Sungai kehidupan yang berliku
Dengan arus yang terhalang batuan
Menempa hati sang pangeran kesedihan
Membeku dalam es abadi
Tiada api yang dapat meleburnya
Tiada batu yang dapat memecahnya
Karna sejak masa kanak-kanaknya
Ia berkawan dengan sang sepi
Masa lampau yang abu-abu
Tidak meninggalkan goresan pada hatinya
Masa depan tidak menampakkan bayangnya
Ia tidak menggantung asa pada kekinian
Ia menginjakkan setiap langkah dengan angkuh
Meninggalkan kawan pada jalan yang berbeda
Kebenaran menjadi sahabat dan gurunya
Dengan itu ia menerjang badai
Senyuman cinta dapat tidak meluluhkan
Cahaya muram dari wajahnya
Pukulan palu kebencian tidak bisa
Memunculkan retakan pada hatinya
Apalagi kemilau harta dan tahta
Oh laki-laki berhati es,
Akankah hatimu mencair suatu saat
Menjadikan dirimu makhluk yang sadar?
Atau lebih buruk
Akankah hati bekumu hancur berkeping-keping
Mengubahmu menjadi robot tak berperasaan?
Kenapa engkau tidak berani
Mengharap pada masa depan?
Kenapa kebahagiaan yang merasuk batinmu
Tidak kau bagikan pada yang lain?
Kenapa duka lara harus Kau pendam sendiri?
Bangkitlah, wahai ksatria kematian
Sebab hidup dalam kebekuan hati
Tak berbeda dengan kematian
Kembalilah pada jalan yang
Telah dilalui teman-temanmu
Tiada kata terlambat untuk itu
Bersemangatlah, wahai macan penyendiri
Sebab kau tak punya sahabat penyemangat
Maka diri sendirilah yang bisa memompanya
Yakinlah di ujung jalan itu
Ada yang sedang menantimu
Kala itu kau tak'kan mengaum sendiri lagi
Jambi, 7 Maret 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H