Dalam rangka mendukung peningkatan literasi digital dan keterampilan informatika di Indonesia, KOGTIK PGRI akan menyelenggarakan Olimpiade TIK dan Informatika Nasional ke VI, dengan salah satu kegiatan utamanya adalah Seminar Nasional Informatika yang akan digelar pada 31 Oktober 2024. Acara ini akan menjadi platform bagi para guru informatika untuk berbagi pengalaman, tantangan, dan solusi dalam mengajar bidang yang sangat dinamis ini. Berikut adalah pandangan dari beberapa calon peserta mengenai pengajaran informatika.
Rahmat Hidayat, seorang guru informatika di SMA Putra 1, Jakarta Timur, menggambarkan pelajaran informatika sebagai sesuatu yang "sangat menyenangkan sekaligus menantang." Ia menekankan bahwa pembelajaran informatika memerlukan kemampuan bernalar dan berlogika, yang membuat siswa tertantang dan antusias. Namun, ia juga mengakui bahwa tidak semua siswa dapat dengan mudah memahami materi, dan perhatian khusus diperlukan bagi siswa yang mengalami kesulitan. Pendekatan pedagogik yang diambil Rahmat menunjukkan pentingnya pembelajaran diferensial, di mana setiap siswa dihadapi dengan metode pengajaran yang sesuai dengan kemampuannya.
Farah Chikita Venna, dari SMPN 18 Tangerang Selatan, menyatakan bahwa mengajar informatika itu "seru, asik, dan inovatif." Hal ini mencerminkan bahwa informatika, dengan berbagai alat dan teknologi yang digunakan, dapat membuat proses belajar menjadi menyenangkan bagi siswa. Pendekatan inovatif yang ia maksud bisa berarti penggunaan metode pembelajaran berbasis proyek atau game-based learning, di mana siswa diajak untuk secara aktif mengeksplorasi konsep teknologi melalui praktik langsung.
Eko Suwardi, dari MTsN 6 Boyolali, mengungkapkan tantangan mengajarkan informatika di daerah. "Ada kejadian lucu, seperti siswa gemetar memegang mouse atau pointer yang mentok." Eko juga mencatat keterbatasan perangkat yang dimiliki siswa sebagai kendala utama. Pengalaman ini menunjukkan pentingnya pendekatan pedagogik berbasis inklusi, di mana guru memahami kondisi dan keterbatasan siswa, serta menciptakan lingkungan belajar yang mendukung untuk semua siswa, tanpa membuat mereka merasa terintimidasi oleh teknologi.
Surya Adi Nafitri, S.Pd., Gr., guru di SMP Negeri 1 Ngajum, Malang, menyoroti bahwa informatika mengharuskan guru untuk "ekstra cermat" dalam menghadapi siswa yang memiliki karakter berbeda-beda. Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya personalized learning dalam pembelajaran informatika, di mana guru harus dapat menyesuaikan pendekatan mereka berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masing-masing siswa, agar semua siswa dapat merasakan kemajuan yang sesuai dengan tingkat mereka.
Sehrotul Amanah, S.Kom, dari SMP Negeri 7 Surabaya, menyoroti luasnya cakupan materi informatika, mulai dari dasar-dasar pemrograman hingga pengembangan aplikasi. Luasnya materi ini bisa menjadi tantangan tersendiri bagi guru, yang dituntut untuk mampu menyederhanakan konsep-konsep kompleks agar mudah dipahami oleh siswa. Dalam hal ini, pendekatan scaffolding dapat diterapkan, di mana materi diajarkan secara bertahap, mulai dari yang paling dasar hingga konsep yang lebih kompleks, dengan bimbingan intensif di setiap tahap.
Isnaini Rahmawati, S.Pd., dari SMP Negeri 2 Karanglewas, Banyumas, mengungkapkan kegembiraannya mengajar informatika meskipun ia berasal dari latar belakang matematika. "Informatika juga melibatkan matematika," ujarnya, yang membuatnya menikmati proses mengajar. Hal ini menunjukkan adanya interdisiplinaritas dalam pengajaran informatika, di mana guru dapat menghubungkan berbagai mata pelajaran dengan teknologi, sehingga memperkaya pemahaman siswa dalam memecahkan masalah melalui logika dan analisis matematis.
Nuri Afriani, dari SMA Negeri 1 Tanah Putih, Rokan Hilir, menyatakan keprihatinannya terkait minat siswa dalam belajar informatika. Tantangan ini mendorong penerapan metode blended learning yang dapat membantu meningkatkan keterlibatan siswa dengan menggabungkan pembelajaran tatap muka dengan teknologi digital.
Zulfikar, S.Kom, guru di MIT Syamsuddhuha, Aceh Utara, menekankan pentingnya TIK dalam mempersiapkan siswa untuk dunia kerja. Menurutnya, siswa perlu memahami berbagai perangkat dan teknologi, termasuk etika dalam penggunaannya. Hal ini menggambarkan peran informatika dalam membangun keterampilan abad ke-21, seperti literasi digital, etika digital, dan pemikiran komputasional, yang sangat relevan bagi siswa yang akan memasuki dunia profesional di era teknologi.
Naisya Aura Ramadhania, dari SMPN 1 Dewantara, Aceh Utara, berbagi pengalamannya tentang belajar informatika ketika menjadi siswa, dan sekarang sebagai guru, ia dapat memahami tantangan yang dihadapi siswa. Refleksi seperti ini menunjukkan pentingnya metakognisi, di mana guru dapat merenungkan pengalaman belajar mereka sendiri untuk menyempurnakan cara mereka mengajar.
Desri Kurniawan, dari SDIT Insan Madani Jakarta, menegaskan bahwa seorang guru harus "peka terhadap perkembangan teknologi agar bisa menambah wawasan yang up-to-date untuk siswa." Pendapatnya mencerminkan pentingnya pengembangan profesional bagi guru-guru informatika, agar mereka selalu dapat memberikan pengajaran yang relevan dan mutakhir di tengah kemajuan teknologi yang pesat.