secara etimologis sekolah berasal dari bahasa latin skhole, scola, scolaae atau skhola yang artinya waktu luang, pada masa itu sekolah merupakan kegiatan yang dilakukan pada waktu luang di antara kegiatan utama yaitu bermain. jika kita melihat kondisi sekarang ini kata sekolah mengalami degradasi dari arti yang sebenarnya di mana sekolah menjadi kegiatan utama hampir seluruh anak-anak, remaja, dan dewasa. setiap hari kita dituntut untuk mengikuti setiap kegiatan yang berkaitan dengan proses belajar di sekolah, yang kesemuanya itu berfokus ke pengembangan fungsih otak kiri  yang berhubungan dengan kemampuan berhitung,logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca. masih pantaskah di sebut sekolah?
kurikulum yang kembangkan pemerintah, mulai dari kurikulum pertama pada tahun 1947 atau Rencana Pelajaran 1947 sampai pada kurikulum tahun 2006 yaitu kurikulum  tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan sekarang pemerintah kembali merancang model kurikulum baru yang rancananya mulai di terapkan pada pertengahan bulan juni hingga awal bulan juli tahun 2013. sekarang ini sudah terhitung 9 kali pemerintah dalam hal ini kementrian pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud), melakukan pergantian kurikulum. penulis sendiri sempat menjalani satu semester dengan dua kurikulum, dikarenakan proses peralihan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) ke kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP),sehingga hal ini berdampak pada penurunan tingkat prestasi siswa pada masa itu.
back to topic, sekolah yang menjadi tempat belajar (bukan bermain) tak ubahnya sebuah penjara ilmu, individualisme menjadi cerminan wajah pendidikan di negeri kita ini, hal ini di sebabkan oleh model pembelajaran yang lebih mengedepankan kecerdasan intelektual (IQ) di bandingkan kecerdasan emosional (EQ) yang berperan dalam hal sosialisasi, komunikasi, interkasi, dan pengendalian emosi serta kemapuan intuitif, kemampuan merasakan dan ekspresi tubuh. sehingga negara kita ini 'pantas' menjadi ladang subur tumbuhnya "penjahat berintelektual".
kesimpulannya, sekolah yang menjadi dasar pembentukan karakter melalalui proses belajar (harusnya juga bermain), tidak mampu menjalankan perannya. haruskah ada pergantian peran?, siapa?!. sekarang ini sulit mencari "kambing hitam" penyebab carut marutnya kondisi pendidikan di negara kita ini, karena pada dasarnya tidak ada orang atau kelompok yang mau di salahkan. di sisi lain pemerintah pasti ingin yang terbaik untuk negeri kita ini (meski caranya salah), begitupun kita (pelajar) yang hanya bisa mengikuti setiap keputusan yang di tetapkan pemerintah, karena sifatnya absolut. solusi terbaik kembali kembali ke diri kita masing-masing (pelajar) untuk pendai-pandai mencari dan melengkapi apa yang tidak mampu mereka (pemerintah) berikan, atau kita kembali ke arti sekolah yang sebenarnya?!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H