Buku "How Democracies Die" karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menawarkan analisis mendalam tentang cara-cara demokrasi dapat runtuh melalui proses-proses yang bertahap dan sering kali tidak terlihat secara langsung. Ketika kita melihat situasi politik di Indonesia, banyak contoh yang menunjukkan pola serupa seperti yang diuraikan dalam buku tersebut. Dua kasus terbaru, yaitu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, menjadi calon wakil presiden, serta keputusan Mahkamah Agung (MA) mengenai batas usia calon gubernur yang memungkinkan putra kedua presiden yaitu Kaesang Pangarep untuk maju dalam pemilihan gubernur Jakarta, mencerminkan potret kemunduran demokrasi Indonesia.
Penolakan Aturan Main Demokrasi
Salah satu tanda pertama dari kemunduran demokrasi adalah penolakan atau pelemahan aturan main demokrasi itu sendiri. Di Indonesia, keputusan MK dan MA yang tampak sebagai alat untuk meloloskan kepentingan politik keluarga presiden adalah contoh nyata dari penolakan terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi. Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan terhadap pelanggaran konstitusi, malah terkesan melakukan interpretasi hukum yang memihak. Keputusan untuk meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden menunjukkan adanya upaya manipulasi hukum untuk kepentingan politik tertentu.
Keputusan ini mengingatkan pada peringatan Levitsky dan Ziblatt tentang bagaimana pemimpin otoriter modern sering menggunakan lembaga-lembaga demokrasi untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Dengan melemahkan independensi lembaga-lembaga ini, demokrasi secara perlahan terkikis dari dalam. Di Indonesia, tindakan-tindakan semacam ini menciptakan preseden berbahaya yang mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan demokrasi.
Penolakan Legitimasi Lawan Politik
Selain penolakan aturan main, tanda lain dari kemunduran demokrasi adalah penolakan legitimasi lawan politik. Di Indonesia, ini terlihat dalam cara pemerintah dan partai berkuasa menangani oposisi dan kritik. Setiap bentuk kritik atau oposisi sering kali dihadapi dengan tindakan represif, mulai dari kriminalisasi tokoh oposisi hingga pembatasan kebebasan berbicara.
Kasus yang menonjol adalah penangkapan aktivis dan jurnalis yang kritis terhadap pemerintah. Penangkapan ini tidak hanya menciptakan iklim ketakutan tetapi juga mengirim pesan bahwa setiap bentuk oposisi tidak akan ditoleransi. Ini sejalan dengan observasi Levitsky dan Ziblatt bahwa demokrasi mulai mati ketika oposisi politik tidak lagi dianggap sebagai bagian sah dari proses demokrasi, melainkan sebagai musuh yang harus dibungkam.
Pengabaian terhadap Kekerasan
Levitsky dan Ziblatt juga mengingatkan bahwa tanda kemunduran demokrasi adalah pengabaian atau dorongan terhadap kekerasan. Meskipun Indonesia tidak secara eksplisit mendukung kekerasan, ada banyak kasus di mana kekerasan terhadap kelompok tertentu diabaikan. Misalnya, kekerasan terhadap minoritas agama dan etnis sering kali tidak mendapatkan penanganan yang tegas dari aparat penegak hukum. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan dan ketidakamanan di kalangan masyarakat.
Selain itu, tindakan represif terhadap demonstrasi damai juga mencerminkan pembiaran terhadap kekerasan. Demonstrasi mahasiswa dan aktivis yang sering kali berujung pada bentrokan dengan aparat keamanan menunjukkan bagaimana negara menggunakan kekerasan untuk mengendalikan dissent.
Pembatasan Kebebasan Sipil dan Media
Pembatasan kebebasan sipil dan media juga menjadi indikator utama erosi demokrasi. Di Indonesia, kebebasan media semakin terancam dengan berbagai regulasi yang membatasi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di internet. UU ITE, misalnya, sering digunakan untuk menjerat individu yang mengkritik pemerintah di media sosial. Ini tidak hanya membatasi kebebasan berbicara tetapi juga menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis dan aktivis.
Media, yang seharusnya berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi, kini sering kali mengalami tekanan untuk tidak mengkritik pemerintah. Kondisi ini mengarah pada pengurangan kualitas informasi yang diterima publik dan memperburuk polarisasi di masyarakat.
Konsekuensi dan Jalan Keluar
Kemunduran demokrasi di Indonesia, seperti yang digambarkan oleh Levitsky dan Ziblatt, memiliki konsekuensi serius bagi stabilitas politik dan sosial. Ketika kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi hilang, risiko konflik sosial meningkat. Politisasi lembaga hukum dan pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok memperdalam jurang ketidakadilan dan ketidakpuasan.
Untuk membalikkan arah kemunduran ini, beberapa langkah perlu diambil:
1. Penguatan Institusi Demokrasi: Lembaga-lembaga seperti MK dan MA harus dijaga independensinya. Transparansi dalam pengambilan keputusan dan akuntabilitas terhadap publik harus ditingkatkan.
2. Perlindungan Kebebasan Sipil: Kebebasan berbicara, berkumpul, dan pers harus dilindungi. Revisi terhadap undang-undang yang represif seperti UU ITE sangat diperlukan.
3. Pendidikan Demokrasi: Masyarakat harus diberdayakan dengan pendidikan demokrasi yang kuat untuk memahami hak dan kewajibannya serta pentingnya partisipasi politik.
4. Peningkatan Partisipasi Publik: Partisipasi masyarakat dalam proses politik harus ditingkatkan melalui mekanisme yang inklusif dan transparan.
5. Penegakan Hukum yang Adil: Hukum harus ditegakkan secara adil tanpa pandang bulu untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Dalam penutupannya, "How Democracies Die" mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak mati dalam satu malam, tetapi melalui serangkaian langkah kecil yang merusak fondasinya. Indonesia harus waspada dan mengambil tindakan tegas untuk mencegah kemunduran lebih lanjut. Demokrasi adalah tanggung jawab bersama, dan hanya melalui komitmen kolektif kita dapat memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan kuat.