Mohon tunggu...
M. Rasyid Nur
M. Rasyid Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiun guru PNS tidak pensiun sebagai guru

M. Rasyid Nur, pendidik (sudah pensiun dari PNS pada Mei 2017) yang bertekad "Ingin terus belajar dan belajar terus". Penyuka literasi dan berusaha menulis setiap hari sebagai bagian belajar sepanjang hari. Silakan juga diklik: http://mrasyidnur.blogspot.com/ atau http://tanaikarimun.com sebagai tambahan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Densus Korupsi? Contoh Saja Jokowi

26 Oktober 2013   05:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:01 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SALAH satu wacana yang tiba-tiba muncul mengiringi kemunculan Komjen Sutarman di tampuk  Kepolisian RI adalah pembentukan Densus Anti Korupsi. Menjelang dan selama uji kelayakan di DPR, isu pembentukan satuan khusus itu terus bergema. Pada pelantikannya hari Jumat (25/ 10) wacana itu kembali muncul dari pemberitaan televisi. Sepintas, Sutarman akan membawa angin segar dalam usaha pemberantasan penyakit korupsi di Tanah Air ini.

Tidak ada yang salah dari wacana itu. Hanya saja kedengaran masih ganjil dan asing di telinga orang awam. Di tengah bukti bahwa selama ini polisi sudah gagal membuktikan peran penegakan hukumnya di bidang pemberantasan korupsi, masyarakat akan apriori dan skeptis dengan wacana itu. Bagaimana Polri akan mengubah imeg buruknya yang terlanjur dicap masyarakat tidak berpihak kepada anti korupsi selama ini. Lihatlah bagaimana kepolisian menangani persoalan korupsi jika yang terlibat itu orang-orang tertentu (pengusaha, misalnya) yang rajin memberi 'jatah' ke Polri. Apalagi jika yang diduga terlibat itu adalah anggotanya. Masyarkat tidak akan pernah lupa kasus rekening gendut anggota Polri yang tidak jelas kemana ujung-pangkalnya.

Berbeda dengan KPK pandangan masyarakat kepada kepolisian memang bagaikan langit dan bumi. Cap buruk Polri di mata masyarakat belum pulih. Tentu saja penyebabnya adalah karena ulah polisi juga. Polisi masih pilih-pilih kasih dalam penegakan hukum. Seperti peribahasa, "Kena di perut masih dikempiskan; kena di mata masih dipejamkan." Bagaimana orang mau percaya kepada aparat berbaju cokelat itu jika mereka tidak pernah mampu membuktikan penegakan hukum itu memang tidak pilih kasih. Masyarakat tidak ingin pernyataan tapi yang diperlukan pembuktian.

Lihatlah Jokowi yang memimpin DKI. Dia tidak pernah membuat pernyataan untuk memberantas korupsi di provinsi yang diamanahkan rakyat kepadanya. Tapi terbukti, baru satu tahun menjadi gubernur, dia sudah 'memberkas' tak kurang 10 kasus (sepuluh orang) yang terlibat korupsi. Di era gubernur sebelumnya, seolah semua pejabat DKI adalah orang-orang bersih dari korupsi. Kini terbukti para koruptor itu muncul satu per satu. Jokowi tidak perlu mengumbar janji akan memberantas korupsi. Dia hanya mengingatkan untuk tidak main-main dengan penyakit korupsi. Kerja samanya dengan semua aparat hukum, benar-benar dia lakukan.

Sutarman yang sudah menjadi Kapolri sebenarnya tidak perlu membentuk satuan khusus semacam Densus Antiteror untuk memberantas korupsi. Toh mereka sudah mempunyai wewenang untuk memberantas korupsi. Perkuat saja KPK, Jaksa , LSM Antikorupsi dan semua lembaga yang berniat memberangus korupsi maka Polri akan harum namanya. Jika benar di era Kapolri baru ini mempunyai program pembenahan internal, itulah sesungguhnya yang paling baik dan logis untuk dilakukan.

Sekali lagi, seperti Jokowi itu, Sutarman tidak perlu membuat banyak pernyataan yang menyenangkan masyarkat. Tidak usah disebut 'ingin memberantas korupsi' yang memang sudah sangat akut di negeri kita ini. Lakukan saja semua tindakan yang mengarah ke pemberantasan korupsi. Pertama, benar pembenahan internal Polri itu. Semua anggota Polri diwajibkan untuk taat hukum dalam tindakan yang sebenarnya. Bukan dalam pernyataan seperti selama ini.

Jika Kapolri merasa gaji anggotanya belum cukup, tentu saja ini diperhatikan dulu. Lalu semua anggota yang saat ini 'kaya-raya' karena dugaan korupsi, melaporlah dengan jujur dari mana harta-benda itu diperoleh. Laporan kekayaan anggota dan pajaknya, harus menjadi kunci penegakan hukum di bidang korupsi. Terbukalah menjelaskan kekayaan itu. Kurangi dan hilangkan banyak bicara tapi lebih banyak bekerja.

Buktikan dari Sabang sampai Merouke, anggota polisi tidak lagi terlibat pelanggaran hukum sekecil apapun. Bisa? Jika bisa, Sutarman tidak perlu membuat macam-macam satuan untuk penegakan hukum apapun. Revolusi diam-diam ini lebih masuk akal untuk membenahi nama polisi yang terlanjur jelek. Polri adalah pengayom rakyat, buktikan sajalah itu tanpa membuat pernyataan apapun.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun