Kasus yang di Jambi menjadi contoh gagal paham terkait kebebasan beragama dan toleransi. Lafadz Allah SWT dituliskan di dekat atribut natal.
Padahal jelas masing-masing itu milik dua agama yang berbeda.Sehingga tidak perlu ada penyatuan satu sama lain.
Ini bukanlah yang dimaksud dengan ekspresi kebebasan beragama atau toleransi.
Kita harus bersatu, iya seratus persen setuju. Tapi persatuan itu tidak harus saling meleburkan diri satu sama lain. Terutama terkait akidah dan keyakinan.
Lakum diinukum, wa lii yadiin.
Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Ini sangat jelas sekali lho. Tidak perlu ada penafsiran lanjutan. Tidak perlu harus belajar ke mana-mana. Pikiran bangun tidur saja sudah bisa memahami hal itu.
Ketika ada agama tertentu sedang melaksanakan ritual atau ibadahnya, ya itu perlu dihormati. Penghormatannya tentu dalam bentuk tidak menganggu.
Kalau bisa, membantu menjaga keberlangsungannya agar aman, lancar dan tertib.
Biarkan umat agama itu beribadah dengan khusyuk. Sementara umat yang bukan beragama itu, tidak perlu ikut-ikutan beribadah layaknya umat agama itu.
Apalagi memaksa seseorang atau siapapun untuk menggunakan atribut keagamaan yang bukan milik agama atau keyakinannya. Atribut yang dimaksud, terkait sambutan menjelang perayaan ibadah tertentu.
Inilah yang dinamakan kebebasan beragama dan toleransi. Tak ada pemaksaan apapun. Itulah bebas. Itulah toleransi. Setara.