Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kritik Pertama terhadap Buku SBY: Selalu Ada Pilihan

19 Januari 2014   12:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390108546492643331

Oleh:

M. R. Aulia

Ditulis Minggu Siang, 19 Januari 2014 dan diselesaikan pukul 11:41 WIB.

[caption id="attachment_316828" align="alignnone" width="627" caption="Buku karya SBY, Selalu Ada Pilihan, Sumber: nasional.news.viva.co.id"][/caption]

Presiden menulis buku. Presiden menggubah lagu. Tidak membuat penulis kaget. Sebagaimana yang dibayangkan SBY saat launching sebuah buku ‘Selalu Ada Pilihan’ pada hari Jumat, 17/01/2014. Sebuah kumpulan artikel yang ditulisnya sejak akhir 2012 hingga rampung pada akhir 2013. Selama setahun penuh ia menabung banyak artikel hingga ketebalan bukunya sekitar 824 halaman. SBY sudah membayangkan, apa saja respons yang akan didapatkan olehnya ketika ia mengumumkan sebuah buah karya pemikiran seorang presiden di saat menjabat.

SBY membayangkan akan banyak pujian, kritik, tuduhan dan masukan. Salah satunya, celah merespon sebuah buku melalui channel kritik. Sebuah resiko atau kemungkinan yang mutlak terjadi di saat ia menghidangkannya ke hadapan publik luas. Ia menyadari akan banyak yang membuat pernyataan tentang aktivitas seorang presiden, yang hanya terkesan meninggalkan tugasnya sebagai kepala negara. Tingginya harapan dan kemutlakan bahwa presiden harus menyelesaikan segala bentuk problematika bangsa. Presiden tidak diizinkan untuk gagal, meskipun hanya sekali dalam masa kepemimpinannya.

Sehari semalam dalam setiap harinya selama memimpin bangsa, ia sepertinya tidak pernah diizinkan untuk melakukan sesuatu di luar tugasnya. Kendati hari libur yang menjadi hak seorang presiden sebagai manusia biasa, layaknya mereka yang bukan seorang presiden, bukan seorang pemimpin lainnya. Atau di masa-masa jeda dalam tugasnya sebagai kepala negara.

Sementara itu, SBY tetap menjadi diri sendiri dalam hal ini. Ia tidak terlalu mempedulikan kata dan komentar minor banyak orang akan kegiatannya yang dianggap jauh dari tugas kepala negara sebenarnya. Agenda yang sangat padat tidak menghalanginya untuk berkarya. Membuat dan mengumpulkan berbagai bentuk refleksi pemikiran tentang apa yang selama ini dipikirkan dan apa yang dilakukan selama kepemimpinannya sebagai presiden ke-6 Indonesia.

Bahkan dengan keberhasilannya menulis sebuah buku di saat memimpin, ia menjadi presiden Indonesia pertama yang menulis bukunya dengan tangan dan jemari sendiri, tanpa menggunakan ghost writer atau dituliskan oleh orang lain. Selain itu, terdapat empat petinggi negara yang menulis buku saat masih aktif menjabat sebagai presiden atau perdana menteri. Mereka adalah Nelson Mandela (Afrika Selatan), Luiz Inacio Lula Da Silva (Brazil), Ariel Sharon (Israel), Lee Myung-Bak (Korea Selatan).

Sebagai orang awam yang selalu meng-kambing-hitam-kan waktu dalam melahirkan sebuah karya, saya sangat tersindir dengan apa yang sudah dilakukan SBY. Alokasi waktu 24 jam sehari semalam yang perbedaannya tidak ada sama sekali dengan siapa pun di antara warganya, tidak membuat SBY berapologi untuk tidak berkarya. Waktu yang dimilikinya sangat padat, hampir tidak ada jeda untuk beristirahat. Apalagi dari wajahnya, SBY sering terlihat kurang tidur dan sebagainya.

Sebagai orang yang memahami akan pentingnya waktu dalam berkarya, tentu kita harus belajar dari SBY. Menggubah lagu atau merangkai kata-kata yang berbentuk sebuah pemikiran tentang apa yang dipahami oleh SBY dalam menilai realita sosial dan kehidupannya sehari-hari adalah tindakan positif. Mau berbagi melalui tulisan atas teori dan fakta di lapangan, kendati sifatnya hanya sekedar opini atau pandangan yang kadar rasa subjektifnya sangat tinggi.

Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan, Ilmu itu adalah binatang buruan (Al Ilmu Soydun). Sementara itu, binatang hasil buruan akan mudah kabur bila tidak ada pengikatnya. Pengikatnya adalah tulisan (Wal kitabatu qoydun). Lalu ikatlah binatang buruanmu dengan tali yang kuat (Qoyyid Suyudaka Bil Hibali Waatsiqa). Melihat maksud dari pepatah arab tersebut, SBY sudah sedikit demi sedikit menjalankannya.

Di sinilah salah satu model berbagi dan meninggalkan sebuah warisan (legacy). Berbagi atau sedekah tidak semat-mata hanya dengan kertas bernilai atau pundi-pundi lainnya. Melainkan banyak cara dalam berbagi. Salah satunya tulisan. Tulisan yang benar-benar mampu diharapkan menjadi salah satu sumber pengaya dalam menghasilkan sudut pandang bagi banyak orang. Terutama mereka yang ingin memperkaya pemahaman dan sudut padang tentang dunia demokrasi dan bagaimana menjalankan sebuah kepemimpinan di era keterbukaan dan kebebasan ini.

Pandangan skeptis atau pun sinis kita atas apa yang dilakukan SBY adalah wajar. Sebagaimana saat musisi kondang, Glen Fredli dalam beberapa waktu lalu di tayangan Mata Najwa. Saat ditanyakan kepadanya apa yang diingat selama kepemerintahan SBY. Ia bersuara dan menganggap pemerintahan SBY tidak lain hanya menghasilkan empat album yang berisi kumpulan gubahan lagu karya SBY saja, tanpa ada progress yang memadai akan banyak ekspektasi publik dalam pengelolaan negara ini. Sungguh pandangan yang skeptis, sinis dan lumrah, tentang sudut pandang orang dalam melihat dunia kepemimpinan.

Oleh karena itu, SBY pasti memiliki banyak kekurangan. Penuh dengan sikap kontroversial selama memimpin Indonesia dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir. Tingginya harapan atau ekspektasi publik yang tertuju di atas pundaknya sebagai kepala negara membuat SBY harus menunaikannya. Faktanya, SBY tidak sepenuhnya berhasil menjawab ekspektasi tersebut. Akan tetapi, di samping itu semua, tentu ada hal yang bisa kita ambil dari cara dan gaya kepresidenan atau kepemimpinan ala SBY.

Pada akhirnya, kepemimpinan tidak semata-mata menjawab semua apa yang diharapkan banyak orang, namun kepemimpinan adalah kemampuan membaca skala prioritas baik prioritas sebagai kepala negara, prioritas sebagai individu yang ingin berkarya dan sebagai manusia biasa yang mungkin berlaku nyeleneh dan bukan hasil setingan protokoler kepresidenan.

Dan kepemimpinan tidak akan bisa dijalankan dengan efektif, bila mereka yang dipimpin tidak pernah tanggap atas apa yang disarankan dan diperintahkan. Di sinilah keseimbangan sangat diperlukan. Karena ini sudah benar-benar kodrat sebagai manusia pemimpin dan manusia dipimpin. Ketika ada satu poin pemenuh keseimbangan murni hilang dari benak seseorang, tentu sebuah kepemimpinan hanya dijalankan layaknya robot atau boneka. Jauh dari ciri khas dan kekuatan pemimpin itu sendiri.

Selalu ada pilihan, sebuah kepemimpinan dijalankan seperti apa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun