Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bali di Penghujung 2013 (Open Minded)

3 Januari 2014   15:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh:

M. R. Aulia

Ditulis Jumat Petang, 03 Januari 2014, dan diselesaikan pukul 15:02 WIB.

Beberapa menit sebelum teman saya berangkat ke Bali, saya memutuskan untuk ikut bersama mereka. Pergi berlibur di pulau impian di Indonesia untuk kesekian kalinya. Keperkasaan dan keindahan Bali sudah sangat mengakar hampir di seluruh dunia. Sampai-sampai wisatawan mancanegara atau yang sering dipanggil dengan istilah ‘bule’, lebih mengenal Bali daripada Indonesia. Mereka menyangka Bali adalah suatu daerah tersendiri yang terpisah dari Indonesia.

Tidak bisa disangkal keindahan panorama alam dan kekayaan daya tarik wisatanya mengundang banyak orang datang berbondong-bondong tumpah ruah disana. Di samping keindahanya, Bali menyimpan kebudayaan yang sangat mengakar. Jauh berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia.

Berwisata adalah mempelajari cerita yang terangkai dari manis dan pahitnya ungkapan dan perasaan mereka yang sudah lebih dulu datang berkunjung ke suatu tempat. Tempat yang mempesona dan membuat rasa bahagia nempel terus dan rasa duka yang sesekali menyelinap di tengah rasa suka. Sehingga banyak orang yang belum pernah datang dan menikmatinya, berkeinginan bisa merasakan hal yang sama. Rasa bahagia dan menghilangkan rasa penat kehidupan di hari-hari sebelumnya, serta belajar tumpah di satu tempat yang penuh dengan ragam warna. Warna cara dan warna budaya.

Datang mendadak tanpa direncanakan dengan matang. Dari mencari tiket bus menuju terminal Mengwi, Bali, dari terminal Bungurasih, Surabaya. Serba mendadak. Tiket bus, penginapan dan lainnya di masa-masa high session. Masa dimana demand meningkat drastis dan tajam jika dibandingkan hari biasanya, sehingga harga dan biaya yang diminta semakin memuncak. Kami mencoba menumbangkan mitos yang berlaku setiap tahunnya, meskipun dengan cara gambling.

Baru saja menginjakan kaki di sekitar pintu gerbang masuk terminal Bungurasih, kami disapa oleh banyak orang yang berseragam. Meskipun seragamnya tidak sama, penuh warna yang berbeda. Mereka menawarkan bantuan kepada pengunjung yang terlihat bingung. Dari sapaan yang awalnya kami anggap risih, kami menyempatkan diri menjawab sapaan salah seorang yang berlaku bak seorang pengarah jalan keberangkatan. Atau istilah pasarannya adalah calo.

Seorang pria paruh baya yang raut wajahnya sudah banyak terdapat garis-garis pertanda kulitnya sudah kendor, menua dan tidak muda lagi. Rambutnya yang sebagian besar sudah memutih. Meskipun warna hitamnya masih ada, walaupun sedikit saja. Ia menawarkan bus yang kami inginkan. Tujuan Denpasar via Mengwi dan harga yang mudah dijangkau. Dengan bermental skeptis, kami bertanya banyak hal yang masih berkaitan dengan armada bus dan harga. Tidak beberapa lama kemudian, kami deal dengan pria paruh baya tersebut. Berangkat menuju Denpasar pada pukul 17:00 WIB.

Saat itu, jarum jam masih menunjukan pukul 13:00 WIB. Tidak pelak kami harus menunggu beberapa jam sebelum keberangkatan. Menunggu di Terminal. Selain kafe atau tempat makan yang berbayar, disana juga terdapat waiting room. Bangku aluminium yang berjejer rapih, meskipun di duduki dengan cara berlawanan. Tidak rapih dan semerawut. Penuh sesak dengan berjubelnya calon penumpang lain dan barang bawaan mereka yang juga ikut ambil bagian di atas bangku yang tersedia. Melihat kondisi seperti itu, kami memutuskan pergi keluar area terminal. Mencari warung nasi yang mungkin harganya lebih murah dibandingkan warung atau cafe yang terdapat di dalam terminal.

Setelah sekian lama, berjalan mengitari tempat yang menurut kami nyaman, terdamparlah kami di suatu tempat yang sangat sederhana. Udaranya sangat panas dancrowded. Maklum tempat yang bersebelahan langsung dengan terminal dan pusat perbelanjaan. Disana terlihat banyak pegawai pusat perbelanjaan menghabiskan waktu istirahat makan mereka. Kamipun ambil bagian. Menghabiskan waktu menunggu disana. Dengan memesan beberapa makanan agar cukup mengganjal rasa lapar selama perjalanan menuju Denpasar.

Beberapa saat berselang, jadwal keberangkatan pun tiba. Kami bergegas, sambil membawa beberapa tas dan memastikan tidak ada barang bawaan yang tertinggal. Ketika kami hampir dekat dengan bus yang akan membawa kami pergi, kami dihadang oleh beberapa orang yang mengatasnamakan kru daribus yang telah kami bayarkan tiketnya. Mereka mengatakan bahwa bus yang kami pesan tersebut sudah penuh sejak tiga hari sebelum kami memesan tiket tersebut. Rasa bingung dan kecewa berbaris masuk dalam pikiran kami. Ada apa yang terjadi. Sambil diselimuti rasa penasaran, jika memang benar penuh, kenapa tiket bus tersebut masih dikeluarkan oleh pria paruh baya yang menyapa kami beberapa saat yang lalu.

Kami pun tidak bergeming layu dengan hadangan sejumlah orang tersebut. Rasa bingung tidak mengalahkan kami untuk berpikir dangkal. Kami mencari pria paruh baya yang tiba-tiba muncul di tengah kebingungan. Meski pada saat itu rasa bingung kami tidak mencapai stadium yang akhirnya membuat rasa panik menggumpal. Ia mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun pada intinya kami harus merelakan bus yang kami anggap paling nyaman, karena sebelumnya, kami telah melihat langsung armada yang akan digunakan.

Dengan bentuk kesigapannya, ia meminta maaf atas apa yang terjadi dan menawarkan dua pilihan armada yang lain. Dengan harga yang sama namun fasilitas yang berbeda. Pilihan pertama yang ditawarkan sangat jauh berbeda. Terlihat tidak nyaman dan tidak ramah. Pilihan kedua, kami mendapatkan ganti bus yang fasilitas persis dengan apa yang pertama kami inginkan. Lalu kami memilihnya. Namun hanya dua kursi yang tersisa.

Sementara itu, kami berjumlah empat orang dan dengan terpaksa, dua orang lagi harus duduk di bangku smoking area. Area legal asap dalam sebuah armada yang akan terus berjalan mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Mau tidak mau kami merelakan itu semua. Sebuah pilihan yang sebenarnya tidak sulit namun terasa jauh dari harapan sebelumnya.

Jarak tempuh yang memakan waktu hampir dua belas jam lamanya. Kami bergantian posisi. Kadang ada yang di kursi normal dan kursi smoking area. Begitulah cara kami berbagi rasa selama perjalanan menuju Denpasar. Subuh waktu Indonesia tengah menyapa. Kami telah sampai di terminal tujuan. Mengwi dan dekat dengan Denpasar. Sebuah kawasan pusat pemerintahan di pulau yang katanya surga dunia. Tempat plesiran banyak orang hampir seluruh dunia.

Bali yang mungkin sudah jutaan kali dibahas oleh banyak orang akan keindahan alamnya tak akan pernah berkurang pesonanya. Selalu banyak orang yang penasaran ingin berkunjung kesana. Berkali-kali, sampai ada turis mancanegara yang menyempatkan untuk datang ke Bali empat kali setahun bahkan lebih. Disamping itu juga, keindahan pesona alam yang ditawarkan Bali, mengundang variasi manusia yang hadir. Satu budaya dan lain budaya. Datang berhimpun di satu tanah, satu kawasan dan satu tempat.

