Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ajaran-Ajaran Altruistik dalam Buddhisme Awal

6 September 2015   17:34 Diperbarui: 7 November 2015   16:44 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buddhisme Awal dan Sejarah Kemunculan Aliran-Aliran Buddhis

Ajaran Buddha telah bertahan selama lebih dari 2500 tahun sejak pertama kali diajarkan oleh seorang pangeran yang kemudian menjadi pertapa dan mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi (Ficus religiosa) bernama Siddhattha Gotama (Sanskrit: Siddhartha Gautama) yang lebih dikenal sebagai Sang Buddha Gotama. Saat ini ajaran yang telah berkembang sebagai salah satu agama terbesar di dunia ini memiliki berbagai tradisi dan aliran yang berbeda-beda. Aliran-aliran utama yang berkembang saat ini adalah Theravada yang berkembang di Srilanka, Myanmar, dan Thailand; Mahayana yang berkembang di Tiongkok, Jepang, dan Korea; Vajrayana atau Tantrayana di Tibet, Nepal, dan Bhutan. Di antara ketiga aliran utama ini, Theravada dianggap paling mendekati ajaran asli Sang Buddha dalam beberapa aspek, walaupun sebenarnya aliran ini juga mengalami berbagai transformasi mengikuti perkembangan zaman.

Para ahli sejarah menyebut ajaran Buddha awal mula yang berkembang sebelum perpecahan aliran sebagai Buddhisme awal atau Buddhisme pra-sektarian. Periode Buddhisme awal dimulai sejak Sang Buddha mengajarkan Dhamma pertama kali kepada lima pertapa yang kemudian menjadi para bhikkhu pertama di Taman Rusa Isipatana di Benares sampai beberapa ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha sebelum terjadinya perpecahan aliran-aliran. Tak lama setelah wafatnya Sang Buddha, para bhikkhu yang berjumlah 500 orang mengadakan pertemuan untuk mengulang kembali ajaran-ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada berbagai kalangan selama 45 tahun pengembaraan Beliau berkeliling mengajar ke seluruh penjuru India. Pertemuan ini dikenal sebagai Konsili Buddhis I dan berhasil mengumpulkan ajaran Buddha yang dikelompokkan dalam Dhamma (ajaran praktis yang tertuang dalam kotbah-kotbah Sang Buddha) dan Vinaya (aturan disiplin monastik bagi para bhikkhu dan bhikkhuni). Walaupun sebelum wafatnya Sang Buddha berpesan agar beberapa aturan monastik yang kurang penting dapat dihapuskan, para bhikkhu dalam Konsili I memutuskan untuk tidak mengubah apa pun dalam Vinaya.

Seratus tahun kemudian terjadi perbedaan pendapat dan penafsiran atas Vinaya sehingga memunculkan 10 poin yang diajukan para bhikkhu dari negeri Vajji (Vajjiputtaka), yang di antaranya memperbolehkan para bhikkhu menggunakan emas dan perak (sama dengan uang sebagai alat tukar pada masa modern ini). Para bhikkhu senior kemudian berkumpul dan memutuskan praktek 10 poin tersebut tidak sesuai dengan ajaran Buddha. Pertemuan ini kemudian dikenal sebagai Konsili Buddhis II dan perselisihan berhasil didamaikan. Lebih dari seratus tahun kemudian muncul perbedaan pendapat sehubungan dengan Dhamma yang mempertanyakan status pencerahan seorang Arahant (siswa Buddha yang tercerahkan) dalam 5 poin yang diajukan oleh seorang bhikkhu bernama Mahadeva menurut beberapa versi kisah perpecahan awal. Saat itu Sangha (komunitas monastik Buddhis) terpecah menjadi dua kelompok: kelompok para bhikkhu yang berjumlah besar yang menerima 5 poin tersebut (yang disebut Mahasanghika) dan kelompok para bhikkhu senior (thera atau sthavira) yang kalah jumlahnya menolak 5 poin (yang kemudian dikenal sebagai Sthaviravada). Ini merupakan kisah perpecahan pertama berdasarkan catatan dari golongan Sthaviravada.

Menurut catatan golongan Mahasanghika sendiri, para bhikkhu senior berusaha menambah aturan Vinaya yang ditolak para bhikkhu yang berjumlah besar. Kelompok para bhikkhu yang berjumlah besar (Mahasanghika) memisahkan diri dari kelompok para bhikkhu senior (Sthaviravada). Menurut aliran Theravada, untuk membantah 5 poin yang dikemukakan golongan Mahasanghika, para bhikkhu senior mengadakan pertemuan yang dikenal sebagai Konsili Buddhis III pada masa Raja Asoka yang mengumpulkan 6 kitab Abhidhamma Pitaka (kelompok ajaran skolastik berdasarkan pengelompokan skematik yang dikembangkan dari kotbah-kotbah Sang Buddha) dan menghasilkan kitab bantahan ajaran-ajaran menyimpang yang disebut Kathavatthu, tetapi catatan Konsili III ini tidak ditemukan dalam aliran awal yang lain.

Selama beberapa ratus tahun kemudian, perpecahan yang lebih lanjut terjadi di dalam golongan Mahasanghika dan Sthaviravada sendiri karena perbedaan dalam hal ajaran dan menghasilkan 18 aliran Buddhisme awal seluruhnya. Salah satu aliran itu, Vibhajjavada yang berasal dari golongan Sthaviravada, masuk ke Srilanka dan berkembang di sana sampai saat ini menjadi aliran Theravada sekarang. Sementara itu aliran-aliran awal lainnya mengalami kepunahan seiring dengan lenyapnya Buddhisme di India pada abad ke-13 M, tetapi beberapa kitab ajaran mereka berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Tiongkok dan Tibet dan diwarisi oleh aliran Mahayana dan Vajrayana saat ini. Mahayana sendiri muncul pada sekitar 500 tahun setelah wafatnya Sang Buddha sebagai gerakan yang berusaha mereformasi tujuan ajaran Buddha awal dari pencapaian Kearahantaan yang dianggap individualis menjadi pencapaian Kebuddhaan melalui jalan Bodhisattva sebelum akhirnya menjadi aliran tersendiri, sedangkan Vajrayana adalah tradisi Buddhis yang muncul belakangan (sekitar abad ke-8 M) yang berusaha mencapai tujuan kehidupan spiritual dengan menekankan pada pendekatan ritual (tantra) yang diturunkan secara rahasia (esoterik) dari guru ke murid.

Mahayana dan Hinayana

Ajaran utama Buddhisme awal yang terdapat dalam kumpulan catatan kotbah Sang Buddha yang terdapat dalam 4 kitab Nikaya atau Agama menitikberatkan pada pembebasan pribadi dari penderitaan (dukkha) melalui penembusan Empat Kebenaran Mulia dan praktek Jalan Mulia Berunsur Delapan. Karena sesungguhnya pencapaian spiritual adalah bergantung pada pribadi masing-masing, para pengikut ajaran awal mengutamakan praktek berlatih secara individual. Sang Buddha sendiri pernah berkata: "Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata (Buddha) hanyalah penunjuk jalan" (Dhammapada 276). Namun pada perkembangannya aliran-aliran Buddhisme awal terlalu menekankan pada praktek individualis yang berpusat pada kehidupan monastik sehingga mengabaikan kehidupan sosial di sekitarnya. Hal ini menimbulkan munculnya idealisme baru yang lebih menekankan pada praktek altruistik (mementingkan kesejahteraan orang banyak) dengan meneladani kehidupan Sang Buddha sendiri semasa masih sebagai Bodhisattva (calon Buddha yang belum tercerahkan) yang kemudian dikenal sebagai Mahayana (kendaraan besar).

Seringkali golongan Mahayana menganggap ajaran-ajaran awal sebagai Hinayana (kendaraan kecil) karena penekanan individualis ini. Namun secara historis penyebutan Hinayana baru muncul belakangan dan sangat jarang ditemukan dalam kitab-kitab (sutra) Mahayana awal. Pengikut Mahayana awal juga berasal dari para bhikkhu dari aliran awal yang menganut idealisme Mahayana. Secara etimologis, istilah "maha" yang berarti "besar" dalam bahasa Pali dan Sanskrit memiliki lawan kata "cula" yang berarti "kecil" dan bukan "hina" yang berarti "rendah". Jadi, istilah Hinayana tidak tepat digunakan untuk menunjuk pada ajaran-ajaran Buddhisme awal maupun aliran-aliran awal yang telah ada sebelum kemunculan Mahayana.

Buddhisme awal sendiri memang bertujuan mencapai Kearahantaan, yaitu pencapaian pencerahan sebagai seorang siswa Buddha yang tercerahkan dengan mengikuti ajaran Sang Buddha dalam kitab-kitab Nikaya atau Agama, yang dikenal sebagai Sravakayana (kendaraan para siswa). Ini berbeda dengan pencapaian Kebuddhaan melalui kendaraan Bodhisattva (Bodhisattvayana) yang diajarkan dalam sutra-sutra Mahayana, tetapi belum tentu lebih buruk karena pencapaian spiritual seorang Buddha maupun Arahant adalah sama, yaitu sama-sama telah menembus Empat Kebenaran Mulia.

Sisi Altruististik Buddhisme Awal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun