Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukuman Mati dalam Pandangan Buddhis

22 Februari 2015   14:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Akhir-akhir ini perdebatan pro dan kontra tentang hukuman mati kembali mencuat setelah pemerintah melalui Kejaksaan Agung mengeksekusi 6 orang terpidana kasus narkoba tanggal 18 Januari 2015 yang lalu dan dalam bulan Februari ini pemerintah kembali akan mengeksekusi 10 orang terpidana kasus narkoba yang menyebabkan hubungan diplomatik Indonesia dan beberapa negara sahabat meregang. Umumnya pihak-pihak yang menyuarakan pro hukuman mati berpegang pada alasan untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan yang dianggap di luar batas kemanusiaan (extraordinary crime), termasuk kasus narkoba yang setiap harinya merengut banyak nyawa dan merusak generasi masa depan suatu bangsa. Sementara itu, mereka yang kontra hukuman mati berpegang pada prinsip kemanusiaan bahwa hak asasi manusia untuk hidup dan mempertahankan hidup tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun dan mempertimbangkan bahwa sistem hukum di Indonesia masih memiliki kelemahan sehingga bisa terjadi kesalahan proses hukum di mana mereka yang tidak bersalah dapat menjadi terhukum.

Oleh sebab itu, melalui tulisan ini penulis berusaha mengkaji bagaimana ajaran Buddha bersikap terhadap penerapan hukuman mati dari berbagai kotbah Sang Buddha (sutta) yang mewakili bentuk ajaran Buddha yang lebih awal. Walaupun ajaran Buddha awal hanya bertujuan pada pelenyapan penderitaan (dukkha) sepenuhnya dan tidak memiliki ajaran khusus yang berhubungan dengan hal-hal duniawi dan sekuler seperti aturan pernikahan, sistem pemerintahan, dan sistem hukum, namun kita dapat menemukan beberapa petunjuk tentang bagaimana pandangan ajaran Buddha terhadap hukuman dalam pemerintahan dalam sutta-sutta awal.

Secara umum ajaran Buddha memandang penerapan hukuman dalam pemerintahan tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru menyebabkan tingkat kejahatan akan semakin meningkat, seperti yang dikemukakan dalam Kutadanta Sutta (Digha Nikaya 5) di mana seorang brahmana kerajaan (yang tak lain adalah Bodhisatta Gotama pada kehidupan lampau) memberikan nasehat kepada seorang raja masa lampau yang akan mengadakan upacara pengorbanan besar sebagai berikut:

“Negeri Baginda diserang oleh para pencuri, dirusak, desa-desa dan kota-kota sedang dihancurkan, perbatasan dikuasai oleh perampok. Jika Baginda mengutip pajak atas wilayah itu, itu adalah suatu kesalahan. Jika Baginda berpikir: ‘Aku akan melenyapkan gangguan para perampok ini dengan mengeksekusi dan hukuman penjara, atau dengan menyita, mengancam, dan mengusir’, gangguan ini tidak akan berakhir. Mereka yang selamat kelak akan mengganggu negeri Baginda. Namun dengan rencana ini, engkau dapat secara total melenyapkan gangguan ini. Kepada mereka yang hidup di dalam kerajaan ini, yang bermata pencaharian bertani dan beternak sapi, Baginda akan membagikan benih dan makanan ternak; kepada mereka yang berdagang, akan diberikan modal; yang bekerja melayani pemerintahan akan menerima upah yang sesuai. Maka orang-orang itu, karena tekun pada pekerjaan mereka, tidak akan mengganggu kerajaan ini. Penghasilan Baginda akan bertambah, negeri ini menjadi tenang dan tidak diserang oleh para pencuri, dan masyarakat dengan hati yang gembira, akan bermain dengan anak-anak mereka, dan akan menetap di dalam rumah yang terbuka.”


Jadi, penyelesaian permasalahan banyaknya kejahatan dalam suatu negara bukanlah dengan menerapkan hukuman apa pun (termasuk hukuman mati), melainkan dengan mencari akar penyebab kejahatan tersebut dan mencegahnya melalui perbaikan ekonomi sehingga kehidupan rakyat lebih makmur dan sejahtera. Untuk kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba, akar permasalahannya lebih rumit dari sekedar persoalan ekonomi dan memerlukan kajian yang lebih mendalam, tetapi pada prinsipnya ajaran Buddha lebih menyarankan penyelesaian kasus narkoba dengan menyelesaikan akar permasalahannya alih-alih dengan penerapan hukuman mati.

Namun demikian, cara yang salah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat justru meningkatkan kejahatan alih-alih menurunkan tingkat kejahatan tersebut. Hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan seorang keturunan raja dunia (cakkavati: raja pemutar roda) generasi ketujuh pada zaman dahulu seperti yang dikisahkan Sang Buddha dalam Cakkavati-sihanada Sutta (Digha Nikaya 26) berikut:

Kemudian seseorang mendatangi Raja dan berkata: “Baginda, engkau harus tahu bahwa Pusaka-Roda suci telah lenyap.” Mendengar kata-kata ini, Raja berduka dan bersedih. Tetapi raja itu tidak mendatangi Raja Bijaksana dan menanyakan tentang tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Sebaliknya, ia memerintah rakyatnya sesuka hatinya sendiri, dan, karena diperintah dengan cara demikian, rakyat tidak menjadi makmur seperti pada masa raja sebelumnya yang melakukan tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Kemudian para menteri, penasihat, pejabat keuangan, pengawal dan penjaga pintu, dan para pembaca mantra mendatangi Raja dan berkata: “Baginda, sejak engkau memerintah rakyat dengan sesuka hatimu, dan dengan cara yang berbeda dengan bagaimana kami diperintah oleh raja pemutar-roda sebelumnya, rakyat menjadi tidak makmur. Baginda, ada menteri-menteri … di dalam wilayahmu, termasuk kami, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana seorang raja pemutar-roda memerintah. Tanyalah kami, Baginda, dan kami akan memberitahukan kepadamu!”
Kemudian Raja memerintahkan semua menteri dan yang lainnya berkumpul, dan berkonsultasi dengan mereka. Dan mereka menjelaskan kepadanya tugas-tugas seorang raja pemutar-roda. Dan, setelah mendengarkan mereka, Raja melakukan penjagaan dan perlindungan, tetapi tidak memberikan persembahan kepada yang membutuhkan, dan sebagai akibatnya, kemiskinan berkembang. Dengan meningkatnya kemiskinan, seseorang mengambil apa yang tidak diberikan, dengan demikian melakukan apa yang disebut pencurian. Mereka menangkapnya, dan membawanya ke hadapan raja, dan berkata: “Baginda, orang ini mengambil apa yang tidak diberikan, yang disebut pencurian.” Raja berkata kepadanya: “Benarkah bahwa engkau mengambil apa yang tidak diberikan - yang disebut pencurian?” “Benar, Baginda.” “Mengapa?” “Baginda, aku tidak memiliki apa pun untuk bertahan hidup.” Kemudian Raja memberikan orang itu harta, dan berkata: “Dengan ini, rakyatku, engkau dapat mempertahankan hidupmu, menyokong orang tuamu, istrimu, dan anak-anakmu, jalankan usaha dan berilah persembahan kepada para petapa dan Brahmana, yang akan memajukan kesejahteraan spiritualmu dan mengarah menuju kelahiran kembali yang bahagia dengan hasil yang menyenangkan di alam surga.” “Baiklah, Baginda,” jawab orang itu.
Dan hal yang sama terjadi pada orang lainnya.
Kemudian orang-orang mendengar bahwa Raja memberikan harta kepada mereka yang mengambil apa yang tidak diberikan, dan mereka berpikir: “Bagaimana jika kita melakukan hal yang sama?” Dan kemudian seorang lainnya mengambil apa yang tidak diberikan, dan mereka membawanya ke hadapan raja. Raja menanyakan mengapa ia melakukan hal itu, dan ia menjawab: “Baginda, aku tidak memiliki apa pun untuk bertahan hidup.” Kemudian Raja berpikir: “Jika aku memberikan harta kepada setiap orang yang mengambil apa yang tidak diberikan, pencurian akan semakin meningkat. Lebih baik aku mengakhirinya, menghukumnya selamanya, dan memenggal kepalanya.” Maka ia memerintahkan orangnya: “Ikat kedua tangan orang ini di punggung dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan arak dia dengan tabuhan genderang melalui jalan-jalan dan lapangan dan keluar melalui gerbang selatan, dan di sana hukum dia dengan hukuman terberat dan penggal kepalanya!” Dan mereka melakukan hal itu.’
Mendengar hal ini, orang-orang berpikir: “Sekarang mari kita mengambil pedang tajam, dan kemudian kita dapat mengambil apa yang tidak diberikan dari siapa saja [yang disebut pencurian], kita akan mengakhiri mereka, menghukum mereka selamanya dan memenggal kepala mereka.” Demikianlah, setelah mendapatkan pedang tajam, mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan di desa-desa dan kota-kota, dan pergi menjadi perampok jalanan, membunuh korban mereka dengan memenggal kepala mereka.


Dari kutipan sutta di atas juga terlihat bahwa penerapan hukuman mati justru membuat para pelaku kejahatan lain yang belum tertangkap berlaku lebih kejam dan sadis dalam melakukan kejahatannya.

Selain sutta-sutta di atas, terdapat juga beberapa ucapan Sang Buddha yang tercatat dalam Dhammapada, salah satu bagian tertua dari Khuddaka Nikaya, yang menyatakan penolakan terhadap penerapan hukuman dalam bentuk apa pun sebagai ancaman terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang, seperti dalam bab X Danda Vagga (Bab tentang Hukuman) syair 129-130 sebagai berikut:

Semua gentar terhadap hukuman.
Semua takut terhadap kematian.
Dengan mengumpamakan orang lain sebagai diri sendiri,
seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan pembunuhan.
Semua gentar terhadap hukuman.
Semua mencintai kehidupan.
Dengan mengumpamakan orang lain sebagai diri sendiri,
seseorang seharusnya tidak membunuh atau menyebabkan pembunuhan.


Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ajaran Buddha menolak penerapan hukuman mati karena hal tersebut bukanlah solusi yang tepat atas permasalahan kejahatan yang muncul dalam masyarakat dan justru dapat meningkatkan terjadinya kejahatan yang lebih sadis. Selain itu, hukuman dalam bentuk apa pun adalah tidak dianjurkan karena semua orang tanpa kecuali takut akan hukuman dan kematian serta mencintai kehidupannya masing-masing. Demikianlah pandangan Buddhis terhadap hukuman mati yang ditinjau dari beberapa teks-teks ajaran Buddha tertua yang dipertahankan dalam Tipitaka Pali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun