BERITA sebuah harian pada hari Jumat (21/ 02) lalu menginformasikan adanya beberapa orang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) K-2 (Kategori Dua) di lingkungan Pemda Karimun yang mundur. Mereka mundur, konon tersangkut dugaan pemalsuan data-data sebagai tenaga honorer. Kelompok honorer K-2 yang telah diumumkan Pemerintah Pusat beberapa hari lalu, di Pemda Karimun mendapatkan jatah lumayan jumlahnya walaupun tidak senmuanya dinyatakan lulus.
Setelah beberapa hari diumumkan dan diadakan verifikasi ulang dan lengkap terhadap data-data tenaga honorer ini diduga ada beberapa orang yang memalsukan datanya. Bahkan tersebar pula berita bahwa beberapa orang diantara yang diduga bermasalah tapi dinyatakan lulus itu, sudah pernah dilaporkan oleh salah satu LSM ke pihak kepolisian. Namun kasusnya terendap begitu saja. Kini, setelah ada pengumuman Pemerintah, ternyata sebagian diantara mereka yang diduga bermasalah malah dinyatakan lulus dan akan diberi NIP (Nomor Induk Pegawai) sebagai PNS.
Ada sesuatu yang menggelitik hati. Apakah karena kasus dugaan pemalsuan data atau karena sebab lain, yang pasti setelah pejabat berwewenang melaksanakan verifikasi ulang terhadap nama-nama honorer yang dinyatakan lulus itu, diberitakan ada beberapa orang yang menyatakan mundur. Artinya tidak jadi dan tidak mau menjadi pegawai negeri. Karena mundur sendiri atau mendapat tekanan agar mundur, hanya pihak-pihak terkait itulah yang tahu.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana para tenaga honorer ini bisa terus diproses jika mereka menggunakan data palsu sejak awal? Bagaimana tim seleksi sejak dari bawah bisa kecolongan hingga namanya tetap muncul sampai ke proses akhir. Waktu proses itupun begitu panjang dan jelimet. Tapi akhirnya mereka dinyatakan lulus untuk segera diangkat menjadi PNS di republik ini meskipun mereka bermasalah dengan data-data pendukungnya.
Jika tim seleksi daerah merasa tertipu sehingga berkas-berkasnya tetap terkirim ke Pusat sana, apakah itu berarti oknum tenaga honorer ini saja yang bersalah karena telah menipu? Tentu saja tidak. Pasti juga ada oknum lain yang menyebabkan aksi penipuan data itu berjalan dengan mulus. Pertanyaan berikutnya, siapa yang mengeluarkan dan mengesahkan data-data palsu itu? Mereka seharusnya juga perlu diminta pertanggungjawabannya.
Di sisi lain, pengunduran diri oknum honorer K-2 yang terlanjur dinyatakan lulus itu tidak akan menghilangkan begitu saja pelanggaran hukum yang telah mereka lakukan. Jika pemalsuan data itu adalah atas kerja sama antara oknum honorer dengan pihak-pihak yang membantunya maka pihak-pihak itu harus juga ikut bertanggung jawab. Pihak penegak hukum seharusnya memproses pelanggaran hukum ini.
Harus diingat bahwa akibat pelanggaran hukum dalam bentuk pemalsuan data yang dilakukan oknum-oknum ini tentu saja sudah menyebabkan hilangnya kesempatan honorer lain yang kemnungkinan bisa lulus tapi tidak bisa karena kuota yang sudah ditetapkan oleh Pusat. Jika umpama ada kuota seratus orang, maka kuota ini akan ditutup pada garis angka seratus sesuai nilai yang ditentukan walaupun yang berhak untuk diajukan lebih banyak. Kini kesempatan itu tertutup karena adanya oknum pemalsu ini. Itulah pelanggaran hokum yang mesti diusut.
Diharapkan aparat hukum bertindak cepat dan tegas untuk menelisik pelanggaran hukum ini. Harus dijadikan kasus ini sebagai pembelajaran oleh masyarakat untuk masa-masa mendatang. Menjadi perhatian pula, boleh jadi di daerah lain di Indonesia ini juga ada kasus yang sama atau hamper sama. Untuk yang di Karimun, Pemerintah Daerah seharusnya proaktif mendorong aparat hukum untuk bertindak sebagai usaha pembersihan nama baiknya agar tidak dituding ikut bermain dalam kasus ini.***
Artikel yang sama di: http://mrasyidnur.blogspot.com/2014/02/k-2-setelah-lulus-lalu-mundur.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H