Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Metode Dasar Meditasi (Bagian 2)

23 Oktober 2011   13:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:36 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

(Sambungan dari bagian 1)

Pada bagian ini kita akan mempelajari tiga tahap meditasi lebih lanjut: tahap lima, perhatian sinambung penuh pada napas yang indah; tahap enam, mengalami nimitta (“tanda”) yang indah; dan tahap tujuh, jhana (pemusatan pikiran).

Tahap Lima: Perhatian Sinambung Penuh Pada Napas yang Indah

Tahap kelima disebut perhatian sinambung penuh pada napas yang indah. Seringkali tahap ini mengalir secara alamiah dan mulus dari tahap sebelumnya. Seperti yang telah dibahas secara ringkas pada bagian sebelumnya, ketika perhatian penuh kita terkukuhkan dengan mudah dan terus-menerus pada pengalaman bernapas tanpa suatu apa pun yang mengusik arus kesadaran, napas menjadi tenang. Napas berubah dari kasar, napas biasa, menjadi “napas indah” yang sangat lembut dan damai. Pikiran mengenali napas yang indah ini dan bergembira di dalamnya. Napas mengalami rasa puas yang mendalam. Mengawasi napas yang indah ini sungguh membahagiakan, dan tidak perlu pengerahan apa pun.

Tidak Berbuat Apa-apa

“Anda” jangan melakukan apa-apa. Jika Anda berusaha melakukan sesuatu pada tahap ini, Anda akan mengganggu keseluruhan proses. Keindahan akan hilang. Ini ibarat mendarat di atas kepala ular dalam permainan ular tangga. Anda harus mengulang banyak petak lagi. Dari tahap meditasi ini, si pelaku harus lenyap. Anda hanyalah pengetahu, yang mengamati dengan pasif.

Sebuah trik yang berguna dalam tahap ini adalah sejenak memutus keheningan batin dan dengan lembut berkata kepada diri Anda sendiri: “Tenang.” Itu saja. Pada tahap meditasi ini, pikiran biasanya menjadi begitu peka sehingga sebuah dorongan kecil pun dapat menyebabkan pikiran mengikuti perintah tersebut dengan patuhnya. Napas menjadi tenang dan napas yang indah pun terbitlah.

Ketika kita dengan pasif mengamati napas yang indah pada momen itu, persepsi akan “masuk” (napas) atau “keluar” (napas), atau awal, tengah, atau akhir napas, harus diperkenankan menghilang. Selebihnya adalah pengalaman napas indah yang terjadi saat ini. Pikiran tidak memedulikan pada siklus mana napas masuk atau di bagian tubuh mana hal itu terjadi. Di sini kita menyederhanakan objek meditasi. Kita mengalami napas pada momen tersebut, menyingkirkan semua tetek bengek yang tak perlu. Kita bergerak melampaui dualitas “masuk” dan “keluar” dan sekedar menyadari napas indah yang tampak lembut dan sinambung, nyaris tidak berubah sama sekali.

Benar-benar jangan lakukan apa pun dan lihatlah betapa napas menjadi begitu lembut, indah, dan langgeng. Lihatlah seberapa tenang Anda dapat membiarkannya seperti itu. Luangkanlah waktu untuk mengecap manisnya napas yang indah – semakin tenang, semakin manis.

Hanya “Keindahan” yang Tersisa

Segera napas akan lenyap, bukan ketika Anda menginginkannya, namun ketika terdapat cukup ketenangan, hanya menyisakan tanda “keindahan”.

Kutipan terkenal dari kesusasteraan Inggris mungkin bisa membantu menjelaskan pengalaman lenyapnya napas kita. Dalam Alice In Wonderland karya Lewis Caroll, Alice terperanjat ketika Kucing Cheshire yang tengah duduk di cabang sebuah pohon di dekatnya dan menyeringai lebar. Seperti semua makhluk aneh di Negeri Ajaib, Kucing Cheshire itu memiliki kefasihan bicara bak politikus. Si kucing tidak hanya lebih tangkas dari Alice dalam percakapan yang berlangsung, tetapi ia juga tiba-tiba menghilang dan lantas, tanpa aba-aba, mendadak muncul kembali begitu saja.

Alice berkata, “... aku minta kamu tidak tiba-tiba muncul dan menghilang. Kamu bikin orang benar-benar pusing!”

“Baiklah,” kata si kucing, dan kali ini ia menghilang dengan perlahan-lahan, mulai dari ujung ekor dan berakhir dengan seringainya, yang bertahan sejenak setelah bagian tubuh lainnya menghilang.

“Oke! Aku sudah sering melihat kucing tanpa seringai,” pikir Alice, “tetapi ini seringai tanpa kucing! Ini hal paling aneh yang pernah kulihat seumur hidupku!”

Kisah ini adalah analogi yang cukup pas untuk melukiskan pengalaman meditasi. Seperti Kucing Cheshire yang menghilang dan hanya meninggalkan seringai senyumnya, demikianlah tubuh dan napas meditator menghilang, menyisakan keindahan belaka. Bagi Alice, hal tersebut adalah hal yang paling aneh yang pernah ia saksikan sepanjang hayatnya. Bagi meditator hal itu juga aneh, untuk dengan jelas mengalami sebuah keindahan yang bebas mengambang, tanpa sesuatu apa pun yang mewujudinya, bahkan napas sekalipun tidak.

Keindahan itu, atau lebih tepatnya tanda keindahan, adalah tahap berikutnya pada jalan meditasi ini. Kata Pali untuk “tanda” adalah nimitta. Jadi tahap selanjutnya ini disebut “mengalami nimitta yang indah”.

Tahap Enam: Mengalami Nimitta yang Indah

Tahap keenam ini tercapai ketika kita melepaskan tubuh, pemikiran, dan kelima indera (termasuk kesadaran napas) sedemikian penuhnya hingga tanda batin yang indah, nimitta, sajalah yang tersisa.

Objek batin yang murni ini adalah objek sejati dalam sudut pandang pikiran (citta), dan tatkala objek ini muncul untuk pertama kalinya, akan terasa sangat aneh. Kita benar-benar belum pernah mengalami sesuatu seperti ini. Meskipun begitu, aktivitas batin yang kita sebut persepsi mencari melalui bank memori pengalaman hidup sesuatu yang setidaknya sedikit mirip dengannya. Bagi kebanyakan meditator, keindahan tak berwujud ini, sukacita batin ini, dipersepsi sebagai seberkas cahaya yang indah. Sebagian orang melihatnya sebagai cahaya putih, sebagian melihatnya sebagai sebuah bintang emas, sebutir mutiara biru, dan sebagainya. Namun itu bukan cahaya. Mata kita terpejam, dan kesadaran penglihatan telah lama dipadamkan. Inilah saat pertama kalinya kesadaran pikiran terbebas dari pancaindera. Hal ini seperti bulan purnama – yang di sini menunjuk pada pikiran yang cemerlang, keluar dari balik awan – yang di sini menunjuk pada dunia pancaindera. Itu adalah pikiran yang bermanifestasi – bukan cahaya, namun bagi kebanyakan orang hal itu tampak sebagai cahaya. Hal itu dipersepsikan sebagai cahaya karena deskripsi tak sempurna ini adalah yang terbaik yang dapat ditawarkan oleh persepsi.

Bagi para meditator lain, persepsi memilih untuk mendeskripsikan penampakan pertama pikiran ini dalam bentuk sensasi fisik seperti keheningan atau kegirangan luar biasa. Sekali lagi, kesadaran tubuh (yang mengalami nyaman dan sakit, panas dan dingin, dan sebagainya) telah lama ditutup rapat-rapat, jadi ini bukanlah perasaan badaniah. Hal ini hanya dipersepsikan sebagai serupa dengan kenikmatan. Meskipun sebagian meditator mengalami sensasi-sensasi sedangkan yang lain melihat cahaya, yang penting adalah fakta bahwa mereka semua melukiskan fenomena yang sama. Mereka sama-sama mengalami objek batin murni yang sama, dan pernak-pernik yang beragam ditambahkan oleh persepsi mereka yang beragam.

