Mohon tunggu...
R Aulia
R Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menjadi Lentera bukan Angin yang selalu meredupkan upaya penerangan anak-anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

21 Mei 1998, Hari Mahasiswa

21 Mei 2014   15:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:17 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

M R Aulia

[caption id="attachment_337395" align="aligncenter" width="470" caption="Gedung DPR dulu, Sumber: Wikipedia"][/caption]


Hari ini hari mahasiswa. Hari ini (dulu) dimana mahasiswa mulai berani terang-terangan menentang penguasa. Penguasa yang dianggap sudah tidak masa kini. Pemimpin yang suka melakukan hal-hal masa gitu. Meski sebelum 1998 sudah ada mahasiswa yang berani. Tapi sejak 1998, keberanian mahasiswa makin kuat. Sampai tujuan akhirnya terjawab. Penguasa turun.

Hari ini (dulu) mahasiwa bercampur baur. Tidak pandang lagi warna almameter yang menempel pada kulit-kulit mereka. Meski SNMPTN atau apapunistilahnya dengan tega memisahkan mereka. Tetapi mereka melebur menjadi satu, yaitu Mahasiswa

Hari ini (dulu) mahasiswa menyemut di sebuah gedung yang katanya tempat orang terhormat. Orang yang memiliki peran menggodok hukum semaunya. Hukumnya cerdas, bila orang pintar nan terhormat itu mau berlagak cerdas. Hukum atau undang-undangnya pilon, kalau orang pintar nan terhormat itu berlagak pilon.

Hari ini (dulu) gedung bercangkang kura-kura itu sedang ramai dikunjungi mahasiswa. Ramai datang dari seluruh nusantara. Mereka memiliki satu suara. Reformasi dan Turunkan Penguasa.

Hari ini (dulu) mahasiswa yang kebanyakan belum kebayang tekonologi informasi, namun ketika ada ajakan atau panggilan untuk turun aksi berjuang menegakkan kebenaran, tanpa tedeng aling-aling, mereka langsung turun ke jalan. Bayangkan dulu tidak ada twitter, facebook, path dan lain-lain. Mungkin saja mereka tidak sempat selfie sewaktu aksi. Atau sambil update status. “aku sedang demo loh.”

Hari ini (dulu) mahasiswa memasuki puncak perjuangan. Setelah berhari-hari menjadi pendatang yang tidak tahu mau tidur dimana. Tidak tahu mau makan dimana. Yang mereka tahu hanya penguasa harus memenuhi tuntutan mereka.

Gara-gara hari ini (dulu), mahasiwa dikenal sebagai agen perubahan. Agen yang menjadi corong menyalurkan aspirasi rakyat tak berdaya kepada penguasa seenaknya. Gara-gara itu pula peran mahasiswa menjadi kuat.

Mahasiswa menjadi identik melakukan aksi demi aksi. Yang terkadang hanya dilakukan turun ke jalan saja. Sambil teriak-teriak apapun itu. Dengan pengeras suara di tangan, dan slayer terikat di kepala. Tak lupa pasta gigi bergaris-garis terpasang di wajah mereka.

Gara-gara itu pula, sampai sekarang mahasiwa semakin berani saja menyampaikan keluhan, ide, pendapat di muka umum.

Namun sayangnya. Sayang seribu sayang. Agen perubahan yang menyemat dalam diri mahasiswa terkadang hanya tampak dari aksi mereka turun ke jalan saja. Dan aksi tersebut, tidak jarang diwarnai dengan aksi anarkis. Bentrok. Kata kebun binatang keluar. Tanpa pernah menyadari, gelar sebagai agen perubahan sedikit tercoreng.

Mereka menganggap ini adalah zaman bebas. Iya sekarang memang bebas. Tapi bebasnya itu pasti dibatasi dengan kebebasan orang lain. Menyampaikan pendapat memang susah-sah gampang. Terkadang objek demonstrasinya, cuek bebek, dengan tuntutan. Pantas saja, mahasiswa sering tersulut emosinya. Maklum jiwa muda. Berapi-api.

Mei 1998 dulu, mungkin aksi mereka jauh dari kepentingan pragmatis. Kepentingan berharap lebih menerima selembar dua lembar uang biru atau merah. Atau menerima satu bungkus nasi.

Tidak tahu sekarang. Mahasiswa yang menamakan diri gerakan anu. Gerakan ini. Tetapi perjuangan mereka menegakkan kebenaran, banyak orang tidak bisa melepaskan dari dugaan, “mereka dibayar” “masa bayaran” dan sebagainya.

Terkadang mahasiswa lebih berani menentang yang jauh. Artinya menentang kesewenang-wenangan penguasa. Presiden. Menteri. Kepala daerah. Kepala ini-kepala itu. Namun jarang yang menentang penguasa dalam skup kampus. Mulai rektor sampai kebawahnya. Apalagi menentang dosen pembimbing yang terkadang, punya selera sepihak. Mahasiswa atau aktifis mahasiswa yang terkenal garang di jalan, tapi kalau sama dospem, biasanya melempem.

Selera sepihak memang tidak enak. Apalagi selera yang dipaksakan harus seragam. Selera yang tidak memiliki hak paksa yang lebih.

Sudah seharusnya mahasiswa berani kepada siapapun. Bila memang hal yang di depan mata tidak membuat hati senang. Tidak perlu harus menentang yang jauh-jauh lalu dianggap sebagai agen perubahan. Kalau ada yang dekat kenapa tidak. Tapi tentu dengan norma kesopanan dan etika. Bukan mencak-mencak.

Namun perlu dicatat, menjadi agen perubahan bukan berarti hanya turun aksi. Tapi bisa dengan memperbanyak dan meningkatkan kualitas prestasi. Meski terkadang jarang diapresiasi. Tugas mahasiswa hanya berprestasi. Masalah apresiasi bukan tugas kita. Biarkan saja.

Salam Mahasiswa

Kamar Tidur, 21 Mei 2014

Bekas Mahasiswa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun