Dengan meratanya kualitas pendidikan akibat meratanya hak akses terhadap informasi, diharapkan kualitas sumber daya manusia akan turut serta meningkat dan mendorong Indonesia menjadi negara maju dan berdikari ke depannya.
NB:
1. Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi penulis, didedikasikan untuk pelajar-pelajar di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki semangat luar biasa berihtiar menjadi agent of change bangsa di masa depan.
2. Penulis adalah mahasiswa pascasarjana di UKM Graduate School of Business, Malaysia. Sebelumnya pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Teknik Elektro ITS Surabaya bidang Telekomunikasi dan Multimedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H