Kasus korupsi masih menjadi polemik dan kasus yang marak terjadi di Sistem Kepemimpinan Indonesia. Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, DPR, DPRD, PNS, bahkan Pemerintahan yang harusnya menjadi yang pertama untuk menegakkan hukum justru masih terdapat oknum -- oknum yang melakukan tindakan korupsi yang sangat merugikan masyarakat.Â
Menurut Indeks Persepsi Korupsi 2020 yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara dengan skor 37 dari 100. Skor ini menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi dan membutuhkan upaya pemberantasan yang serius dan komprehensif. Upaya pencegahan korupsi telah banyak dilakukan untuk mengurangi korupsi di Indonesia, namun belum membuahkan hasil yang signifikan. Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya melibatkan penegakan hukum, tetapi juga pencegahan dan edukasi. Â Â
Salah satu aspek penting dalam edukasi pencegahan korupsi adalah Sifat Seorang pemimpin dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh calon -- calon penerus bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Gaya kepemimpinan yang baik akan memperbaiki cara atau karakteristik seorang pemimpin dalam mempengaruhi, mengarahkan, memotivasi, dan mengendalikan bawahan atau anggota organisasi agar bekerja secara efektif dan efisien. Gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi budaya, iklim, dan perilaku organisasi, termasuk dalam hal integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Dengan demikian, dampak -- dampak dari gaya kepemimpinan tersebut akan membawa perubahan yang nyata terhadap kasus korupsi dengan memberikan kesadaran dalam diri masing -- masing pemimpin dan bawahannya bahwa korupsi adalah hal yang sangat merugikan bangsa dan negara serta masyarakatnya. Â
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi secara optimal, sekaligus menjaga nilai-nilai moral, etika, dan hukum. Pemimpin yang baik juga harus mampu menginspirasi, memberdayakan, dan mengembangkan potensi bawahan atau anggota organisasi, serta mendorong partisipasi, kolaborasi, dan inovasi. Selain itu, Pemimpin yang baik harus bersifat adaptif, fleksibel, dan responsif terhadap perubahan dan tantangan yang dihadapi organisasi. Dengan seorang pemimpin memiliki watak -- watak seperti itu, maka para bawahan nya akan meniru watak yang dicerminkan oleh pemimpin nya. Â
Salah satu tokoh yang dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang baik adalah Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengkubuwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo yang lahir pada tahun 1892. Ia memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas Kudiarmadji dan kemudian berganti nama menjadi Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram. Namun, ia menanggalkan gelar dan kedudukan kebangsawannya dan memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa. Ia menjadi guru dari aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Bahagia. Ia juga dikenal sebagai filsuf, penulis, dan pendidik yang banyak memberikan sumbangsih bagi bangsa Indonesia.Â
Salah satu ilmu dan ajaran terkenal yang disebarkan oleh Ki Ageng Suryomentarem adalah Kawruh Begja atau Ilmu bahagia. Pada ajaran ini, terdapat konsep 6 " Sa " yang diperkenalkan oleh Ki Ageng SuryomentaremÂ
- Sa-butuhne ( Sebutuhnya ) : artinya kita harus hidup sederhana dan hemat, tanpa menghambur-hamburkan harta atau memboroskan waktu. Kita harus membedakan antara kebutuhan dan keinginan, antara penting dan tidak penting, antara mendesak dan tidak mendesak. Kita harus memprioritaskan hal-hal yang bermanfaat dan berguna, tanpa tergoda oleh hal-hal yang sia-sia dan mubazir. Dengan begitu, kita akan merasa cukup dan puas dalam hidup.
- Sa-perlune ( Seperlunya ) : artinya kita harus berbuat sesuai dengan tujuan dan maksud yang kita inginkan, tanpa menyimpang atau mengada-ada. Kita harus memiliki rencana dan strategi yang jelas dan terarah, tanpa asal-asalan atau sembarangan. Kita harus berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh dan tekun, tanpa malas atau menyerah. Kita harus mengukur dan mengevaluasi hasil dan dampak yang kita capai, tanpa sombong atau puas diri. Dengan begitu, kita akan merasa berhasil dan berkembang dalam hidup. Â
- Sa-cukupe ( secukupnya )Â : artinya kita harus mengenal dan menghargai kemampuan dan keterbatasan yang kita miliki, tanpa membanding-bandingkan atau merendahkan diri. Kita harus belajar dan berlatih untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi dan bakat yang kita punya, tanpa meniru atau mencontek orang lain. Kita harus berani dan percaya diri untuk menunjukkan dan mengekspresikan diri kita, tanpa takut atau ragu. Kita harus bersikap dan bertingkah laku yang sesuai dengan kepribadian dan karakter kita, tanpa palsu atau hipokrit. Dengan begitu, kita akan merasa unik dan berharga dalam hidup.
