Beberapa waktu yang lalu, publik Lamongan digemparkan oleh sosok wanita belia bernama Hilda I. Ummah. Hilda, nama akrabnya, lolos mengikuti perlombaan lagu dangdut tingkat provinsi Jawa Timur yang dihelat oleh salah satu TV nasional.Â
Perlombaan tersebut terbilang unik, Â pemenangnya ditentukan oleh pemirsa melalui SMS dengan tarif Rp. 2.200 per SMS.Â
Tidak tangung2, dalam rangka memenangkan "putri terbaik daerah", melalui surat resminya, bupati lamongan mengeluarkan maklumat, himbauan untuk mendukung Hilda agar lolos ke babak selanjutnya. Setidaknya surat resmi itu dikirim ke seluruh kecamatan yang ada di kabupaten Lamongan, yang berjumlah 27 kecamatan.Â
Malam perlombaan tiba, melalui pantauan saya di FB, status2 berupa dukungan kepada Hilda ramai sekali. Hasilnya, Hilda tidak mampu lolos ke babak selanjutnya. Dukungan SMS kepada Hilda masih kalah oleh peserta dari kabupaten lain.Â
Sejak pengumuman pemenang dibacakan, duka dan kecewa menyelimuti masyarakat Lamongan. Status FB seputar perlombaan kembali ramai. Kali ini status2 tersebut lebih banyak berisi motivasi menghibur diri dan beberapa berisi hujatan kepada mereka yang pelit, tidak mengirim SMS dukungannya.Â
Tidak hanya berhenti di FB saja, di group WA pun masih ramai pembahasan seputar kekalahan Hilda itu. Intinya sama, kecewa.Â
Beberapa pendukung yang kecewa itu menulis; "Hilda, kamu tetap yang terbaik, kamu boleh kalah tetapi bagi kami, kamu tetap yang terbaik."
Kepada pendukung Hilda yang kecewa itu saya katakan, "Lamongan boleh kalah di lomba dangdut, tapi tidak kalah dalam karya sastra. Pada Oktober 2017, Mahfud Ikhwan kelahiran Brondong Lamongan menjuarai tingkat nasional pengahargaan Kusala Satra Khatulistiwa kategori karya fiksi. Melalui novel "Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu" berhasil bersaing dengan 9 karya terbaik lainnya."Â
Meski demikian, sampai saat ini, juga belum ada surat resmi himbauan dari bupati Lamongan untuk membeli novel yang meraih juara itu.Â
Tetap semangat, Dek Hilda.
*Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) adalah sebuah ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki dan mulai dilaksanakan sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, namun berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku-buku puisi dan prosa terbit dalam kurun waktu 12 bulan terakhir, yang kemudian diseleksi secara ketat oleh para dewan juri.