Mohon tunggu...
Muhammad Rosyihan Hendrawan
Muhammad Rosyihan Hendrawan Mohon Tunggu... profesional -

Pribumi, sedikit melankolis, penikmat literasi, bibliofilia, librocubicularist, anggota Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII),

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Agape : Sebuah Awal (bagian I)

25 Mei 2014   05:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:08 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dhila, begitu masyarakat di kampung ini sering memanggilnya. Gadis pemalu pemilik rambut hitam pekat bergelombang ini telah genap berusia 10 tahun.Saat anak seusianya berangkat sekolah, ia hanya bisa berdiam diri di rumah.

Aku pernah mendengar kabar dari salah satu tetanggaku bahwa ia putus sekolah karena mengidap sebuah penyakit aneh sejak tiga tahun belakangan. Bila ia dalam kondisi tertekan atau malu akut, selain menangis ia akan memuntahkan apa saja hasil olahan makanan yang mengisi perutnya, begitu hal itu terjadi pemandangan layaknya orang yang kena masuk angin parah akan nampak!

Ada juga Dina, yang merupakan adik kandung Dhila. Dina berambut ikal berpadu warna kecokelatan, wajahnya oval dan beralis lancip hitam pekat. Entah mengapa, aku pun takjub melihat setiap apa yang melekat padanya.

Berbeda dengan sang kakak yang gemuk berisi, Dina bertubuh kurus dan bermata sayu. Lincahnya bukan main, bila berlari pikirku kadang ia akan terbang dihembus angin dan menabrak dinding. Oh tidak, tidak, tentu tidak begitu! Ia anak yang cerdas. Ia adalah anak yang paling rajin bertanya tentang apa saja.

Anak gadis yang lahir pada 17 Agustus tahun 2010 ini mengaku matanya sering menjadi bahan ejekan teman-teman mainnya di kampung. Pernah suatu hari aku melihat ia pulang menangis tersedu-sedu sambil melapor kepada kakaknya kalau ia diacuhkan saat bermain boneka!

***

Pindah kota dari ujung barat ke timur Pulau Jawa baru saja ku nikmati tiga hari sebelumnya, perjalananku hampir menelan 900 km jarak tempuh. Entah sudah berapa macam moda transportasi umum yang aku gunakan hingga tiba di kampung yang menjadi bagian administratif dari Kota Malang ini. Saat hari pertama tiba, aku menunggu kiriman paket barang-barangku dari kota sebelumnya. Selama hari itu pula aktivitasku adalah membersihkan dan menata ruangan-ruangan rumah kontrakan kecilku.

Saat hari kedua agendaku adalah bersilaturahmi ke beberapa rumah tetangga terdekat, aku pun menyempatkan diri berkunjung ke rumah keluarga Dhila dan Dina yang hanya berjarak 10 meter dari kediamanku. Kebetulan pada saat itu kedua anak gadis tersebut tidak sedang di rumah, melainkan sedang di sawah menangkap belalang!


Di hari ketiga aku sempat berpapasan dengan mereka berdua, mereka hanya melirik dan penuh tanda tanya menatapku yang tersenyum bergegas ke tepi jalan raya mengejar angkot arah kampusku.

Hari keempat tepat saat aku pulang shalat zuhur dari langgar kampung, aku tak sengaja kembali menatap mereka dari kejauhan. Mereka pun membalas tatapanku walaupun sekilas sebelum akhirnya mereka berlarian melanjutkan bermain boneka di serambi rumah.

Baru pada hari kelima, aku tak menyangka mereka mengucap salam sambil mengetuk pintu rumah kontrakanku. Dina menggendong boneka kelinci berwarna kuning keemasan berpadu dengan warna hitam pada setiap kakinya, sedangkan tangan Dhila memegang erat sepiring kripik ubi ungu hasil buatan Ibu mereka!

Ini untukmu kak dari Ibuku” Dhila berkata sambil malu-malu menatap.

Terima kasih banyak Dik, wah semoga tidak merepotkan” sahutku singkat.

Apakah kamu Dhila?” Tanyaku padanya. Ia hanya tersenyum, menatap adiknya yang sedang termangu melihatku. Pikirku Dina memperhatikan tubuhku yang cukup tinggi menjulang, tapi bukan itu. Ia melihat sampul buku yang aku pegang. Ya sampul buku tidak salah lagi.

Saat itu aku memang sedang mulai membaca terjemahan buku otobiografi Sir Alex Ferguson. Buku setebal 438 halaman itu memiliki sampul berwarna putih berpadu dengan foto senyum misterius sang manajer fenomenal klub sepak bola terkenal Manchester United itu.

Dina yang masih nampak termangu tiba-tiba menyahut “aku juga bisa membaca, besok aku juga mau sekolah!

Menurut keterangan dari Ayahnya, Dina memang belum mahir mengenal setiap aksara. Tapi uniknya ia mampu menirukan hampir apa saja yang diucapkan oleh sang kakak saat membaca. Sambil membolak-balik setiap halaman buku, ia memerhatikan mulut kakaknya yang begitu lancar dan tertib mengeja setiap kata dan kalimat. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun