Coba perhatikan, ketika musim ujian, siapa yang paling deg-degan? Orang tua atau sang anak? Saat ini telah terjadi pengikisan tujuan ideal dari sebuah pembelajaran di sekolah. Anak, selalu saja dituntut untuk selalu berhasil dalam ujian dengan nilai yang tinggi. Karena nilai bagus itu menjadi tanda bahwa anak kita pintar. Cukup membanggakan untuk dipamerkan dalam sebuah obrolan antar orangtua. Orangtua sudah pasti akan menanggung malu jika anaknya punya nilai yang jelek, karena dipastikan tetangga atau saudaranya akan menganggap anaknya BODOH.
Ujian, sebenarnya adalah metode (cara) untuk mengukur seberapa besar pemahaman siswa terhadap pelajaran yang sudah diajarkan. Jika pemahaman pada pelajaran yang diajarkan masih kurang, dapat diukur dari nilai ujiannya.
Seiring dengan perkembangan waktu dan persaingan yang semakin tinggi terhadap hasil yang didapatkan dalam ujian sekolah dengan keberhasilan untuk memasuki jenjang berikutnya ke sekolah-sekolah negeri unggulan, maka ujian menjadi patokan utama bagi sekolah. Perhatikan, bagaimana saat ini Ujian Nasional bak Monster bagi Siswa, Orang tua siswa, bahkan untuk Guru. Semua harus bekerja keras berupaya untuk meluluskan siswanya dalam UN tersebut. Walaupun UN bukan satu-satunya acuan utama kelulusan Siswa, karena masih ada Ujian Sekolah yang harus tetap diperhatikan. Waktu belajar lebih dititik beratkan pada pembahasan Soal-soal daripada teori-teorinya. Sehingga, sekolah sebagai lembaga pendidikan untuk menggali Ilmu berubah menjadi Lembaga Pendidikan Menggali Soal.
Paradigma inilah yang akhirnya membuat orangtua sibuk dan selalu saja terlibat dengan pelajaran yang sedang dan akan dipelajari oleh anak. Jika ia tidak dapat terlibat langsung karena kurangnya pemahaman pada pelajaran tersebut atau kurangnya waktu untuk membimbing sang anak, maka ia mendaftarkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar (Bimbel). Lembaga Bimbingan Belajar akhirnya menjamur, kemudian berlomba-lomba untuk menjadikan siswa bimbelnya sebagai "mesin penjawab soal". Bahkan, ada yang berani memasang slogan "Gagal Ujian, Uang kembali". Luar biasa!
Anak yang belum memahami pelajaran sekolah atau malas dalam mengikuti pelajaran, cenderung akan memutar otak dan mencari akal untuk mendapatkan nilai yang bagus saat ujian. Bisa jadi ia mencontek dari jawaban teman-temannya. Di sinilah mulainya budaya "Berbohong karena takut". Namun, tenang... jangan terlalu khawatir, Guru pun siap membantu siswanya dengan memberikan KUNCI JAWABAN. Karena, kredibilitas sang Guru dipertaruhkan pula dalam keberhasilan siswa-siswanya dalam menjawab soal ujian. Sangat mengerikan!
Apa sebenarnya yang hendak dikejar oleh lembaga pendidikan, siswa, dan orangtua? Coba perhatikan, jika dalam sebuah sekolah, banyak siswa yang lulus dalam Ujian Nasional, maka popularitas sekolahpun kian naik dan menjadi sekolah unggulan. Bargaining sekolahpun ikut terangkat, sehingga akan memikat banyaknya orangtua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Sebuah tujuan yang sangat mulia bukan?
Berlebihankah jika disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan sekolah saat ini adalah LULUS UJIAN bukan MENIMBA ILMU?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H