Candi Borobudur Bukan Peninggalan Nabi Sulaiman
[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Buku Misteri Borobudur"][/caption] Judul Buku : Misteri Borobudur
Pengarang : Seno Panyadewa
Penerbit : Dolphin
Tahun terbit : 2014
Cetakan : I, September 2014
Jumlah halaman : 249 ISBN : 978-979-1701-17-4 Siapa pun pasti tidak asing dengan Candi Borobudur yang merupakan peninggalan agama Buddha terbesar yang diakui secara internasional. Namun klaim ini dipertanyakan ketika KH. Fahmi Basya menulis buku Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman yang menyatakan teori terbaru bahwa Candi Borobudur sesungguhnya adalah karya Nabi Sulaiman yang dibangun oleh para jin dengan bukti-bukti yang didukung dari ayat-ayat Al-Quran. Teori Fahmi Basya ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai teori ilmiah, melainkan hanyalah suatu pseudoscience (ilmu pengetahuan semu). Oleh sebab itu, tidak ada cendikiawan dan para ahli sejarah yang tertarik membuat buku bantahan terhadap teori ini. Berangkat dari hal inilah, Seno Panyadewa menyusun buku yang berjudul Misteri Borobudur dari berbagai sumber literatur baik yang berbentuk media cetak maupun yang tersedia online di Internet ini untuk membantah teori “Borodubur Adalah Peninggalan Nabi Sulaiman” (disingkat sebagai BAPNS dalam buku ini).
Diawali dengan kutipan isi prasasti Kayumwungan yang merupakan bukti arkeologis tak terbantahkan bahwa Borobudur didirikan oleh Dinasti Sailendra yang beragama Buddha dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah, buku ini disusun dalam 7 bab yang mengkaji teori BAPNS dari segi arkeologi, tinjauan ilmiah, ikonografi, arsitektur, dan bantahan umum lainnya. Dari segi arkeologi misalnya, selain bukti prasasti, penulis juga menyajikan analisis paleografis atas tulisan kuno yang terpahat pada Candi Borobudur, bukti dari kitab-kitab kuno yang menyatakan pembangunan Candi Borobudur, dan catatan perjalanan para bhiksu dari Cina seperti Fa-Hien dan I-Tsing, yang semuanya dengan sangat meyakinkan membuktikan bahwa Candi Borobudur adalah peninggalan agama Buddha Mahayana aliran Tantrayana yang dibangun pada sekitar abad ke-8 atau ke-9 Masehi. Teori Fahmi sendiri mengandalkan prasasti emas yang ditemukan di situs Candi Ratu Boko (yang dianggap istana ratu negeri Saba) sebagai bukti arkeologis BAPNS dengan mengatakan bahwa prasasti tersebut mengandung kalimat dari ayat Al-Quran, namun sesungguhnya prasasti tersebut berisi tulisan mantra pujian untuk Rudra (nama lain Dewa Siwa yang dipuja dalam agama Hindu). Candi Ratu Boko sendiri adalah miniatur vihara Abhayagiri (pusat studi agama Buddha di Sri Lanka pada abad ke-2 SM s/d abad ke-12 M) yang didirikan pada abad ke-8 M, yang kemudian digunakan sebagai tempat pemujaan agama Hindu ketika jatuh ke tangan raja yang beragama Hindu Siwaistis dalam perebutan tahta pada abad ke-9 M.
Teori BAPNS menyatakan bahwa Bobodubur dipindahkan dengan kecepatan 60.000 kali kecepatan cahaya, hal yang tidak mungkin secara ilmiah menurut teori relativitas Einstein karena dibutuhkan sejumlah energi tak terbatas untuk mempercepat objek dengan massa tertentu sampai mencapai kecepatan cahaya (300.000 km/detik). Selain itu, dalam teori relativitas khusus dikatakan jika benda bergerak lebih cepat daripada cahaya, ia akan berpindah ke masa lampau yang akan menyalahi prinsip kausalitas di mana “akibat” terjadi sebelum “sebab”. Dalam fiksi ilmiah, objek yang bergerak melebihi kecepatan cahaya dapat digunakan untuk menciptakan teleportasi dan mesin waktu, namun sampai saat ini para ilmuwan belum berhasil menemukan objek yang demikian. Inilah salah satu bantahan dari segi ilmiah yang dikemukakan dalam buku ini.
Tentu saja, bantahan yang paling masuk akal menurut saya adalah dari segi ikonografi dan arsitektur Borobudur itu sendiri. Pada candi ini ditemukan sejumlah besar patung Buddha yang merupakan simbol khas agama Buddha dalam berbagai bentuk mudra (posisi tangan yang menyimbolkan makna spiritual tertentu dalam agama Hindu dan Buddha). Agama Islam justru melarang membuat patung dari makhluk-makhluk hidup karena dianggap sebagai berhala sehingga bagaimana mungkin Nabi Sulaiman mendirikan patung-patung tersebut? Bahkan relief-relief Candi Borobudur menceritakan kisah-kisah dari kitab Buddhis Mahayana seperti Karmavibhanga, Jatakamala, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha. Dari segi arsitektur, Borobudur dibangun berdasarkan bentuk stupa (monumen Buddhis yang berfungsi menyimpan relik atau objek peninggalan orang suci lainnya) yang merupakan suatu visualisasi dari mandala (diagram geometris yang menggambarkan kosmologi tempat kediaman makhluk suci Mahayana sebagai alat visualisasi praktisi meditasi). Mandala yang terkandung dalam Borobudur sendiri adalah gabungan dari Garbhadhatu Mandala dan Vajradhatu Mandala yang terdapat dalam kitab Maha Vairocana Sutra. Sebagai penutup bab tentang arsitektur, penulis juga menyajikan teori angka yang mendukung Borobudur sebagai bangunan peninggalan agama Buddha sebagai respon teori angka dari Fahmi Basya untuk menunjukkan bahwa teori angka mana pun dapat dicocokkan dengan makna simbolis Borobudur dan oleh karenanya bukan bukti yang menguatkan.
Bantahan umum lainnya disajikan dalam bab terakhir sebelum penutup buku ini, di antaranya tentang kapan Nabi Sulaiman hidup, kemungkinan beliau pernah menguasai Nusantara, dan letak negeri Saba sebenarnya. Diperkirakan Nabi Sulaiman hidup sekitar antara tahun 1200-800 SM yang jika dikaitkan dengan pembangunan Candi Borobudur, terpaut minimal 16 abad. Jika dikatakan hal ini bisa saja terjadi dengan kekuasaan Allah seperti yang diklaim para pendukung teori BAPNS, maka ini tidak bisa dikatakan sebagai teori ilmiah sama sekali, melainkan pseudoscience karena hal-hal demikian bukan ranah sains lagi. Kerajaan Nabi Sulaiman yang diwarisi dari Nabi Daud terletak di daerah Timur Tengah dan sangat tidak mungkin menaklukkan Nusantara yang letaknya sangat jauh secara geografis, sedangkan negeri-negeri tetangga yang berdekatan tidak pernah dikuasainya. Secara arkeologis telah ditemukan bukti keberadaan kerajaan Saba di negara Yaman saat ini yang menjadi bantahan bahwa kerajaan Saba terletak di Indonesia. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa teori BAPNS hanyalah “cocokologi” ayat-ayat Al-Quran yang dikaitkan dengan sejarah pembangunan Borobudur. Hal ini justru berpotensi menghilangkan kesakralan Al-Quran itu sendiri sebagai panduan hidup umat Islam dengan hanya dijadikan semacam kitab primbon untuk meramal masa depan atau menebak-nebak masa lampau.
Buku ini disajikan secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan kaidah penulisan buku ilmiah (kecuali tidak ada daftar pustaka yang menjadi referensi sumber buku ini, tetapi referensi sumber diberikan dalam catatan-catatan kaki), namun ia tetap membumi dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh semua kalangan pembacanya. Dengan demikian, walaupun pembaca mungkin tidak tertarik dengan segala macam teori tentang Borobudur, isi buku ini memberikan informasi yang patut kita ketahui tentang sejarah, arkeologi, ikonografi, dan arsitektur Candi Borobudur yang dirangkum secara ringkas, padat, dan jelas dari berbagai sumber penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan membaca buku ini para pembaca akan terbangkitkan minatnya untuk menggali lebih dalam sejarah leluhur bangsa Indonesia pada umumnya dan terinspirasi pada makna filosofis yang terkandung dalam Borobudur pada khususnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H