Hari ini saya merenungkan sebuah kasus yang menarik perhatian banyak orang: Edy Mulyadi dijatuhi hukuman 7 bulan 15 hari penjara karena pernyataannya tentang "tempat jin buang anak." Sebuah ungkapan yang sering digunakan untuk merujuk tempat terpencil, kini menjadi perkara hukum. Istilah ini, yang awalnya berakar dari tradisi lisan Jakarta sejak 1960-an, menunjukkan bagaimana budaya dan hukum bisa saling bersinggungan.
Di sisi lain, saya juga teringat kejadian baru-baru ini yang melibatkan Gus Miftah. Dalam candaan spontan kepada seorang penjual es teh di tengah hujan, Gus Miftah menggunakan kata "goblok." Meski berniat humor, video ini viral dan memicu kontroversi. Gus Miftah akhirnya meminta maaf, sebuah langkah yang menurut saya menunjukkan kebesaran hati.
Sebagai orang Jawa, saya tahu kata "goblok" memiliki makna yang beragam. Dalam budaya Jawa Timuran, kata ini sering dipakai sebagai candaan di antara teman dekat. Intonasi dan konteks sangat menentukan apakah kata ini terasa sebagai penghinaan atau sekadar lelucon. Misalnya, "Walah, goblokmu iki!" seringkali diucapkan dengan nada ringan sebagai tanda keakraban.
Namun, konteks tetap penting. Dalam hubungan yang kurang akrab atau situasi formal, kata ini bisa dianggap kasar. Ungkapan ini mengingatkan saya pada filosofi Jawa: "Ajining diri soko lati" (harga diri seseorang tergantung pada ucapannya). Bahasa adalah alat komunikasi yang kuat, dan penggunaannya membutuhkan kebijaksanaan.
Bahkan dalam Islam, adab bertutur adalah bagian penting dari iman. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia" (HR Ahmad). Al-Qur'an juga mengingatkan:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok." (QS Al-Hujurat: 11).
Peristiwa Gus Miftah adalah pelajaran bahwa bahkan dalam candaan, ada batas-batas yang perlu dijaga. Penggunaan kata "goblok" dan ungkapan seperti "jin buang anak" menjadi pengingat bagi saya bahwa komunikasi yang baik bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga tentang menghormati orang lain.
Sebagai bagian dari budaya dan tradisi, kata-kata ini memang punya tempatnya. Namun, di era globalisasi, kita perlu lebih bijak dalam memilih kata, terutama ketika pesan kita dapat diakses oleh audiens yang lebih luas. Tradisi Jawa mengajarkan pentingnya introspeksi, sebagaimana Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Kadang, untuk menjadi pintar, kita harus berani dianggap goblok."
Hari ini saya belajar bahwa menjaga adab dalam ucapan adalah bagian dari menjaga kehormatan diri dan orang lain. Setiap kata yang keluar dari mulut kita memiliki dampak, dan dalam segala hal, hikmah serta kebijaksanaan adalah kunci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H