Di sebuah ruang kelas yang terang benderang, suara guru yang menjelaskan pelajaran terus mengalun. Namun, di bangku belakang, dua sahabat bernama Arief dan Sari tampak sibuk dengan dunia mereka sendiri. Arief memandangi ponselnya dengan ekspresi cemberut, jari-jarinya mengetuk-ngetuk layar tanpa hasil.
"Kesal nih! Apa sih, ponsel ini selalu ngadat pas lagi seru-serunya?" keluh Arief sambil menggaruk kepalanya dengan frustrasi.
Sari, yang duduk di sampingnya, melirik sahabatnya itu sambil menyembunyikan senyum geli. "Kalau kamu kesal, ke pasar aja deh! Mungkin bisa beli snack enak buat ngibur hati," usulnya dengan nada ringan.
Arief mengerutkan kening dan menatap Sari seolah-olah ia baru saja mendengar sesuatu yang luar biasa aneh. "Ke pasar? Apa hubungannya sama ponsel ngadat?"
Sari tertawa kecil. "Ya maksudku 'kesal' itu ya ke pasar! Itu bahasa gaul, ngerti nggak?" jawabnya sambil menahan tawa, mencoba menjelaskan logika kata-katanya yang absurd.
Arief menghela napas, jelas tidak puas dengan jawaban tersebut. "Serius deh, Sari. Kadang aku bingung sama kamu. Kata-kata dalam bahasa Indonesia ini kenapa bisa punya arti ganda terus sih? Misalnya, 'kesal' bisa jadi ke pasar. Kata 'sal' itu sebenarnya dari mana? Emangnya beneran ada kata dasar 'sal'?"
Mendengar pertanyaan serius itu, Sari tidak bisa menahan tawanya lebih lama. "Hahaha, kamu lucu banget, Arief! Nggak ada kata dasar 'sal', itu cuma becandaan aja! Orang-orang suka bikin plesetan supaya seru."
Arief masih memandangnya dengan raut bingung. "Jadi, ini semua cuma guyonan? Aku pikir ada ilmu linguistik di baliknya."
Sari menepuk pundak Arief sambil menahan tawa. "Iya, betul. Plesetan itu kan cara orang bikin bahasa jadi lebih hidup. Kayak kita sekarang, ngobrol sambil ketawa."
Suasana di antara mereka menjadi lebih santai. Arief akhirnya tertawa juga, mengakui bahwa percakapan mereka, meski sederhana, mampu mengubah suasana hatinya yang kesal.
"Yaudah, aku ikut gaya kamu aja. Kalau gitu, sekarang aku 'kesar' dulu ya," ujar Arief sambil berdiri.