Oleh:
M. Rodhi Aulia
Ditulis Kamis Siang, 06 Februari 2014 dan diselesaikan pukul 13:57 WIB.
[caption id="attachment_320906" align="alignnone" width="274" caption="Voting itu bagian demokrasi, tapi bagian lainnya ada yag lebih baik, mufakat, sumber: www.cityofenglewood.org"][/caption]
Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie mengatakan tidak perlu membuktikan repot-repot ia adalah bukan bagian kroni Soeharto. Salah satu statemen besar seorang negarawan yang tidak perlu membuktikan prasangka orang banyak. Terutama buih-buih massa yang hidup di alam demokrasi dan informasi liar.
Sikap Habibie tersebut menjadi contoh agar para pemimpin tidak mudah terjebak dengan perspektif publik berdasarkan kuantitas, tetapi ia percaya dengan perspektif publik berdasarkan kualitas dengan segenap keyakinannya sebagai pemimpin besar.
Menurut pandangan saya, rakyat yang berhimpun dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi dengan fasilitas informasi liar terbagi menjadi dua blok besar. Hal demikian sangat berperan besar dalam menentukan apakah perspektif murni diangkat berdasarkan kuantitas ataupun kualitas.
Blok pertama adalah rakyat atau massa yang menggunakan kedaulatan mereka berdasarkan ide-ide besar dan tidak mudah terpengaruh bisikan-bisikan tidak jelas. Sementara itu, blok besar lainnya adalah mereka yang mudah terombang-ambing.
Sudah menjadi hukum alam rakyat atau massa selalu berkumpul dan membangun power yang berguna untuk mengangkat dan mengelu-elukan suatu sistem atau kebijakan atau seseorang yang dipuja.
Sementara itu, ada pula mereka yang tergabung sebagai massa yang berserikat dan tak jarang berkumpul demi melemahkan otoritas seseorang dengan melepaskan baut-baut penguat seseorang tersebut, yang terkadang seseorang tersebut tidak pernah ingin dielu-elukan yang melampaui batas ketangguhannya. Seseorang yang tidak membuat mereka puas secara pragmatis.
Pascademokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya berdasarkan Undang-undang dasar 1945 adalah model terbaik yang dimiliki oleh publik Indonesia untuk membangun negara ini menjadi berkembang dan sebagainya. Namun yang menjadi permasalahannya adalah ketika sebagian rakyat yang mengaku berdaulat ini masih terjebak di dalam instabilitas dan segala bentuk kelabilannya.
Begitu banyak fenomena-fenomena gerakan rakyat yang terbangun dengan emosi sesaat. Apalagi saat ini, era informasi sedang berjaya. Arus informasi baik-buruk, produktif-kontraproduktif, hilir mudik mengalir ke dalam benak-benak segar yang sebenarnya bisa berpikir rasional dan sebagainya.
Pemberitaan yang begitu massif meluncur dari berbagai media mainstream, jejaring sosial, model-model gosip di berbagai ruang-ruang publik bahkan ruang privat sekalipun. Informasi tersebut menyelinap tanpa melihat kesiapan publik tersebut sudah sempurna atau hanya setengah-setengah.
Hal demikian dapat merubah perspektif orang dengan begitu mudahnya. Terkadang A, lalu besok B. Di samping itu, hal yang menyedihkan adalah terjebak pada perspektif yang jauh dari subtantif dan sebagainya. hal-hal yang jauh dari permasalahan yang sebenarnya sedang dihadapi dan yang membutuhkan jalan keluar dengan segera.
Hak berpendapat dan berserikat juga termasuk diatur dalam hak asasi manusia. Namun akan bermasalah ketika berpendapat dan berserikat hanya berdasarkan motif terselubung. Seperti halnya begitu banyak aksi demonstrasi yang dilancarkan.
Tidak hanya demonstrasi yang dilakukan oleh kaum-kaum tidak terdidik, melainkan mereka yang sudah menerima banyak pencerahan dan pendidikan dari lembaga masing-masing pun ikut terombang-ambing. Sebut saja aksi demonstrasi yang dilancarkan sebagian besar mahasiswa di seantero negeri.
Mereka mengaku sebagai rakyat yang mempunyai kedaulatan mengontrol sebuah kekuasaan, namun secara bersamaan tidak jarang dari peserta aksi adalah massa bayaran atau massa yang digerakan dengan pragmatis. Bagaimana bisa bentuk kontrol mereka dijalankan.
Disinilah pihak-pihak yang cerdas menangkap peluang dengan payung kebebasan berpendapat serta kedaulatan berada di tangan rakyat, selalu siap memobilisasi massa untuk membuat catatan-catatan tertentu bagi penguasa. Ironisnya, bila massa yang digerakkan adalah mereka yang tidak mengerti kenapa mereka dimobilisasi. Sementara yang mereka tahu adalah sesuatu pragmatis yang mereka dapatkan ‘satu jam’ setelah aksi tersebut.
Bagaimana bila sebuah gerakan dibangun tidak berdasarkan kesepakatan dan idealisme besar untuk membangun bangsa ini terus terjadi? Alih-alih memperkuat dan mencoba menjadi agen-agen perubahan di lingkungan sekitar, malah sebaliknya mereka seperti melakukan aksi bunuh diri besar-besaran yang terkadang dilakukan tanpa disadari. Pragmatisme yang menyilaukan pandangan mereka dan sebagainya.
Rakyat, lagi-lagi rakyat. Kata tersebut sering menjadi kata pamungkas atau sekedar tameng ketika menyuarakan sesuatu, terutama di ranah politik dan sebagainya. Sementara yang dimaksud rakyat, rakyat yang mana? rakyat yang menghuni dan berlindung di bawah atap rumah mana? rakyat yang menggunakan baju warna apa dan sebagainya.
Akan tetapi, di samping banyaknya berita miring akan buih-buih yang berkembang, buih-buih yang tediri dari sekumpulan massa labil, namun berkat arus informasi ini pula berdiri dan tersebar banyak gerakan-gerakan rakyat yang produktif. Ini gerakan atau wadah sekumpulan banyak orang yang bersatu berdasarkan idealisme yang sama. Mereka yang sudah sepenuh hatinya berkumpul demi akselerasi tujuan nasional.
Kedaulatan rakyat dan hak berpendapat mereka gunakan dengan baik. Mereka tidak lagi berselera dengan hal-hal yang berbau pragmatisme. Mereka rela turun tangan dan ambil bagian tanpa (maksa) dibayar sepeser pun dan sebagainya.
Inilah yang seharusnya dinamakan rakyat. Rakyat yang berdaulat, dan berusaha menjaga eksistensi negara ini berdasarkan kemampuan rasional dan idealisme mereka. Bukan dengan alasan lain.
Dan pada akhirnya, disinilah seharusnya pemimpin bersikap. Tidak mudah terombang-ambing dan galau ketika memutuskan sesuatu kebijakan besar berdasarkan perspektif publik/rakyat/massa secara kualitas, bukan semata-mata berdasarkan kuantitas.
Karena bila hal ini terus terjadi tentu merusak nilai demokrasi yang sebenarnya. Semoga Indonesia tidak terjebak dengan demokrasi voting terus-terusan dan sebagainya. Melainkan demokrasi Indonesia dibangun demokrasi mufakat. Sebagaimana yang tertuang pada sila keempat.
Dimana butir tersebut mengandung makna mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan bersama dan musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan. Bukan saling menyalahkan terus-terusan, tanpa ditangannya ada lentera yang siap menggantikan lentera yang dianggap padam demi Indonesia yang cerah dan mencerahkan. (Lihat wikipedia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H