Menyambut hari Ibu internasional yang diperingati pada minggu kedua bulan Mei ini, berikut adalah tulisan seorang cendekiawan Tiongkok dari Dinasti Qing, Jiang Shiquan (1725–1785), tentang potret ibunya yang mewakili nilai kebajikan seorang ibu dalam tradisi Tionghoa: cinta, kesabaran, toleransi, pengorbanan diri, dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga. Apa yang diperjuangkannya adalah memastikan bahwa anaknya mendapatkan pendidikan yang baik. Inilah gambaran yang paling tepat bagi kebijaksanaan seorang ibu.
Ibu saya menikah dengan ayah saya ketika beliau berusia delapan belas tahun. Ayah saya baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke empat puluh. Ibu adalah seorang wanita yang berpengetahuan, karena beliau telah belajar dengan ayahnya sejak beliau masih kecil.
Ketika saya berusia empat tahun, Ayah harus meninggalkan rumah untuk bekerja di tempat lain. Beliau menitipkan Ibu dan saya untuk tinggal bersama kakek saya.
Saya mulai belajar dengan Ibu. Setiap hari beliau akan mengajari saya sepuluh kosakata baru. Hari berikutnya beliau akan menyuruh saya untuk menuliskan kosakata yang sudah saya pelajari. Ibu biasanya menenun ketika saya belajar. Ibu menginginkan saya untuk membaca dengan suara keras, dan sering kali suara saya dan suara alat tenun saling bersahutan satu sama lain di ruang kami yang kecil itu.
Jika saya tidak belajar dengan giat, Ibu akan kecewa. Kadang-kadang beliau memukul saya, meskipun jika beliau melakukannya, matanya akan berlinang air mata. Kadang-kadang saya menjadi sangat lelah dan tertidur di tangan Ibu. Namun Ibu akan membangunkan saya setelah beberapa saat dan menyuruh saya menyelesaikan tugas saya. Ketika saya membuka mata, saya akan mendapatkan beliau menangis lagi. Kemudian saya menangis bersamanya dan melanjutkan untuk belajar.
"Jika kamu tidak belajar," Ibu memeluk saya dengan tangannya dan berkata, "Apa yang akan kita tunjukkan kepada ayahmu ketika ia kembali?"
"Adik, kamu hanya memiliki satu anak," kata bibi saya kepada ibu saya. "Kenapa kamu begitu keras terhadapnya?"
"Jika saya memiliki beberapa anak," jawab Ibu, "Mungkin akan berbeda. Justru karena saya hanya memiliki satu anak, saya ingin ia sukses di masa depannya."
Pada suatu hari Ibu jatuh sakit. Saya duduk di samping tempat tidurnya. Beliau memandang saya dan saya memandang beliau, hati kami dipenuhi oleh perasaan cinta yang tak terlukiskan dibalut oleh penderitaan.
"Apa yang dapat saya lakukan untuk membuatmu bahagia, Ibu?" tanya saya."Jika kamu dapat mengulangi apa yang telah kamu pelajari, saya akan sangat bahagia."
Maka saya berdiri, mengucapkan dengan keras dan jelas apa yang telah saya pelajari.