Dalam sebuah kompetisi, pasti selalu ada predikat yang terbaik dan nomor satu. Yang jelas tidak semua peserta kompetisi bisa meraih salah satu atau keduanya. Ada peserta kompetisi yang bisa meraih keduanya, salah satu, atau bahkan tidak keduanya. Ini berarti terdapat beberapa kemungkinan hasil yang bisa diraih oleh peserta sebuah kompetisi. Ada peserta kompetisi bisa tidak mampu meraih keduanya, ada yang bisa menjadi yang terbaik tetapi tidak nomor satu, ada yang bisa nomor satu tetapi bukan yang terbaik, atau bahkan ada yang mampu menjadi yang terbaik sekaligus nomor satu.
Lalu apa hubungannya kompetisi dengan Ujian Nasional (UN)? Apakah UN adalah sebuah kompetisi? Lalu siapa yang berkompetisi dalam UN? Fenomena yang muncul belakangan, UN memang sudah dijadikan sebuah ajang kompetisi. Mengapa demikian? Ya, karena sebagian besar yang berkepentingan di dalamnya berlomba-lomba untuk menjadi nomor satu. Peringkat hasil UN sudah dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan pendidikan yang telah berjalan 3 (tiga) tahun sebelumnya. Oleh karenanya tidak mengherankan jika sebagian yang berkepentingan, mulai dari tingkat Sekolah, Kabupaten, dan Provinsi berlomba untuk menjadi yang nomor satu. Hal ini juga didukung oleh kemauan orang tua (masyarakat) yang menginginkan sekolah di mana putra-putrinya belajar menjadi yang nomor satu. Predikat nomor satu peraih hasil UN menjadi sebuah kebanggaan dan indikator keberhasilan orang tua (masyarakat), Kepala Sekolah dan/atau guru (Sekolah), dan pejabat pemerintah setempat.
Fenomena UN menjadi ajang kompetisi tersebut tentu akan sangat berpengaruh di dalam perjalanannya. Apalagi di ajang tersebut hanya dilihat yang nomor satu. Predikat yang terbaik tidak pernah ada. Kalaupun ada akan ditentukan juga berdasarkan peringkat. Yang justru ada dalam UN adalah predikat yang paling jujur dalam penyelenggaraannya. Tetapi predikat ini tidak banyak diburu. Jujur dalam penyelenggaraan saja tidak cukup membanggakan kalau tidak menjadi yang nomor satu. Berbagai strategi diterapkan oleh orang tua (masyarakat), sekolah, dan pemerintah setempat untuk memacu “jagonya” menjadi nomor satu dalam even itu. Orang tua (masyarakat) menuntut diberikannya jam pelajaran tambahan ke sekolah, disamping sudah melakukannya di luar sekolah. Seolah-olah mereka belum mantap mempersiapkan putra-putrinya menghadapi UN apabila belum mendapat jam tambahan dari gurunya (sekolah). Kepala sekolah sebagai top manajemen selalu memotivasi gurunya dengan slogan “apa pun cara/strateginya harus nomor satu”. Akibatnya, guru pun menyederhanakan proses pembelajarannya dengan cara pemadatan, seluruh materi kelas IX diselesaikan di semester 1, agar pada semester 2 bisa lebih fokus ke persiapan UN. Tentu tidak semua guru melakukan strategi seperti yang disebut terakhir. Masih banyak guru yang berpegang teguh bahwa UN hanyalah salah satu dari bentuk evaluasi yang tidak jauh berbeda dengan bentuk evaluasi lainnya seperti ulangan harian, ulangan akhir semester, dan ulangan akhir semester.
Untuk menjadi nomor satu dalam UN memang membutuhkan strategi, tetapi juga tidak harus melalui proses pembelajaran yang dipadatkan yang akan menimbulkan kesan instan dalam prosesnya. Di dalam permendiknas nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian dinyatakan bahwa Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan. Ini berarti UN hanyalah bagian dari evaluasi pembelajaran yang dilaksanakan setelah peserta didik (siswa) mencapai kompetensi minimal seperti tercantum dalam Standar Isi. Dengan demikian, hasil UN pun sebenarnya merupakan potret pelaksanaan proses pembelajaran wajar tanpa pemadatan atau bahkan pengurangan kompetensi. Mengapa pengurangan kompetensi? Beberapa teman guru di beberapa sekolah tidak menyampaikan kompetensi tertentu sesuai Standar Isi, karena kompetensi itu tidak muncul dalam SKL UN sebelum tahun 2012 yang merupakan irisan 3 (tiga) kurikulum 1994, 2004, dan KTSP.
Akhirnya semua terserah kepada masing-masing sekolah beserta semua komponen terkait di dalamnya. Akan menjadi yang terbaik? Nomor satu? Ataukah keduanya. Yang jelas karena pendidikan merupakan investasi jangka panjang, yang hasilnya akan digunakan sebagai bekal menempuh pendidikan pada jenjang selanjutnya dan/atau memasuki dunia kerja, menjadi yang terbaik adalah sebuah pilihan yang lebih tepat. Terbaik dalam proses 3 (tahun) sebelumnya, terbaik dalam persiapan menghadapi UN, dan terbaik dalam penyelenggaraannya. Jika ketiga hal tersebut dilaksanakan, bukanlah hal yang mustahil untuk meraih predikat NOMOR SATU sekaligus YANG TERBAIK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H