- Sa-benere ( sebenarnya ) :Â artinya kita harus mengakui dan menghadapi kenyataan dan kebenaran yang ada, tanpa berbohong atau menipu. Kita harus jujur dan transparan dalam ucapan dan perbuatan kita, tanpa dusta atau manipulasi. Kita harus kritis dan objektif dalam pandangan dan pendapat kita, tanpa prasangka atau fanatisme. Kita harus terbuka dan toleran dalam sikap dan perilaku kita, tanpa munafik atau diskriminasi. Dengan begitu, kita akan merasa jernih dan damai dalam hidup. Â
- Sa-mesthine ( semestinya ) : artinya kita harus menjalankan dan memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang kita emban, tanpa mengelak atau menunda-nunda. Kita harus taat dan patuh kepada aturan dan norma yang berlaku, tanpa melanggar atau menentang. Kita harus hormat dan sopan kepada orang yang lebih tua dan berpengalaman, tanpa sombong atau kurang ajar. Kita harus peduli dan tolong-menolong kepada orang yang lebih muda dan membutuhkan, tanpa acuh atau egois. Dengan begitu, kita akan merasa terhormat dan bermanfaat dalam hidup.
- Sak penake ( seenaknya ) : artinya kita harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada, tanpa memaksakan kehendak atau menuntut hak. Kita harus menerima apa adanya, tanpa mengeluh atau meratapi nasib. Kita harus bersyukur atas apa yang kita miliki, tanpa iri atau dengki. Kita harus berdamai dengan diri sendiri, tanpa merasa bersalah atau minder. Dengan begitu, kita akan merasa nyaman dan tenang dalam hidup. Â
6 " Sa " dalam konsep ini memberikan salah satu kunci dalam menggapai hidup yang bahagia, yaitu mengendalikan keinginan kehidupan. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan keinginan yang ada pada dirinya jika keinginan itu sudah melanggar salah satu dari 6 " Sa " yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentarem. Dengan kemampuan pengendalian diri, seorang pemimpin dan bawahan nya akan dapat terhindar dari keinginan melakukan tindak korupsi. Â Â
Selain Konsep 6 " Sa ", Ki Ageng Suryomentarem juga memperkenalkan konsep " Mulur, Mungkret ". Konsep " Mulur, Mungkret " menjabarkan tentang gejolak pergerakan keinginan manusia dan dampak nya kepada kebahagiaan hidup seseorang. Pada konsep ini, Ki Ageng Suryomentarem menjelaskan bahwa keinginan pada diri manusia bersifat " Mulur " dan  " Mungkret " yang makna nya keinginan manusia akan meningkat atau menyusut tergantung dengan kondisi yang sedang dialami.Â
Keinginan manusia akan mulur apabila sudah mencapai keberhasilan dalam hidup, seperti jabatan, kekuasaan, atau kepuasan. Pada kondisi ini, seseorang akan cenderung mulur atau meningkatkan keinginan nya secara serakah. Namun, keinginan manusia akan mungket ketika dirinya berada dalam kegagalan dalam mencapai atau menggapai sesuatu, maka keinginan seseorang cenderung akan mungkret atau menyusut dan menurun. Â
Pada konsep " Mulur, Mungkret ", Ki Ageng Suryomentarem mengajarkan bahwa semua hal adalah fana, sementara, dan dapat hilang sewaktu -- waktu. Seorang pemimpin, harus bisa menganggap bahwa jabatan dan kekuasaan yang dimiliki nya adalah sebuah hal yang sementara, sehingga dapat menghindarkan seorang pemimpin dari sifat serakah dan mengambil suatu hal yang bukan hak nya. Seorang pemimpin yang bisa mengimplementasikan ajaran " Mulur, Mungket " akan dapat mengontrol diri untuk selalu bersyukur dengan apa yang dimiliki dan menghindarkan nya dari keburukan - keburukan seperti korupsiÂ