Oleh:
M. Rodhi Aulia
(Masih Bodoh)
Ditulis Minggu, 4 Mei 2014 | Dimulai Pukul 10:06 WIB | Selesai Pukul 11:18 WIB | Durasi Baca 4 menit|
[caption id="attachment_334671" align="alignnone" width="638" caption="Ilustrasi HAM, Sumber: maghfiroherdan.wordpress.com"][/caption]
Isu pelanggaran HAM, selalu renyah dibahas menjelang pemilihan-pemilihan. Terutama menjelang pemilihan presiden. Isu tersebut hanya sebagian kecil isu, yang akan muncul terang sebelum pemilihan dan mulai redup kembali setelah perhelatan selesai.
Pemilihan yang berharap besar pada suara yang masuk. Dan itu semua tergantung masyarakat. Apa isi hatinya. Isi persepsinya. Isi kantongnya. Isi keyakinannya. Kualitas dan kuantitas isi yang dimiliki tersebut sangat berpengaruh pada langkah kaki, menuju tempat pemungutan suara. Disanalah semuanya berbicara. Apakah isu-isu yang berhembus, mandul atau sukses meraih scudetto.
Mata Najwa edisi Rabu depan (7/5), akan mengulas dan menghangat-hangatkan atau meniup bara-bara api, yang mungkin redup dan akan selalu redup, dan mendadak nyala terang saat pemilihan akan dimulai. Itu persepsi rendahan saya aja. Mungkin saja, persepsi rendahan saya akan terbantahkan dengan persepsi banyak orang. Terutama yang ingin menguak kebenaran masa lalu di masa sekarang atau masa depan.
Isu pelanggaran HAM, tentang terbunuhnya seseorang. Hilangnya seseorang. Apalagi seseorang tersebut mempunyai nilai, sehingga semua orang tidak mudah melupakannya dengan cepat dan baik. Isu tersebut, secara kasat mata, memang ingin kebenaran dikuak kembali. Secepatnya dan seadil-adilnya, sebagaimana yang tercantum dalam sila kelima, dari pancasila. Namun, persepsi dan dugaan yang selalu tidak bisa dipisahkan, ketika isu tersebut berhembus adalah ajang mencari kelemahan dan menciptakan kuburan sang lawan, yang mempunyai dosa masa lalu.
Pepatah mengatakan, tidak akan pernah kembali, hari-hari yang telah lalu. Semua orang pasti memahami dengan mudah akan makna kata bijak itu. Hari-hari telah lalu, baik dipenuhi dengan dosa masa lalu, atau kebaikan masa lalu, tidak akan berarti apa-apa di masa depan. Cuma ada satu arti yang pasti tidak terbantahkan, yakni mengambil pelajaran agar tidak terperosok pada lubang yang sama, jika itu dianggap dosa masa lalu. Dan bila dianggap kebaikan masa lalu, maka seharusnya bisa dipertahankan atau dikembangkan.
Kaitannya mengenai isu-isu yang beredar. Dosa masa lalu selalu manis dan renyah diangkat kembali. Dan seringkali mereka yang dianggap berdosa, menganggapnya hal tersebut sebagai black campaign atau negative campaign, cara ilmuwan memperhalus hal tersebut. Sementara, kebaikan masa lalu, bila diangkat saat-saat pemilihan, pasti dianggap pencitraan.
Dua hal yang bertolak belakang. Dosa masa lalu, yang diangkat selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar, terutama di benak lawan. Sementara kebaikan masa lalu, selalu dianggap hal yang tidak asyik dibawa-bawa kembali pada zaman sekarang. Pencitraan lah. Basi lah. Tidak relevan lah.
Seharusnya, hal-hal yang berbau masa lalu, baik itu dosa masa lalu dan kebaikan masa lalu, harus diperlakukan sama. Lupakan atau sama-sama diungkit kembali. Jangan hanya beraksi #MelawanLupa atau #MenolakLupa dosa masa lalu saja, dan lebih memilih #MemaksaLupa kebaikan masa lalu. Apalagi kebaikan tersebut, kebetulan dimiliki lawan atau rival.
Manusia Indonesia, khususnya, yang saat ini memiliki hak politik, per Mei 2014, seharusnya, pandai memilah, mana isu yang sebenarnya dapat membawa ke masa depan yang lebih baik. Terutama dalam memilih calon presiden mendatang. Apakah selalu relevan, kebaikan masa lalu, dan dosa masa lalu seseorang terhadap keyakinan dan perubahan kualitas diri seorang calon presiden saat sekarang.
Saya katakan, tidak ada yang menjamin. Karena tidak ada ukuran pastinya. Hal-hal yang menjadi masa lalu, biarlah berlalu. Mau itu dosa masa lalu, atau kebaikan masa lalu. Yang harusnya dilakukan sekarang dalam menilai pemimpin dari latest performance-nya. Selain track record yang bermakna masa lalu, tapi juga lihat track record yang terbaru, statement record terbaru, keyakinan terbaru, langkah kaki terbaru, ketulusan terbaru, keikhlasan terbaru, dan daya juang terbaru.
Bagaimana bisa saya mengatakan seperti itu? Dunia saja berubah, apalagi kualitas manusia itu sendiri. Yang dahulu dikenal baik, belum tentu sekarang masih baik dan selamanya akan tetap baik. Begitupun sebaliknya, yang dahulu dianggap berdosa, belum tentu pula, masih aktif sebagai pendosa.
Dan itu bisa dilihat dan dirasakan, bagi mereka yang mau jujur melihat dengan hati sendiri. Tidak perlu membawa isu-isu masa lalu, baik itu dosa masa lalu atau kebaikan masa lalu. Nah, disini peran masyarakat atau publik sangat menentukan. Seberapa besar kualitas filter dalam pikiran dan keyakinan masing-masing, akan calon pemimpin masa mendatang.
Kita itu, manusia yang memiliki mata yang melihat kedepan. Terkadang, selalu melihat kebelakang terus, leher kita pegal. Melihat kebelakang terus, kita nabrak. Tugas kita, bagaimana memastikan kualitas isi dari berbagai Item di paragraf pertama, dapat terjaga dengan baik. Bukan labil, galau, bimbang, apalagi terdikte.
Akhirnya, apakah ini yang dinamakan adil, ketika kita selalu percaya dengan label #MelawanLupa (dosa masa lalu) dan secara bersamaan #MemaksaLupa (Kebaikan Masa lalu). Publik Indonesia seharusnya cerdas. Tidak termakan isu-isu yang sebenarnya menjauhkan dari impian masa depan. Kembali damai dan tenteram.
“Kalau dalam pikiran kita, politik adalah memang begitu. Memakan bangkai saudara sendiri, demi kursi puncak yang didapatkan. Kalau hanya dalam benak kita, kebaikan yang dilakukan menjelang pemilihan adalah pencitraan. Pertanyaannya, masihkah relevan makna politik seperti pada masa kini? Meskipun tokoh politik besar yang mengatakan politik mempunyai arti seperti itu. meskipun negara seperti Amerika yang katanya Demokrasinya sudah matang, masih seperti itu.”
Maukah kita, manusia Indonesia yang aware bahwa politik itu salah satu penentu keberhasilan suau negara, dirubah menjadi yang lain. Bahwa Politik itu menarik dan indah, selama melakukan hal yang fair.
Jika dalam buku atau literatur manapun, tidak ditemukan. Nah, tugas kita, manusia per Mei 2014 yang menciptakannya. Andaikan dalam satu buku berjumlah 100 halaman. Kita tambah satu halaman terakhir yang ke 101. #GituAjaKokRepot.
Komi : dia dulu kaya gini, kaya gitu.
Koma : terus kenapa? Kalau gitu
Komi : kan jelek
Koma : pastilah , kadang jelek, kadang baik, emang dia dewa?
Komi : kan ga bagus, pemimpin kaya gitu?
Koma : emang kamu bisa jamin, ada pemimpin seperti malaikat?
Komi : enggak juga sih,
Koma : nah.......menurut aku sih, ga perlu jelekin calon lain, pilih aja calon sendiri tanpa ada embel-embel nada jelek buat yang lain, itu baru namanya demokrasi dewasa
Komi : hmmmmmmm
#Hanya Tulisan bangun tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H