Sifat-sifat Nimitta

Kita dapat mengenali nimitta melalui enam ciri berikut:


  1. Nimitta hanya muncul setelah tahap kelima dari meditasi, setelah meditator bersama dengan napas indah untuk waktu yang lama.
  2. Nimitta muncul ketika napas lenyap.
  3. Nimitta muncul hanya ketika pancaindera eksternal penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan sepenuhnya tidak hadir.
  4. Nimitta terwujud hanya dalam keheningan pikiran, ketika gagasan-gagasan deskriptif (perkataan dalam batin) sepenuhnya tidak hadir.
  5. Nimitta itu asing namun penuh daya tarik.
  6. Nimitta adalah objek sederhana yang indah.

Saya menyebutkan ciri-ciri ini supaya Anda bisa nimitta yang sejati dari yang khayalan belaka.

Kadang, ketika nimitta timbul pertama kali nimitta itu tampak kusam. Dalam kasus ini, kita mesti segera kembali ke tahap meditasi sebelumnya, perhatian sinambung penuh pada napas yang indah. Kita sudah terburu-buru pindah ke nimitta. Kadang nimitta tampak cemerlang, tetapi tidak stabil, berkedip-kedip seperti sinar mercusuar dan lantas lenyap. Ini juga menunjukkan bahwa meditator telah terlalu dini meninggalkan napas yang indah. Kita mesti mampu mempertahankan perhatian kita pada napas yang indah dengan mudah untuk waktu yang panjang, sangat panjang, sebelum pikiran mampu mempertahankan perhatian jernih pada nimitta yang jauh lebih halus. Jadi anda harus melatih pikiran pada napas yang indah. Latihlah pikiran dengan sabar dan tekun. Lalu ketika waktunya tiba untuk beralih ke nimitta, nimitta akan menjadi cemerlang, stabil, dan mudah dipertahankan.

Lepaskanlah

Alasan utama mengapa nimitta bisa terlihat kusam adalah kecukupan hati Anda masih terlalu dangkal. Anda masih menginginkan sesuatu. Biasanya Anda menginginkan nimitta yang cemerlang atau Anda menginginkan jhana. Ingat – dan ini penting – jhana adalah keadaan melepas, keadaan kecukupan hati yang sangat mendalam. Jadi singkirkanlah pikiran lapar itu. Kembangkanlah kecukupan hati pada napas yang indah, dan nimitta akan terjadi dengan sendirinya.

Dengan kata lain, nimitta menjadi tidak stabil karena Anda, si pelaku, tidak mau berhenti ikut campur. Si pelaku adalah si pengendali, sopir yang duduk di kursi belakang, selalu terlibat di tempat yang tidak semestinya dan mengacaukan segala sesuatu. Meditasi adalah proses alami untuk beristirahat, dan proses ini menuntut Anda untuk menyingkir jauh-jauh dari jalur. Meditasi mendalam hanya terjadi ketika Anda benar-benar melepas. Ini berarti sungguh-sungguh melepas – sampai pada titik di mana proses tersebut tidak terambah oleh si pelaku.

Sebuah cara untuk mencapai kemampuan melepas yang mendalam seperti itu adalah dengan sengaja menawarkan suatu hadiah rasa percaya pada nimitta. Dengan sangat lembut, selalah keheningan barang sekejap dan bisikkan, ke dalam pikiran Anda, bahwa Anda memberikan kepercayaan sepenuhnya pada nimitta, sehingga si pelaku dapat melepas semua kendali dan lenyap. Pikiran, yang di sini diwakili oleh nimitta di hadapan Anda, kemudian akan mengambil alih proses sebagaimana yang Anda saksikan.

Anda tidak perlu melakukan apa pun di sini, karena keindahan luar biasa nimitta jauh dari sekedar mampu untuk memegang perhatian Anda tanpa bantuan Anda. Berhati-hatilah di sini untuk tidak mulai bertanya-tanya, “Apa ini?” “Apakah ini jhana?” “Lalu apa yang harus kulakukan?” yang semuanya datang dari si pelaku yang mencoba untuk melibatkan diri lagi. Bertanya-tanya akan mengganggu proses tersebut. Anda bisa menilai segala sesuatu ketika perjalanan tersebut telah usai nanti. Seorang ilmuwan yang baik hanya akan menilai percobaannya ketika semua data telah masuk.

Tidak perlu memberikan perhatian kepada bentuk atau tepi nimitta: “Apakah bulat atau lonjong?” “Apakah tepinya jelas atau kabur?” Semua itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu, yang hanya akan membawa lebih banyak keragaman, semakin banyak dualitas dari dalam dan dari luar, dan lebih banya gangguan. Biarlah pikiran menuju ke yang ia inginkan, yang biasanya ke tengah nimitta. Bagian tengah itu adalah tempat yang paling indah, di mana cahayanya paling cemerlang dan murni. Biarkan dan nikmati saja perjalanan selama perhatian terseret masuk ke bagian tengah, atau saat cahaya meluas dan melingkupi Anda sepenuhnya. Biarkanlah pikiran bergabung ke dalam kebahagiaan. Lantas, biarlah tahap ketujuh dari jalan meditasi ini, jhana, terjadi.

Tahap Tujuh: Jhana

Ada dua rintangan umum di pintu masuk jhana: kegirangan dan ketakutan. Dalam kegirangan, pikiran menjadi bergairah: “Wow, ini dia!” Jika pikiran membatin seperti ini, jhana mungkin urung terjadi. Respon “wow” ini harus ditundukkan untuk mempertahankan kepasifan mutlak. Anda dapat meninggalkan semua “wow” sampai setelah bangkit dari jhana, tempat mereka yang semestinya.

Akan tetapi, rintangan yang lebih mungkin muncul adalah rasa takut. Rasa takut muncul dari penyadaran terhadap kekuatan dan kebahagiaan jhana, atau penyadaran bahwa untuk masuk sepenuhnya ke dalam jhana sesuatu harus dibuang – diri Anda! Si pelaku diam sebelum memasuki jhana, tetapi ia masih ada. Di dalam jhana, bagaimana pun, si pelaku telah sepenuhnya pergi. Yang masih berfungsi adalah si pengetahu. Kita sepenuhnya sadar, tetapi semua kendali sekarang berada di luar jangkauan. Kita bahkan tidak bisa menyusun sebuah gagasan sederhana, apalagi membuat sebuah keputusan. Kemauan telah dibekukan, dan hal ini bisa terasa mengerikan bagi para pemula, yang belum pernah punya pengalaman terputus kendalinya namun sangat sadar penuh. Rasa takut berasal dari pemasrahan esensi identitas kita.

Rasa takut dapat diatasi melalui keyakinan terhadap ajaran Buddha serta melalui pengenalan dan terjun ke sukacita yang sudah menanti di depan. Buddha sering mengatakan bahwa sukacita jhana tidak perlu ditakuti, namun perlu diikuti, dikembangkan, dan sering dilatih (misalnya di Latukikopama Sutta, Majjhima Nikaya 66,21). Jadi, sebelum rasa takut muncul, pasrahkan kepercayaan penuh Anda kepada sukacita tersebut, dan pertahankan keyakinan pada ajaran Buddha dan teladan para siswa suci. Percayalah pada Dhamma, ajaran Buddha, dan biarlah jhana dengan hangat memeluk Anda dalam kepasrahan, ketanpawujudan, ketanpaakuan, dan sukacita yang akan menjadi pengalaman paling mendalam bagi hidup Anda. Milikilah keberanian untuk sepenuhnya melepas kendali barang sejenak dan alamilah, semuanya ini oleh diri Anda sendiri.

Sifat-sifat Jhana

Suatu jhana akan bertahan lama. Tidak bisa disebut jhana jika hanya bertahan beberapa menit. Jhana-jhana yang lebih tinggi biasanya dapat bertahan berjam-jam. Begitu masuk, tak ada pilihan. Kita akan keluar dari jhana hanya ketika pikiran siap untuk keluar, ketika “bensin” yang terkumpul dari pelepasan telah terpakai semuanya. Setiap jhana adalah keadaan kesadaran yang begitu hening dan memuaskan, yang sifat dasarnya adalah bertahan sangat lama.

Sifat jhana lainnya adalah bahwa jhana hanya terjadi setelah nimitta dikenali, seperti yang telah digambarkan di atas. Lebih lanjut, kita mesti tahu bahwa selama berlangsungnya suatu jhana, adalah mustahil untuk merasakan tubuh (misalnya nyeri jasmani), mendengar suara dari luar, atau mencetuskan pemikiran apa pun – gagasan yang “baik” sekalipun. Yang ada hanya suatu kemanunggalan persepsi yang jernih, suatu pengalaman sukacita yang tak mendua, yang tetap tak berubah selama waktu yang sangat lama. Ini bukanlah keadaan tak sadar (kesurupan, trance) tetapi suatu keadaan kesadaran yang lebih tinggi. Saya menyatakan demikian supaya Anda tahu sendiri apakah yang Anda anggap sebagai jhana itu benar atau sekedar khayalan.

Perdebatan Seru Samatha Versus Vipassana

Beberapa tradisi membicarakan tentang dua jenis meditasi: meditasi pandangan cerah (vipasana) dan meditasi ketenangan (samatha). Pada kenyataannya, keduanya adalah aspek-aspek yang tak terbagi dari proses yang sama. Ketenangan adalah kebahagiaan damai yang lahir dari meditasi; pandangan cerah adalah pemahaman jernih yang lahir dari meditasi yang sama. Ketenangan menuntun pada pandangan cerah dan pandangan cerah menuntun pada ketenangan.

Bagi siapa pun yang keliru memahami semua petunjuk yang disajikan di sini sebagai “hanya praktek samatha” (ketenangan) tanpa memandang vipassana (pandangan cerah), ketahuilah bahwa ini bukan samatha ataupun vipassana. Ini disebut bhavana (pengembangan batin). Metode ini diajarkan oleh Buddha (Anguttara Nikaya IV,125-27; Majjhima Nikaya 151,13-19) dan diulangi dalam tradisi hutan Thailand Timur Laut, yang dijalani oleh guru saya, Ajahn Chah. Ajahn Chah sering mengatakan bahwa vipassana dan samatha tidak bisa dipisahkan ataupun dikembangkan secara terpisah dari pandangan benar, pemikiran benar, perbuatan benar, dan seterusnya. Samatha dan vipassana, kata Ajahn Chah, seperti dua sisi sebuah telapak tangan. Dalam tradisi Buddhis yang asli, keduanya tidak terpisahkan. Memang, untuk membuat kemajuan dalam tujuh tahap meditasi yang telah saya uraikan, meditator perlu memahami dan menerima ajaran Buddha, dan kebajikan kita mesti murni.

Meditasi pandangan cerah adalah bagian yang menyatu dalam metode meditasi yang telah dijelaskan sejauh ini. Pada khususnya, meditasi ini dapat menghasilkan pandangan cerah atau pemahaman akan tiga ranah penting:

1. Pandangan Cerah Mengenai Masalah-masalah yang Mempengaruhi Kebahagiaan Sehari-hari

Ketika sebuah masalah timbul – kematian, penyakit, pelbagai jenis kehilangan, atau bahkan perdebatan yang menyakitkan hati, hal-hal ini tidak saja menyakitkan tetapi juga membingungkan. Ini seperti tersesat di dalam rimba belantara yang berbahaya. Ketika kita tersesat di dalam hutan, kita harus memanjat ke puncak pohon atau menara yang tinggi dan melihat penanda di kejauhan, seperti sebuah sungai atau jalan yang menuntun kepada keselamatan. Setelah mendapatkan wawasan dan pengamatan menyeluruh dari situasi tersebut, kebingungan pun akan sirna.

Dalam kiasan ini, hutan adalah kiasan untuk masalah-masalah ruwet dalam keseharian. Memanjat ke puncak pohon atau menara menunjuk pada praktek meditasi, yang membawa ketenangan, kesejukan di mana pandangan cerah atau wawasan diraih. Begitulah jika Anda punya masalah berat, jangan terus memikirkannya tanpa akhir. Anda hanya sekedar berkeliaran di sekitar kesesatan Anda di tengah hutan. Alih-alih, ikutilah petunjuk-petunjuk meditasi yang dijelaskan pada bagian ini dan bagian sebelumnya dengan cermat, dan Anda akan meninggalkan masalah-masalah Anda. Anda akan berdiri di atas hutan Anda, dan dari titik strategis itu Anda akan meraih pandangan cerah mengenai apa yang harus dikerjakan. Jawaban muncul dari ketenangan.

2. Pandangan Cerah Mengenai Cara Meditasi

Pada akhir setiap sesi meditasi, luangkan waktu dua atau tiga menit untuk menilik ulang semua yang terjadi selama sesi tersebut. Tak perlu “mencatat” (maksudnya, mengingat-ingat) selama meditasi, karena nantinya Anda akan bisa dengan mudah mengingat hal-hal yang penting. Apakah sesi tersebut penuh damai atau bikin frustasi? Sekarang tanyakan pada diri sendiri, kenapa. Apa yang Anda lakukan agar mengalami kedamaian, atau apa yang menyebabkan perasaan frustasi? Jika pikiran Anda berkeliaran ke negeri fantasi, apakah itu membawa damai dan manfaat? Penilikan ulang dan pertanyaan semacam ini yang dilakukan hanya pada akhir sesi meditasi bisa membangkitkan pandangan cerah mengenai cara kita bermeditasi dan apa meditasi itu. Tak seorang pun memulai sebagai meditator yang sempurna.

Pandangan cerah yang diperoleh dengan menilik ulang meditasi Anda pada akhir setiap sesi akan memperdalam pengalaman meditasi Anda dan mengatasi rintangan-rintangan meditasi (nivarana). Mengembangkan pandangan cerah semacam ini ke dalam meditasi Anda sangatlah penting.

Anda memerlukan pandangan cerah untuk mencapai setiap tahap yang telah saya gambarkan. Untuk mampu melepaskan gagasan-gagasan Anda, misalnya, Anda memerlukan pandangan cerah mengenai apa itu “melepas”. Semakin lanjut Anda mengembangkan tahap-tahap ini, semakin dalam pandangan cerah Anda jadinya. Dan jika Anda menjangkau sampai sejauh jhana, hal ini akan mengubah segenap pemahaman Anda.

Ngomong-ngomong, pandangan cerah mengenai cara meditasi ini juga bermanfaat bagi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari. Ini karena kecenderungan yang menciptakan rintangan-rintangan dalam meditasi adalah sikap canggung yang sama yang menyebabkan berbagai kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Meditasi itu seperti gelanggang olahraga tempat Anda mengembangkan otot-otot batin ketenangan dan pandangan cerah Anda, yang keduanya lantas Anda gunakan dalam meditasi selanjutnya dan dalam keseharian hidup untuk memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan.

3. Pandangan Cerah Mengenai Sifat “Diri Anda”

Pandangan cerah paling mendalam dan sulit dipahami adalah mengenai siapakah Anda sesungguhnya. Pandangan cerah ini dicapai bukan melalui kepercayaan atau pemikiran, tetapi hanya melalui meditasi, dengan menjadi hening mutlak, melepas pikiran, dan mengetahui pikiran. Buddha membandingkan pikiran dengan bulan purnama yang tersembunyi di balik awan pada malam hari. Awan mewakili aktivitas pancaindera dan pemikiran. Dalam meditasi yang mendalam, pancaindera akan surut untuk menyibak pikiran yang murni dan cemerlang. Dalam jhana, Anda benar-benar dapat mengamati pikiran yang murni itu.

Untuk mengetahui rahasia terselubung pikiran, kita mesti terus mengamatinya dalam keheningan jhana, tanpa pemikiran sama sekali, untuk waktu yang sangat lama. Sebuah perumpamaan menyebutkan tentang teratai berkelopak seribu yang menutup kelopaknya ketika malam tiba dan merekah saat fajar menyingsing. Ketika berkas pertama mentari pagi menghangatkan deretan kelopak yang terluar, kelopak-kelopak itu mulai merekah, yang memungkinkan mentari menghangatkan deretan kelopak berikutnya. Segera kelopak-kelopak itu terbuka juga, dan kehangatan mentari menyapa deretan selanjutnya, dan seterusnya. Tetapi jika awan muncul dan menghalangi sinar mentari, teratai itu menutup kelopak-kelopaknya. Perlu waktu lama bagi sinar mentari untuk menghangatkan teratai sampai membuka kelopak terdalamnya dan menyingkap rahasianya.

Teratai adalah perumpamaan untuk pikiran; kehangatan sinar mentari adalah kiasan untuk perhatian yang terus-menerus; dan awan mewakili gagasan-gagasan ata keresahan batin yang menghancurkan keheningan. Rahasia batin ini berada di luar imajinasi Anda. Sebagian meditator berhenti pada deretan kelopak sebelah dalam dan secara keliru berpikir, “Ini dia.” Maka keheningan pun rusak dan teratai menutup kelopaknya dalam sekejap mata. Ini adalah pencerahan semu. Ketika meditasi Anda begitu mendalam sehingga Anda mampu bertahan dalam keheningan berjam-jam, amatilah pikiran yang terbebas dari rintangan dan saksikanlah deretan kelopak terdalam teratai yang terbuka sepenuhnya untuk menguak permata di jantung teratai, maka Anda akan menyadari pandangan cerah mutlak, kebenaran tentang siapakah Anda. Temukanlah oleh diri Anda sendiri!

Pada bagian sebelumnya, saya menasehatkan bahwa kesabaran adalah jalan tercepat untuk maju. Hal ini juga berlaku untuk tiga tahap meditasi yang dibahas pada bagian ini. Semuanya ini adalah tahap melepas, masing-masing tergantung dari tahap pendahulunya. Pada akhirnya, untuk memasuki jhana kita harus benar-benar melepas. Ini adalah pelepasan mendalam yang dimungkinkan melalui latihan yang cermat dan tekun.

Masih ada jauh lebih banyak lagi seluk-beluk meditasi daripada yang telah saya cakup sejauh ini. Dalam dua bagian tulisan ini hanya metode dasar yang telah dipaparkan: tujuh tahap yang berpuncak pada jhana pertama. Masih banyak lagi yang perlu dibicarakan mengenai rintangan-rintangan (nivarana), sifat-sifat perhatian murni (satipatthana), objek-objek meditasi lainnya, dan banyak lagi. Namun tahap-tahap lebih lanjut tersebut tidak akan dibahas dalam tulisan ini, cukup hanya tujuh tahap dasar ini dulu untuk dilatih dan dipraktekkan guna memperoleh keheningan dan kedamaian pikiran yang mendalam, untuk mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.

Diambil dari: Superpower Mindfulness oleh Ajahn Brahm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun