Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masih Jaman Milih Calon Presiden Berdasarkan Suku?

3 Februari 2014   18:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13914277212140070738

Oleh:

M. R. Aulia

[caption id="attachment_320155" align="alignnone" width="613" caption="Ilustrasi Sukus-suku di Indonesia, Sumber: Navo"][/caption]

Setiap pemilihan apapun yang akan berlangsung, selalu ada cara menilai sang petarung yang siap naik panggung. Salah satu isu yang sering menjadi hangat adalah isu kesukuan. Baik dari pemilihan selevel ketua kelas, ketua BEM, dekan, bupati, anggota legislatif, hingga presiden RI.

Dalam setiap pemilihan, isu kesukuan tersebut tiba-tiba menguat dan sangat kental dalam diri sebagian calon pemilih (voters). Rasa yang muncul dari pandangan pertama atau dari kesamaan tempat asal dan dimana dibesarkan. Baik disadari penuh atau hanya setengah-setengah.

Kesukuan adalah salah satu bagian kecil dari primordialisme disamping isu kepercayaan, adat istiadat, tradisi dan sebagainya. Segala sesuatu yang tampak untuk pertama kalinya oleh bola-bola kecil anak manusia. Saat mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan dan bentuk interaksi suku yang terasa dominan atau memang sedarah.

Pandangan pertama memang meninggalkan kesan yang sangat dalam. Sejak pandangan tersebut terjadi, dan lebih banyak bergumul dengan sesama suku, rasa memiliki dan magis kebersamaan lebih terasa kuat, nyaman dan mengakar biladibandingkan pandangan atau pergumulan lain yang datang setelahnya.

Pandangan pertama tersebut juga tidak lapuk akan waktu dan jarak. Terbukti dengan banyaknya ikatan-ikatan keluarga besar suku, paguyuban dan model-model persatuan sesama suku lainnya yang berdiri di tempat-tempat atau daerah rantau mereka masing-masing.

Kaitannya dengan pemilihan, sudut pandang kesukuan lebih ditentukan seberapa besar intensitas kebersamaan di antara mereka atau dikaitkan dengan jarak yang lebih dekat.Sebut saja bila sejumlah calon yang akan bertarung, terdapat beberapa orang yang memiliki suku yang sama.

Otomatis pemilih yang berlatar berlakang suku yang sama akan mencari sesuatu atau kesamaan yang lebih dekat lagi. Siapa sosok calon yang benar-benar terasa dekat, baik hubungan darahnya, tempat tinggalnya, pernah ngasih apa dan sebagainya. Mencocokkan diri dari hal general kepada hal yang lebih spesifik, dan minus dalam mencocokkan dalam hal kompetensi, kapabilitas serta integritas.

Hal demikian, bisa juga diibaratkan bila kita merantau jauh di tempat orang. Contohnya, kita merantau di suatu negara yang sangat asing. Sebut saja Zimbabwe. Negara yang mungkin tidak terlalu populer di telinga orang Indonesia. Seberapapun besar niat pelarian (escape) dari negara sendiri ke negara orang lain, pasti rasa ingin bertemu sesama warga negara atau negara asal sangat kuat.

Tentunya sesama warga negara Indonesia. Namun akan berbeda, apabila bertemu dengan warga negara Indonesia lainnya, tapi sukunya sama, mungkin rasa rindu dan ekspresi kelegaan akan lebih besar. Meskipun di antara mereka tidak saling mengenal sebelumnya.

Katanya, primordialisme adalah rasa yang tak lekang oleh jarak dan waktu. Padahal, jika kita, sesama warga negara Indonesia bertemu di negara sendiri, rasa tersebut tidak akan pernah bisa sekental demikian. Jangankan merindukannya, sekedar menyapa atau melihat wajahnya pun sangat jarang sekali.

Sama halnya, bila seorang perantau mahasiswa dari kota A bertemu sesama warga kota A di kota B. Mereka biasanya akan mudah berbaur dan bergabung dalam suatu wadah berdasarkan asal kedaerahan yang sama. Lebih mudah mengekspresikan diri ketimbang bergaul dengan warga kota B.

Akan tetapi bila mereka bertemu di kota A, rasa mudah berbaurnya tidak sehangat dan seheboh di kota lain. Begitu seterusnya, setiap orang saat bertemu di tempat yang asing baginya, selalu mencocokkan kesamaan yang mereka miliki dan sebagainya. Kesamaan yang paling spesifik dan detail menentukan seberapa besar kekuatan ikatan tersebut. Inilah yang dinamakan primordialisme yang mengental.

Ilustrasi di atas tidak jauh berbeda dengan sejumlah calon pemilih dalam memberikan hak pilihnya kepada seorang calon. Pandangan pertama seringkali menjadikan penilaian yang lebih kuat dibandingkan penilaian dari sisi kompetensi dan sebagainya.

Isu kesukuan atau primordialisme adalah baik dan manusiawi. Isu yang menjamin eksistensi suatu suku dimanapun dan kapanpun. Namun bagaimana bila penilaian dan pemilihan calon hanya semata-mata berdasarkan kesamaan dari sudut pandang suku saja atau kesamaan darah saja, sementara kriteria dan sudut pandang lain diabaikan begitu saja.Tentu akan berimplikasi buruk dan menyesatkan.Karena pada dasarnya seorang calon jika terpilih kelak, tidak hanya menentukan nasib satu suku saja, melainkan lebih dari itu.

Apalagi dewasa ini, Indonesia sedang mengokohkan atau memapankan sistem demokrasi. Sistem yang tidak terlalu mengentalkan sekat-sekat atau pembatas-batas yang tidak berperan secara signifikan akan keberhasilan seorang pemimpin. Sekat-sekat tersebut atau kesukuan memang hal yang sangat wajar dan sah-sah saja dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Lebih dari itu, sejatinya calon pemilih seharusnya memperhatikan kualitas seseorang yang datang dari suku yang sama. Pandangan pertama dari sudut kesamaan suku atau darah harus sudah selesai dan dilanjutkan dengan sudut pandang secara kompetensi atau kapabilitas sang calon.

Atau segala sesuatu yang meyakinkan pemilih tentang seberapa tangguh ia dapat menyelesaikan permasalahan yang akan atau sedang dihadapi oleh bangsa ini. Apabila kompetensi tersebut tidak ada dalam calon dari suku yang sama, kenapa harus memaksakan diri dan kenapa tidak memilih suku yang lain yang lebih berkompeten?

Pada akhirnya, negara ini benar-benar bisa menjadi negara yang modern. Sekat-sekat yang dibawa dari lahir tidak menumpulkan logika dan kebenaran umum serta cara memandang, bahwa negara ini harus mampu dipimpin oleh mereka yang berpotensi dalam mengangkat derajat warga negara atau bangsa secara keseluruhan.

Atau bahasa politiknya, dapat berdiri di atas semua golongan. Dan jika kelak, seseorang terpilih, maka serahkanlah sepenuhnya kepada semua golongan (entity). Tidak hanya terpaku dengan suatu entitas kecil saja yang hanya satu titik dari banyak titik lainnya yang menghuni negara ini. Indonesia bukan hanya masalah suku A dan suku B atau suku lainnya, melainkan Indonesia adalah integrasi atau satu kesatuan harmoni dari Sabang sampai Merauke.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun