Oleh:
M Rodhi Aulia
[caption id="attachment_335174" align="alignnone" width="565" caption="Ilustrasi Koalisi, Sumber: www.tribunnews.com"][/caption]
Saya terkadang heran melihat standar pemikiran orang-orang. Terutama yang berpikir bahwa koalisi adalah salah besar bila terjadi power sharing antar partai politik. Semua tujuan politik adalah mencari kekuasaan. Hampir tidak ada tujuan lain selain kekuasaan. Menjadi pertanyaan, apakah mencari kekuasaan itu haram?
Hampir semua praktik politik adalah mencari kekuasaan. Kekuasaan menjadi cara satu-satunya untuk memiliki kekuatan dalam mengeksekusi ide dan gagasan. Tentang atau perihal mau dibawa kemana negara ini dengan gagasan dan ide yang ditawarkan.
Proses politik adalah akumulasi gagasan besar dari rangkaian nada yang harmoni akan isi benak mereka yang tergabung di dalamnya. Gagasan tersebut mutlak menemukan muaranya. Tidak lain, muaranya adalah kursi kekuasaan. Dimana dengan kekuasaan, siapapun bisa diatur dan siapapun berhak mengatur.
Bila tidak bertemu muaranya, gagasan tersebut hanya bisa bersuara dari luar. Tidak jarang, bila di luar lingkar kekuasaan, gagasan tersebut seperti angin lewat. Sempat terasa sebentar, lalu hilang begitu saja. Gagasan juga bisa menjadi suara bising seperti pepesan kosong. Ideal diungkapan di lidah saja, tapi tidak terlaksana. Tanya kenapa? Karena tak punya kuasa penuh untuk mengeksekusinya.
“Seperti halnya, Walikota Bandung Ridwan Kamil. Dalam suatu kesempatan dia menyampaikan, sebelum memimpin, dia hanya bisa berbuat dan berkarya untuk sosial, tapi tidak banyak. Sering terhambat . Tapi, setelah menjabat, dia bisa melakukan, lebih banyak dari sebelumnya.”
Koalisi ibarat sejumlah bahu yang disumbangkan. Saat seseorang naik menuju puncak pada game panjat pinang. Tanpa ada proses sebelumnya, seseorang yang akan ke puncak tersebut tidak akan sampai atau mudah mencapainya.
Satu per satu bahu disusun. Mulai dari bawah dan mereka saling memperkuat satu sama lain. Sementara sosok yang diutus untuk naik ke atas, mendapatkan kepastian, bahu-bahu penopang, dapat dipercaya untuk mengantarkannya di puncak sana.
Ada dua sisi yang bisa dilihat dari keberhasilan game tersebut. Sisi etis dan sisi tujuan, mereka melakukan usaha tersebut. Sisi pertama adalah bagaimana etika seorang yang pernah dibantu langsung oleh penopang-penopangnya bila hadiah di atas sana, hanya dinikmati seorang tanpa berbagi dengan yang lainnya. Kemudian, untuk apa bahu disusun, bila hanya rasa sakit saja yang didapat, tanpa bisa mengambil rasa manis setelah bahu disumbangkan.
Ilustrasi sederhana. Memang benar, upaya kebaikan harus dilakukan secara ikhlas. Namun dalam kasus tersebut, ikhlas tidak semata-mata adalah menyumbangkan bahu, tapi tidak menerima apa-apa. Ikhlas tidak selamanya, mengandung makna pergi tanpa menerima. Ikhlas menjadi lebih bermakna, sebagai sang penyumbang bahu, tidak berharap lebih dan tidak kecewa, bila apa yang telah diberikannya, tidak berbalas seperti yang diharapkan.
Dalam kasus koalisi. Sangat wajar bila parpol pendukung berharap dan mendapatkan jatah kursi. Karena tujuan didirikannya institusi politik adalah upaya penumbuhkembangkan gagasan, berikut pemupukannya dan penyemaiannya secara langsung, tanpa harus diwakilkan lagi. Sederhananya, politisi sangat menginginkan gagasan yang mereka kembangkan, dapat bernyawa dan bergerak secara aktif dalam pengelolaan negara.
Tuduhan munafik, rakus kekuasaan, gila jabatan adalah keliru ditujukan kepada institusi partai politik. Karena pada dasarnya politik memang terlahir seperti itu. Meskipun sekarang sudah tahun 2014, pergeseran makna politik yang progresif, namun tidak akan jauh definisinya dari rasa untuk berkuasa dan memimpin.
Pilpres atau pileg, sejatinya adalah nama lain dari pertarungan gagasan sekaligus pemasarannya. Janji-janji dan visi-misi adalah pecahan berantai dari makna gagasan tersebut. Lalu dengan kampanye, baik melalui serangan darat (door to door) atau serangan udara (via media) itu adalah pemasarannya. Yang pada intinya, para target yakni voters atau pemilih mempunyai bayangan, seperti apa tawaran yang akan digunakan dalam membangun negara.
Membangun negara artinya menciptakan suasana baru dalam hidup bernegara dan berbangsa. Maka sangat wajar, politisi, apalagi mereka yang berada di level strategis, lebih banyak mengeluarkan kata-kata. Guna mempengaruhi dan menyebarkan gagasan tersebut. Siapa yang kuat gagasannya dan dipahami voters, hal tersebut memberikan ruang gerak yang lebih leluasa, untuk mewujudkan ide dan gagasan tersebut.
Kaitannya dengan koalisi. Sudah seharusnya, perdebatan mengenai koalisi tanpa bagi-bagi kursi berakhir. Namun, yang harus difokuskan adalah siapa sosok yang akan menduduki kursi hasil bagi-bagi tersebut. Mau politisi yang duduk disana, tentu tidak masalah. Selama yang bersangkutan memiliki kompetensi dan integritas yang teruji. Sebagaimana politisi yang menjadi menteri, tidak menjabat top leader atau tergabung dalam struktur partai.
Begitupun juga dengan kursi yang dihuni oleh profesional. Tidak selamanya profesional lebih menjamin keterselesaian problema bangsa. Karena dalam banyak benak orang Indonesia, seseorang disebut profesional, selain kemampuannya, tapi lebih dominan dilihat latar belakangnya, yaitu tidak berangkat dari kendaraan politik manapun. Tentu pandangan tersebut, sah-sah saja.
Benang merah yang bisa diambil dari tulisan ini adalah pelurusan makna bahwa politik adalah perjuangan gagasan. Gagasan akan berguna bila ada kekuasaan. Koalisi adalah jalan berbagi gagasan.
Koalisi adalah pupuk agar gagasan selalu bisa bersemi. Sehingga, perihal yang membawa gagasan dengan kedudukannya sebagai menteri, tentu harus mampu melaksanakannya. Karena tujuan akhir dari proses mencapai kekuasaan sudah di tangan. Sangat sayang sekali, bila proses akhir dari rangkaian politik tersebut disia-siakan begitu saja. apalagi menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan tersebut untuk kepentingan golongan saja.
“Nah disini, kepentingan politik berakhir. Setelah mendapatkan kekuasaan, proses dan praktik politik tidak perlu lagi dijalankan. Sekarang, tinggal bagaimana fokus dengan gagasan yang dimiliki dapat terlaksana untuk kehidupan bangsa dan negara secara keseluruhan.”
Kita sebagai rakyat pun harus berperan. Tidak hanya berpangku tangan saja, ketika selesai mencoblos di TPS. Lalu duduk manis, bak raja, semua yang diharapkan dapat diejawantahkan nyata oleh pemimpin. Sekali-kali tidak. Peran masyarakat sangat dibutuhkan. Tentunya, selain mengkritik saja, atau menyalahkan saja, tapi harus memberi bagaimana cara detailnya yang benar. Jangan hanya menyalahkan, tapi tidak bisa meluruskan. Kalau bisa seperti manual book, untuk meluruskan gagasan pemenang yang sudah lepas dari aktifitas politiknya.
Akhirnya kepentingan politik harus berakhir saat pejabat dari parpol menerima amanah sebagai pejabat publik. Toh, tujuan akhir dari berpolitik adalah ketika sampai di kursi kekuasaan. Dan setelah itu, bagaimana berpikir untuk mengeksekusi semua mimpi dan yang diidam-idamkan. Tentunya berdasarkan keinginan dan tujuan nasional bangsa ini.
“Kepentingan politik berakhir, saat politisi menjabat sebagai pejabat publik.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H