Disinilah seni berwisata. Melihat sisi lain dunia yang luas. Tidak merasa diri cukup dengan satu budaya dan pemahaman sempit saja. Seperti yang banyak diistilahkan, hidup dalam tempurung. Merasa tahu, merasa benar, merasa bisa, merasa suci dari yang lain. Jika tidak memiliki rasa toleransi yang besar, maka ia akan merasa seperti diamuk oleh banyak budaya yang berbeda sehingga wajah dan hatinya berkecamuk. Tidak terima dan merasa risih. Dan kembali dengan wajah yang tidak elok.

Berbaur dan janganlah lebur. Begitu istilah yang sering disampaikan mereka yang memiliki pikiran terbuka. Bukan menjauh dan menganggap apa yang selama ini tidak berada di dekatnya adalah hal-hal yang dilarang dan dilarang. Mungkin bagi kita hal tersebut dilarang, tidak dengan orang lain. Oleh karena itu, perbedaan dan benturan budaya tidak harus menjadikan kita mengangkat senjata untuk berperang. Saling menghancurkan satu sama lain.

Bukankah kita hanya diperintahkan untuk menyampaikan saja dengan cara yang penuh dengan pesona. Bukan menyebarkan dengan rasa benci yang tidak mempunyai ukuran dan takaran. Sekedar menyampaikan tidak memaksakan.

Hari yang ditunggu tiba. Momen pesta perayaan malam tahun baru mendekat. Beberapa jam sebelum jarum jam mendekati angka 00:00 WITA, waktu Bali dan sekitarnya, semua orang dari berbagai ras dan bangsa berkumpul di banyak tempat. Salah satu pusatnya adalah di Monumen Bom Bali. Dimana ledakan pada tahun 2002 terjadi. Momen sekali setahun itu, dihadiri oleh unsur petinggi pemerintahan, petinggi kemanan dan lainnya dengan sama-sama menyaksikan hari terakhir di tahun 2013 berganti dengan hari pertama di tahun 2014.

Serpihan cahaya berwarna yang mengangkasa di langit Bali dan sekitarnya mewarnai malam di Bali yang sedikit dihujani air dari awan yang sejak sore terlihat menggumpal. Kendati demikian, suara gemuruh terompet membahana di setiap tempat. Pertanda waktu baru resmi hadir di tengah kehidupan manusia. Pesona kebahagiaan dan keceriaan mewarnai malam itu. Tangisan haru, dengan banyak menyesali hal yang tidak sempat terlaksana di tahun 2013, dan mengungkapkan banyak harapan di tahun yang baru saja datang.

Meskipun dengan pro-kontra berbagai cara penyambutan hari pertama di tahun baru, namun sejatinya, yang harus dipikirkan kembali adalah bagaimana mengisi waktu di hari-hari baru yang akan datang. Bagaimana cara mendesain kembali agar menjadi pribadi yang baru di tahun yang baru. Baru dan bersemangat. Lebih produktif, lebih baik dan lebih soleh, sehingga benar-benar menjadi manusia yang berguna dan bersahabat.

Disinilah esensi dari berwisata. Mengumpulkan dan mencoba memahami dengan pikiran diri sendiri sebagaimana pendahulu yang telah merasakan suka dan duka dalam berwisata di suatu tempat. Apalagi di tahun baru yang penuh dengan model dan cara hidupjubelan manusia yang jauh, sangat jauh dan asing sama sekali. Salah satunya Bali. Pusat wisata dan destinasi di Indonesia.

Belajar memahami dunia dari perjalanan menuju dan sampainya di satu tempat kecil sehingga kita bisa benar-benar hidup berbenah dan bersama-sama agar bisa sukses di masa depan. Baik di dunia maupun di hari setelah dunia berakhir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun