"Demikianlah, Pangeran, manusia adalah kotor, berbau, mengerikan, menjijikkan, dan biasanya dianggap demikian oleh para makhluk surgawi. Jadi mengapakah teman-temanmu yang tidak melakukan perbuatan salah dan setelah kematian terlahir kembali di alam bahagia, alam surga, datang kembali dan mengatakan bahwa ada alam lain, ada buah dari perbuatan baik dan buruk'?"
Dan seterusnya, terdapat sejumlah tanya jawab antara keduanya sehingga Pangeran Payasi akhirnya mengakui kebenaran adanya alam lain. Terdapat juga percobaan yang menarik yang dilakukan Pangeran Payasi untuk mengetahui keberadaan jiwa, misalnya ketika seseorang telah meninggal dunia mengapa tubuhnya menjadi lebih berat, lunak, dan lentur dibandingkan ketika ia masih hidup. Jawaban yang diberikan adalah:
"Seandainya seseorang menimbang sebuah bola besi yang telah dipanaskan sepanjang hari, membara, terbakar hebat, bersinar. Dan seandainya setelah beberapa saat, ketika telah menjadi dingin dan padam, ia menimbangnya lagi. Pada saat bola besi itu panas, ada unsur api dan angin, maka bola besi itu lebih ringan, lebih lunak dan lebih lentur. Ketika tanpa unsur-unsur ini, bola besi itu menjadi dingin dan padam. Demikian juga dengan jasmani ini. Ketika masih memiliki unsur kehidupan, panas, dan kesadaran, maka jasmani ini lebih ringan, lebih lunak, dan lebih lentur. Tetapi ketika dipisahkan dari unsur kehidupan, panas dan kesadaran, jasmani ini menjadi lebih berat, lebih kaku, dan lebih tidak lentur."
Tentu saja jawaban ini tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, tetapi secara filsafat Buddhis (Abhidhamma) memang demikian halnya. Hal ini menyiratkan bahwa tidak semua hal bisa dibuktikan secara ilmiah melalui sains dan hal-hal yang belum terungkap oleh sains itu belum tentu tidak ada atau tidak benar. Seperti halnya seorang anak kecil yang berusaha membuat api dengan membelah kayu api menjadi potongan-potongan kecil dan menumbuknya menjadi abu dan menampinya tidak akan mendapatkan api yang diinginkan, demikian juga orang-orang yang menggunakan metode ilmiah untuk membuktikan keberadaan alam lain belum tentu bisa memperoleh hasil yang diharapkan.
Apannaka Sutta[2]: Bagaimana Jika Alam Lain Sebenarnya Tidak Ada
Ketika Sang Buddha berkunjung ke desa Sala di kerajaan Kosala, para brahmana berbondong-bondong menemui Beliau untuk mengetahui ajaran-Nya. Dalam kotbah-Nya Sang Buddha memberikan argumentasi tentang kerugian akibat menganut pandangan tidak ada alam lain dan keuntungan menganut pandangan ada alam lain seperti di bawah ini:
"Orang-orang yang menganut pandangan bahwa tidak ada dunia lain akan menghindari tiga kondisi bermanfaat, yaitu perilaku jasmani benar, ucapan benar, dan pikiran benar, serta mereka akan menjalani dan mempraktikkan tiga kondisi tidak bermanfaat, yaitu perilaku jasmani salah, ucapan salah, dan pikiran salah. Mengapakah? Karena mereka itu tidak melihat bahaya, kemunduran, dan kekotoran dalam kondisi-kondisi tidak bermanfaat, juga mereka tidak melihat berkah pelepasan keduniawian dan aspek pembersihan dalam kondisi-kondisi bermanfaat."
Sebaliknya mereka yang menganut pandangan bahwa ada alam lain akan menghindari perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran yang salah serta menjalankan perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran yang benar karena mereka melihat sisi negatif dari tiga kondisi yang tidak bermanfaat dan mengetahui manfaat dari pelepasan keduniawian dan penyucian dalam tiga kondisi yang bermanfaat. Dengan demikian, mereka yang menganut pandangan salah akan berperilaku tidak benar, sedangkan mereka yang menganut pandangan benar akan berperilaku benar juga.
Selanjutnya, dari pandangan salah ini dapat timbul kondisi-kondisi tidak bermanfaat lainnya, yaitu kehendak salah, ucapan salah, bertentangan dengan para mulia (yang mengajarkan pandangan benar), meyakinkan orang lain untuk menerima kebenaran palsu, serta memuji diri sendiri dan menghina orang lain. Sebaliknya orang-orang yang berpandangan benar memiliki kehendak benar, ucapan benar, bersesuaian dengan para mulia, meyakinkan orang lain untuk menerima kebenaran sejati, serta tidak memuji diri sendiri dan menghina orang lain.
Kemudian Sang Buddha berkata, "Sehubungan dengan hal ini, seorang bijaksana merenungkan sebagai berikut:
'Sekarang apakah kata-kata para pertapa dan brahmana (baca: para guru agama) itu benar atau salah, biarlah aku mengandaikan bahwa tidak ada dunia lain, tetap saja orang yang menganut pandangan tidak ada dunia lain ini di sini dan saat ini dicela oleh para bijaksana sebagai seorang yang tidak bermoral, seorang dengan pandangan salah yang menganut ajaran ketiadaan. Tetapi sebaliknya, jika ternyata ada dunia lain, maka orang ini telah melakukan lemparan yang tidak beruntung pada kedua sisi: ia dicela oleh para bijaksana di sini dan saat ini, dan ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi sengsara, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, bahkan di neraka. Ia telah secara keliru menerima dan menjalankan ajaran yang tidak dapat dibantah ini sedemikian sehingga hanya mencakup satu sisi dan tidak mencakup alternatif yang bermanfaat.