Mohon tunggu...
M. Rasyid Nur
M. Rasyid Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiun guru PNS tidak pensiun sebagai guru

M. Rasyid Nur, pendidik (sudah pensiun dari PNS pada Mei 2017) yang bertekad "Ingin terus belajar dan belajar terus". Penyuka literasi dan berusaha menulis setiap hari sebagai bagian belajar sepanjang hari. Silakan juga diklik: http://mrasyidnur.blogspot.com/ atau http://tanaikarimun.com sebagai tambahan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Agar Dolar Terkapar?

23 Agustus 2015   17:23 Diperbarui: 23 Agustus 2015   17:23 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

WALAU akan selalu dikatakan mustahil, sebenarnya dolar (mata uang Asing pada umumnya) di Indonesia bisa dibuat terkapar alias anjlok alias turun alias tak laku berbanding rupiah. Haha, bagaimana caranya? Sudah banyak para ekonom dan ahli strategi keuangan berbicara dan memberikan tipnya, harga dolar tetap saja melambung. Dari sehari ke sehari, nilai tukar rupiah kian jeblok saja berbanding mata uang lainnya. Masih percaya dolar bisa dibuat turun nilainya berbanding rupiah?

Numpang pendapat para ahli, jika ingin menghindari krisis ekonomi (krismon) seperti kemarin-kemarin itu, ya tingkatkan ekspor, stop impor terutama barang-barang konsumtif, produksi sebanyak-banyaknya barang konsumsi alias kebutuhan dalam negeri oleh bangsa sendiri, jangan pernah menggunakan dolar ketika bertransaksi alias pakai rupiah saja, dst dst... Inilah beberapa saran dan pandangan mereka yang dapat kita baca atau terdengar lewat media. Tapi apakah semudah itu? Nah itu dia masalahnya.

Untuk meningkatkan ekspor, ternyata ada banyak lika-liku jalannya untuk bisa melakukannya. Bukan saja karena nilai rupiah yang masih dianggap mahal oleh para pembeli barang-barang Indonesia di luar sana, akan tetapi juga prosedur eksport yang sengaja dibuat berbelit-belit oleh bangsa Indonesia sendiri. Belum lagi mutu barang-barang Indonesia yang selalu disebut rendah oleh bangsa Asing mutunya. Ujung-ujungnya eksport itu tidak selalu mulus jalannya.

Dan ketika eksport sudah berjalan, ternyata para eksportir (pengusaha) kita tidak pula suka langsung membawa hasil jualannya (yang jelas dalam bentuk dolar) itu ke dalam negeri. Dengan iktikad yang sedikit licik dan busuk, uang-uang hasil eksportnya diparkir di bank-bank luar negeri sana. Jadinya, jumlah dolar di Indonesia juga tidak bertambah. Nah, itu tentang eksport yang harusnya menjadi salah satu instrumen menekan harga dolar di dalam negeri.

Terus bicara larangan impor barang-barang konsumsi, juga bukanlah perkara mudah. Aneh tapi nyata, inilah fakta kalau bicara inport. Bayangkan, barang-barang kebutuhan sehari-hari yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri, eeh malah terus didatangkan dari negara asing. Makan pokok seperti beras, jagung, gandum, sagu dan entah apa lagi yang sejatinya tumbuh subur di Indonesia ini, tapi nyatanya tidak juga bisa menghasilkan untuk makan sendiri. Selalu ada alasan untuk mendatngkan beras dari luar negeri. Alasan 'gobloknya' adalah kelangkaan di dalam negeri. Masih ingat, kan masalah daging yang dengan tanah seluas dan sesubur Indonesia tidak juga bisa memelihara hewan penghasil daging untuk makan sendiri.

Andai saja barang-barang ini dilarang mengimpornya karena memang ada produksi dalam negerinya, tentu saja kita tidak akan pernah memerlukan dolar untuk membelinya. Dampak lebih jauhnya, barang-barang makanan apapun yang berasal dari produksi dalam negeri tadi, otomatis akan memperkuat rupiah karena memang tidak diperlukan dolar untuk menghasilkannya. Dengan begitu, langkah kedua ini akan jelas-jelas membuat dolar akan terkapar.

Masih ada satu usul para ahli ekonomi untuk membuat dolar tidak akan berkutik di dalam negeri, yakni dengan sikap 'jangan memakai dolar dalam bertransaksi'. Saat ini, ternyata masih sangat banyak orang Indonesia yang hanya sekadar ikut-ikutan memakai dolar dalam bertransaksi. Seperti di Kepri (Batam, Karimun, Tanjungpinang, dll) misalnya, terbukti ada banyak masyarakat Indonesia yang justeru memakai dolar (Amerika atau Singapura) sebagai patokan dalam berjualan. Untuk membeli barang-barang di kedai keturunan China, misalnya selalu saja yang empunya kedai menghitung dan mematok harga barangnya dengan menghitung kurs dolar terakhir. Pada saat harga dolar berubah-ubah seperti saat ini, harga barang-barang di kedainya juga berubah-ubah. Padahal jelas itu adalah produksi dalam negeri.

Atas beberapa tip para pakar itu, akhirnya yang akan menentukannya adalah diri kita sendiri. Selama kita tidak 'sangat' mencintai uang dan negara sendiri, maka selama itu pula kita akan mencari-cari alasan untuk membuat rupiah terpuruk. Sebaliknya jika masyarakat Indonesia tidak mau menyandarkan dan menggantungkan kebutuhan dan kehidupannya kepada Asing, maka insyaallah dolar itu akan terkapar di Indonesia. Mengapa juga kita sibuk memikirkan dolar Amerika atau dolar Singapura itu? Mari dipakai saja rupiah kita, selesailah masalahnya. Sekali lagi, tentu saja barang-barang kebutuhan sehari-hari rakyat jangan pernah diimport lagi. Bisa? Terserah kita.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun