Bandar Lampung, 12 Februari 2020. Langit sore itu tampak suram, awan mendung menggantung rendah seolah siap mencurahkan hujan kapan saja. Aku duduk di bangku kayu panjang di pinggir lapangan sekolah, mengamati teman-teman Paskib yang masih semangat menyusun formasi. Meski cuaca tampak tak bersahabat, semangat kami tak surut. Minggu ini adalah momen penting---kami akan mengikuti lomba di SMA 9 Bandar Lampung.
Sebagai seorang pelajar, aku tak ingin hanya berkutat pada kegiatan akademik. Di sekolahku, ada banyak pilihan ekstrakurikuler menarik seperti OSIS, Pramuka, PMR, Rohis, hingga Drum Band. Namun, pilihanku jatuh pada Paskibra, meski aku tahu kegiatan ini membutuhkan fisik yang prima. Latihan sering kami lakukan di bawah terik matahari, tapi hari ini kami cukup beruntung, mendung melindungi kami dari panas.
Latihan sore itu selesai tepat pukul 16.00 lewat. Aku buru-buru mengambil backpack dan melangkah ke gerbang sekolah. Dari kejauhan, aku sudah melihat ayah dan adikku menungguku di atas motor. Adikku, si kecil yang selalu antusias ikut ke mana saja, terlihat ceria meskipun perjalanan menjemputku mungkin melelahkan.
"Sudah lama nunggu, Dik? Capek ya? Makanya nggak usah ikut jemput kakak terus," tegurku sambil tersenyum.
Aku naik ke motor, dan ayah mulai memutar gas. Kami melaju perlahan menyusuri Jalan KH. Ahmad Dahlan, berbelok ke kiri di Jalan Jendral Sudirman, kemudian ke kanan menuju Jalan Gajahmada. Lalu lintas sore itu cukup padat, seperti biasanya di Bandar Lampung.
Namun, saat kami mencapai dekat kantor pos di Jalan Pangeran Antasari, motor tiba-tiba mogok. Ayah memutar-mutar kunci, mencoba menyalakan mesin, tapi sia-sia. Setelah memeriksa, ternyata bensin habis. Indikator bahan bakar di motor sudah lama rusak, sehingga kami tidak menyadarinya.
"Ya ampun," gumam ayah sambil menghela napas. Kami semua turun dari motor. Adikku, yang tak pernah kehilangan energi, langsung naik ke jok sambil berseru, "Aku mau ikut naik, Kak! Seru banget nih dorong motor!"
Ayah memegang stang motor, sementara aku mendorongnya dari belakang. Perjalanan ke pom bensin yang jaraknya sekitar 600 meter terasa berat, terutama karena angin mulai berembus kencang, tanda hujan akan segera turun.
"Dua liter, Mbak," kata ayah setelah kami sampai di pom bensin. Petugas mulai mengisi bensin sambil tersenyum ramah.
Begitu selesai, ayah mencoba menyalakan mesin. Satu kali engkol---gagal. Dua kali---masih gagal. Aku dan adikku mulai khawatir. Tapi pada engkol ketiga, suara mesin motor akhirnya meraung kembali, seolah menghela napas panjang.
Kami melanjutkan perjalanan pulang di tengah hawa dingin dan angin mendung yang semakin pekat. Tak lama setelah tiba di rumah, hujan deras akhirnya turun. Kami bertiga hanya bisa tertawa kecil di teras, bersyukur perjalanan panjang tadi berakhir sebelum hujan menyapa.