Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memaknai Pesan Capres di KPU dan Tatapan Tjahjo Kumolo

2 Juni 2014   04:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49 2037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1401633903913058176

Oleh:

M R Aulia

[caption id="attachment_339561" align="aligncenter" width="546" caption="sumber: Kompas"][/caption]

Ahad, (1/6/2014) siang, pasangan capres dan cawapres mengambil nomor urut. Dua buah gulungan berwarna coklat tampak berada di dalam sebuah kotak kaca berwarna bening.Jemari tangan capres bergantian mengenggam gulungan itu.

Capres Jokowi mengambil gulungan pada giliran pertama. Kemudian disusul capres Prabowo. Meski mendapat giliran pertama, Jokowi mendapat nomor urut dua. Sementara Prabowo mendapat urutan pertama.

Tampak sesama capres dan cawapres saling berbaur, kendati di antara mereka saling berkompetisi untuk pilpres 9 Juli mendatang. Suasana hangat dan kekeluargaan pun tampak terasa.

Menurut Komisioner KPU Arif Budiman, suasana tersebut sengaja mereka setting dan disepakati masing-masing kubu calon, sehingga kompetisi yang fair mulai dipertunjukkan di kantor KPU dan diharapkan pula berakhir indah di kantor KPU.

Nomor urut yang didapatkan capres menuai beragam tafsiran antar calon. Capres Jokowi mengaku nomor urut dua adalah keseimbangan. Sementara capres Prabowo tidak memaknai secara eksplisit nomor urutnya. Sesaat pasca mengetahui nomor urut, pasangan capres dan cawapres saling memamerkan spanduk nomor urut yang sesuai.

Sekilas mereka sudah tahu nomor urut yang didapatkan, namun sejatinya telah dibuat dua nomor yang disiapkan masing-masing calon. Bila mendapatkan nomor urut satu, maka yang diperlihatkan adalah spanduk nomor satu, begitupun sebaliknya.

Dari rangkaian awal pilpres kali ini, ada dua hal yang menarik perhatian saya, yakni pidato singkat berdurasi tiga menit kedua capres dan tatapan seorang Tjahjo Kumolo, Ketua Tim Sukses Jokowi. Pertama, saya melihat pesan masing-masing capres. Saya melihat kalimat yang bernada pesan pamungkas dan jleb alias ngena.

Capres Prabowo mengaku untuk memenangkan pertarungan menuju istana, dirinya dan Hatta Rajasa beserta koalisi bertekad untuk mengerahkan semua tenaga. Kerja keras demi meraup simpati masyarakat Indonesia.

Namun, hal yang jleb menurut saya adalah pernyataan siap kalah dan pasrah oleh Prabowo atas usaha dan kerja yang akan dan telah dilakukan, bila takdir berkata lain. “Tapi pada ujungnya, kami akan menghormati keputusan rakyat Indonesia.”

Sementara itu, pesan dari kalimat terakhir Capres Jokowi adalah kalimat ajakan untuk memilih nomor urut dua. “Pilihlah nomor dua.”

Jokowi memperlihatkan dirinya mampu memanfaatkan momen di depan seluruh mata yang hadir dan di depan corong media. Sehingga capres pada pilpres 2014 kali ini, yang resmi mengkampanyekan diri dengan nomor urut adalah Jokowi kendati prosesi kampanye secara nasional belum resmi dimulai.

Selain itu, Jokowi terlihat lihai dalam memberi makna nomor urut. Angka dua dimaknai Jokowi sebagai model keseimbangan yang harmoni. Modal keseimbangan itu memiliki ekses yang bagus demi membangun bangsa yang besar.

Tjahjo Kumolo, sang nahkoda pemenangan Jokowi-JK pada pilpres kali ini, menarik perhatian saya. Sesaat sebelum pengambilan nomor urut, pasangan Prabowo-Hatta menghampiri pasangan Jokowi-JK dan beberapa ketua umum pendukung masing-masing koalisi.

Yang unik disini adalah tampak sosok Tjahjo yang berdiri di ujung meja, melihat momen bersalaman antar pihak yang sedang bersaing. Raut wajah Tjahjo terpasang senyum manis dialogis.

Saya menilai senyum manis Tjahjo sepertinya sedang berdialog dengan hati kecilnya secara bersamaan. Bagaimana tidak, Tjahjo menyaksikan sosok yang kerap berseberangan di media, namun tampak akrab saat bertemu langsung dan bersalaman.

Seperti halnya, Luhut Panjaitan dan Prabowo. Mereka berdua saling memberi hormat ala militer. Kendati sebelumnya, Luhut mengatakan mengetahui semua tentang Prabowo dari A-Z, dengan demikian ia berpihak kepada Jokowi-JK.

Begitupun momen bersalaman antara Luhut dengan pimpinan partainya, Aburizal Bakrie. Sekilas terlihat harmonis, kendati berseberangan dalam pilihan politik.

Pesan capres saat pidato di KPU dan tatapan Tjahjo Kumolo adalah hal yang biasa. Bahkan sangat biasa dalam dunia perpolitikan. Dunia yang penuh dengan taktik, strategi, upaya dalam mendapatkan simpati dan dukungan dari segerombolan masyarakat yang diberi nama rakyat.

Taktik dan strategi yang dilancarkan adalah hal yang sangat wajar dilakukan. Tentunya dengan taktik yang wajar, elegan, beretika dan manis. Lebih-lebih dilakukan dengan cara-cara yang menarik.

Sebagaimana yang dicita-citakan Anis Matta. Politik seharusnya dijadikan pertarungan atau games yang mengasyikkan dan tidak berbahaya. Bukan politik yang tidak mengenal lawan abadi dan kawan abadi.

Sejatinya saat politisi berserberangan, tentu tidak saling menjelekkan satu sama lain. Lebih-lebih nada jelek yang sarat dengan fitnah.

Mungkin saja, para capres dan cawapres sudah mulai mengurangi politik yang dianggap berbahaya. Namun, tim sukses atau relawan antar capres, sejatinya juga harus menghindari kampanye hitam.

Kedua pasangan capres dan cawapres, menurut saya sama-sama imbang dalam kualitas. Dua pasang tersebut adalah mereka yang terpilih. Menyisihkan warga negara Indonesia lainnya yang berambisi menjadi seorang presiden dan wakil presiden.

Apapun imej yang melekat baik pada diri Jokowi sebagai capres boneka atau imej Prabowo yang galak, semoga menjadi senjata makan tuan. Boleh menganggap Jokowi itu boneka, tapi bila terpilih, dia bukan boneka. Dia apa adanya. Begitupun Prabowo, dia tidak akan galak, kecuali pada tempatnya.

Sepertinya, sudah mulai kita menilai politik sama dengan pertandingan sepak bola yang mempunyai tagline Fair Play. Menarik. Memiliki kemungkinan gol-gol indah. Selebrasi unik. Sportif dan sebagainya.

Sehingga akhirnya politik bukan lagi sesuatu yang menyeramkan, tetapi mengasyikkan. Kaum apatis pun jatuh cinta pada politik.

*TulisanIseng

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun