“Di antara tanda-tanda hamba Allah terkasih adalah orang yang ketika melakukan konsumsi tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Dia melakukannya dengan seimbang” (Q.S. Al-Furqan, 67)
Fenomena inflasi di bulan Ramadhan sepertinya sudah menjadi “menu Ramadhan” di berbagai negara tak terkecuali di Indonesia. Makanya, ketika ada kompetisi penulisan blog tentang Ramadhan Stabil yang digagas oleh Bank Indonesia, saya menyatakan salut dan memberikan apresiasi yang cukup tinggi karena BI ternyata sudah melihat fenomena ini bisa mengarah kepada sesuatu yang mengkhawatirkan jika tidak disikapi dengan baik.
Setahu saya, dalam setiap materi dakwah atau tausiyah para ustaz/da’i di bulan Ramadhan, biasanya selalu saja ada ajakan untuk mengendalikan konsumsi. Para da’i dengan gencar menyerukan kaum muslimin untuk tidak melakukan “excessive comsumption” di bulan yang seharusnya merupakan momentum pengendalian segala hal fisik dan menguatkan unsur ruhani (metafisik).
Kendati ada seruan para ustaz, nyatanya –dalam pantauan subjektifitas penulis- selalu saja masalah peningkatan konsumsi terjadi. Anehnya, beberapa fenomena lain lain juga meningkat, katakanlah, tingkat kriminalitas. Para penjahat sepertinya juga ikut “berlomba” mengejar “THR” menyambut Idul Fitri. Sayangnya mereka tak perduli halal atau haram. Demikian pula, banyak masyarakat yang mendatangi lembaga pengadaian dan meningkatnya jumlah pembiayaan leasing dan penyewaan kendaraan yang akan digunakan selama Idul Fitri. Katanya sih, banyak pemudik yang memaksa diri untuk mudik dengan kendaraan sewa atau leasing sekedar untuk menunjukkan bahwa dia telah berhasil di kota. Wallahu a’lam.
Bank Indonesia bahkan melaporkan bahwadalam tiga tahun terakhir, selalu terjadi inflasi pada Ramadhan dan Idul Fitri. Menariknya, komoditi yang selalu menjadi penyumbang inflasi relatif tidak mengalami perubahan yaitu, aneka daging, bumbu dan tentunya beras. Penyumbang utama inflasi selama Ramadhan dan Idul Fitri berasal dari kota-kota di Kawasan Jawa. Namun demikian, kota di Kawasan Sumatera dan Kawasan Timur Indonesia juga cenderung memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dibandingkan kota di Kawasan Jawa Dalam 3 (tiga) tahun terakhir, di kawasan Sumatera kota yang mencatat inflasi tinggi selama ramadhan adalah Pangkal Pinang dan Bengkulu, Samarinda Balikpapan, Depok dan Bekasi.
Pertanyaan yang layak diajukan tentu saja “mengapa peningkatan konsumsi justru meningkat, padahal di siang hari, umat Islam tidak makan dan minum?, apakah terjadi “aksi balas dendam” di malam hari atau waktu sahur?”.
Pertanyaan di atas tentu cukup menggelitik. Saya jadi ingin tahu, jangan-jangan tingkat obesitas umat Islam di Bulan Ramadhan justru meningkat. Kalau ini terjadi tentulah keheranan kita akan menjadi-jadi.Saya pernah pula membaca berita bahwa ada kejadian seorang penjahat yang tertangkap mencuri di bulan Ramadhan. Setelah diinterogasi oleh polisi si pelaku mengaku bahwa ia nekat melakukan aksi itu karena desakan biaya untuk mudik Idul Fitri. Nah, menarik dan miris juga bukan..?
Saya berpikiran bahwa fenomena inflasi Ramadhan dan efek lain yang ditimbulkannya itu bisa jadi merupakan sebuah kekhasan bangsa Indonesia semata. Artinya, bagi sebagian besar umat Islam di negeri ini, momentum Ramadhan ternyata juga dipahami sebagai momentum melaksakan tradisi budaya seperti budaya mudik, buka puasa bersama, saling silaturahim, dll. Budaya ini cenderung menjadi “high cost” apalagi ketika perayaan Idul Fitri nantinya dimana banyak masyarakat beranggapan bahwa semua harus tampil baru. Artinya, jika kita mengkaitkannya dengan tradisi budaya maka bisasaja ukurannya tidak lagi sebatas konsumsi tapi sudah melibatkan ukuran lain yang terkadang di luar logika kita.
Begitupun, secara ideal, tetap saja fenomena peningkatan inflasi atau konsumsi di bulan Ramadhan maupun Idul Fitri tidak seharusnya terus “dibudayakan” apalagi sampai berlebihan. Saya mencoba mencari fakta dalam sejarah Islam, apakah sejarah Islam mengenal fenomena Ramadhan seperti yang kita alami saat ini. Sayangnya saya belum menemukannya.Yang saya ketahui bahwa umat Islam periode awal Islam sangat ketat dalam mengkonsumsi sesuatu apalagi di bulan Ramadhan. Bukankah Rasul dahulu mengajari para sahabat dan keluarganya untuk berbuka hanya dengan kurma dan air putih saja..?
Tapi saya yakin, perubahan pola konsumsi masyarakat dari masa ke masa terus mengalami perubahan dan alasaan mengkonsumsi juga semakin kompleks terlebih dengan adanya kemajuan media informasi digital maupun cetak saat ini yang menyemarakkan berbagai iklan makanan, minuman, kendaraan, dll.
Apa Yang Harus Dilakukan ?
Ramadhan seharusnya benar-benar disikapi sebagai bulan pengendalian konsumsi. Ayat di atas seharusnya bisa menjadi barometer hamba seperti apa yang diharapkan Tuhan dalam aktifitas konsumsi. Tuhan ternyata sangat menyayangi hamba-Nya yang melakukan aktifitas konsumsi secara seimbang, tidak berlebihan dan tidak pula kikir.
Aktifitas konsumsi seharusnya bisa diminimalisir dan dirubah menjadi aktifitas charity atau sosial. Ketimbang “menghambur-hamburkan” uang untuk konsumsi makanan, pakaian atau kendaraan, dll, lebih baik uang yang ada diarahkan untuk mendistribusikan kekayaan dengan sedekah, zakat dan kegiatan pemberdayaan lainnya.
Cuma saja, saya teringat kepada sebuah pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya, tauladan para pemimpin dan tokoh masyarakat juga harus benar-benar dimunculkan. Para pemimpin yang ada di negeri ini sudah seharusnya membudayakan sikap sederhana yang tulus, kepedulian yang tinggi dan kepekaan sosial yang konsisten.
Okelah,hari-hari Ramadhan masih cukup panjang di depan kita. Saatnya kita mencoba budaya baru yaitu menahan diri dari konsumsi yang berlebihan dan merubah budget yang ada untuk sesuatu yang jauh lebih berharga yaitu membahagiakan orang lain, memberdayakan dan membebaskan mereka dari kelaparan. Bank Indonesia telah mencoba ikut mendorong upaya stabilasi harga di bulan Ramadhan. Saatnya pula kita menyambutnya dengan bersama-sama mengendalikan konsumsi kita. Kalau tidak saat ini, lalu kapan lagi kita mau mencoba..? :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H