Oleh:
M. Rodhi Aulia
Ditulis Senin Pagi, 27 Januari 2014, dan diselesaikan pukul 09:09 WIB.
[caption id="attachment_318544" align="alignnone" width="616" caption="Ilustrasi: Menilai Politik dari Diameter Sedotan Es campur, Sumber: rifaelhamdi.blogspot.com"][/caption]
Apakah sebuah ke-ilmiah-an harus atau pernah tertera di lembaran-lembaran literatur yang tercetak. Literatur yang kadang kala sudah menguning. Sebagian kita sangat mudah membantah suatu hal hanya karena tidak ditemukan di literatur populer manapun yang 'sempat' dibaca. Apalagi hal tersebut adalah hal sosial. Hal yang setiap detik di jam tangan kita, selalu bergeriliya, mengikuti dinamika yang sedang sibuk mengudara di sekitarnya. Tentu di sekitar mereka yang melihat berbagai fenomena satu dan lain di waktu dan tempat yang relatif berbeda. Sepertinya, sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai permasalahan sosial, harus dilihat dari perspektif yang lebih fleksibel. Terutama melihat definisi dan cara memahami politik dan para tetangganya. Perspektif yang membuat definisi politik mutlak tidak tergantikan. Atau memahami definisi politik secara sempit. Politik tidak semata-mata adalah hanya urusan kekuasaan belaka. Mulai mendaftarkan diri sebagai petarung menuju kekuasaan dan berhenti saat kursi kekuasaan didapatkan, lalu cukup. Politik bukan pula sesuatu yang selalu kotor. Seperti anggapan banyak orang. Terutama pandangan mereka yang hanya melihat politik dari jarak jauh. Bahkan hanya melihat politik dari bayang-bayang yang muncul di tembok rumah saat mati lampu. Sehingga terlihat satu dimensi saja, tidak utuh dan parsial. Atau bisa jadi, menilai politik hanya sekedar penilaian dari mengintip politik dari sela-sela jendela senayan atau jendela istana yang sedikit terbuka karena angin kencang menerpa. Politik tidak selamanya kotor. Tetapi akan terus kotor bila menilai dari model-model di atas. Politikpun akan terus kotor bila tidak ada inisiatif sendiri dengan atau untuk menyapu debu-debu yang nempel di semua pelataran politik, sehingga terlihat kinclong dan bersih kembali. Politik adalah bagaimana kesepakatan bersama dapat terwujud antar keduabelah pihak, yaitu antara yang dipilih (calon pemimpin) danyang memilih (voters). Kesepakatan yang diperoleh melalui cara-cara yang disetujui atau tidak disetujui oleh banyak orang dan bukan semua orang. Ironisnya, dewasa ini banyak model-model keterpilihan pemimpin mendapatkan penilaian minor dan miring terutama dari rival serta kubunya atau penonton yang hanya melihat dari kejauhan saja. Melihat dari diameter sedotan es campur. Hampir semua calon pemimpin dan tim suksesnya berupaya menjalankan berbagai strategi dan upaya bagaimana mereka dapat dipilih oleh rakyatnya. Mulai dari mengiklankan diri melalui berbagai media. Media lunak maupun media kasar. Media lunak dapat dibagi menjadi dua. Lunak dan legal, serta lunak dan tidak legal. Lunak dan legal seperti cara mendatangi calon pemilih di kediaman mereka masing-masing (silaturrahim). Menghadirkan diri ke dalam lingkungan dimana mereka selalu bergerak atau beraktifitas. Baik kehadiran secara visual (spanduk, Baliho), Audiovisual (iklan komersil TV, youtube), audio (radio, mp3) saja, atau nyata. Raga calon atau tim sukses terlihat nyata dan utuh di depan calon pemilihnya. Meyakinkan mereka dengan hal-hal yang wajar. Sementara itu, yang dimaksud media lunak dan ilegal adalah seperti segala sesuatu yang menjadi 'pelicin' dan alasan agar calon pemilih mudah terpikat dengan calon pemimpin. Adapun media kasar adalah cara memperoleh kesepakatan dengan menjalankan model-model intimidasi. Seperti halnya, anggapan dan penilaian banyak orang dengan istilah politisasi. Politisasi jabatan, politisasi sepak bola, politisasi kampus, politisasi agama dan model politisasi lainnya. Sebagai contoh seorang incumbent dalam bidang manapun, tidak sekedar dunia pemerintahan saja. Pemimpin di bidang musik, lapangan sepak bola, tata boga dan bidang-bidang non pemerintahan lainnya. Sebelumnya perlu diluruskan, pemahaman akan makna politik tidak hanya terbatas berdasarkan kekuasaan dalam ranah pemerintahan saja, melainkan semua ranah dimana terdapat seorang leader dan para bawahannya. Proses kepemimpinan, tujuan dan pendukungnya. Disanalah politik dimulai ceritanya. Incumbent yang menggunakan kekuasannya untuk mengarahkan voters yang kebetulan nasib mereka sedikit-banyak ditentukan oleh keputusannya. Sebagai contoh pejabat tinggi yang mengancam PNS bila tidak memilihnya. Ancaman mutasi, rotasi, bahkan ancaman pemecatan yang disusun dengan skenario se-indah mungkin. Kesepakatan antara pejabat yang ingin diperkuat dukungan terhadap dirinya, boleh-boleh saja. Asalkan kesepakatan yang terbangun berdasarkan sikap sukarela, bukan berasal dari model-model intimidasi lainnya. Seperti model politisasi sepak bola, politisasi kampus dan sebagainya. Politisasi apapun tidak selamanya bermakna intimidasi dan haram. Selama yang dipolitisasi memahami arah dan tujuan secara sadar, kenapa mereka digiring dan memutuskan memilih atau tidak memilih, why not? Jangan mudah gerah ketika terjadi gerakan politisasi. Chek and richek dahulu. Inilah yang dimaksud dengan politik dan tetangganya. Politik dan segala sesuatu yang selalu disangkut-pautkan pada politik itu sendiri. Tetangga yang seringkali muncul di saat politik itu sendiri sedang eksis dilancarkan. Mereka adalah model-model terbangunnya kesepakatan dalam memperjuangkan seseorang agar menempati sebuah kursi yang berdaya kuasa. Idealnya, kuasa dalam menunaikan apa yang menjadi kebutuhan mereka yang mendorongnya ke atas kursi kuasa secara langsung atau tidak dan mereka yang tidak memilihnya. Karena makna politik yang sebenarnya adalah bagaimana kekuasaan dijalankan dengan menjadikannya sebagai alat menebar kebaikan lebih luas lagi. Bukan hanya untuk duduk di kursi kuasa, lalu main tunjuk sana-sini dan berharap dilayani secara berlebihan. Melainkan kuasa yang ada untuk melayani dan memudahkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan berdasarkan skala prioritas. Sebagai pelaku hidup politik(praktisi), penonton (awam) dan penilai politik (teoritis) dari jauh, sejatinya dapat menilai dan membuat pengayaan definisi politik secara luas dan terbuka. Karena sejatinya, politik itu bersifat netral. Tinggal bagaimana seseorang atau kita semua menjalankan politik tersebut. Apakah dengan cara kesepakatan yang fair atau kesepakatan dengan model ilegal dan intimidasi lainnya. Jika masih iya, inilah sebab kenapa politik selalu dianggap rusak, kotor, naif dan sebagainya. Seakan-akan kita terus melihat politik melalui diameter sedotan es campur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H