Malam sudah menjelang ketika Yani dan Husen tiba di Stasiun Rangkas Bitung. Angin malam membawa hawa dingin yang menusuk, membuat mereka merapatkan jaket masing-masing. Jam di dinding stasiun menunjukkan pukul 20:50, dan mereka harus segera mengejar kereta terakhir menuju Merak yang berangkat pada pukul 21:00.
"Kita harus cepat, Husen. Kereta terakhir sebentar lagi berangkat!" seru Yani sambil mempercepat langkahnya.
Namun, nasib berkata lain. Saat mereka mencapai peron, mereka hanya bisa melihat kereta terakhir perlahan menjauh, meninggalkan jejak lampu-lampu yang semakin mengecil di kejauhan. Rasa panik dan kecewa menghantam mereka berdua.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Yani?" tanya Husen dengan nada putus asa.
"Tenang, Husen. Kita cari tempat menginap saja malam ini. Besok pagi kita coba lagi," jawab Yani dengan berusaha tetap tenang meski hatinya cemas.
Mereka berjalan keluar dari stasiun, mencari penginapan yang bisa mereka tempati untuk malam ini. Di sepanjang jalan, lampu-lampu jalan memberikan sedikit penerangan, sementara suara malam dari burung hantu dan serangga malam menemani langkah mereka. Bau makanan dari warung-warung kecil yang masih buka menggelitik perut mereka yang mulai lapar.
Setelah beberapa waktu berjalan, mereka menemukan sebuah losmen sederhana dengan papan nama yang sudah usang. Losmen ini terlihat bersahaja namun bersih. Mereka masuk dan disambut oleh pemilik losmen, seorang pria tua dengan senyum ramah.
"Selamat malam, Pak. Kami mencari kamar untuk menginap malam ini. Masih ada yang kosong?" tanya Yani.
"Selamat malam. Ada, ada. Silakan masuk, kalian bisa memilih kamar yang ada di lantai satu," jawab pria tua itu sambil menunjuk ke arah tangga.
Yani dan Husen memilih kamar yang menghadap ke halaman belakang. Setelah menyimpan barang-barang, mereka pergi ke warung terdekat untuk makan malam. Aroma nasi goreng dan sate ayam menggoda selera mereka, dan akhirnya mereka makan dengan lahap, mencoba melupakan sejenak rasa kecewa karena ketinggalan kereta.
Kembali ke losmen, mereka berbaring di ranjang yang sederhana namun nyaman. Suara gemericik air dari sungai kecil di dekat losmen dan suara jangkrik yang bersahutan menjadi lullaby malam itu. Meski lelah, pikiran mereka masih dipenuhi kekhawatiran tentang perjalanan esok hari.
Pagi harinya, suara ayam berkokok dan sinar matahari yang menembus tirai tipis membangunkan mereka. Setelah sarapan sederhana yang disediakan losmen, mereka bergegas kembali ke stasiun dengan semangat baru. Kali ini, mereka memastikan untuk tiba lebih awal dan tidak mengulang kesalahan yang sama.
Sesampainya di stasiun, mereka membeli tiket untuk kereta pertama yang menuju Merak. Waktu berjalan lambat, namun mereka merasa lebih tenang karena sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik. Kereta yang ditunggu akhirnya tiba, dan mereka naik dengan hati lega.
Perjalanan menuju Merak pagi itu terasa lebih tenang. Di dalam kereta, Yani memandang ke luar jendela, melihat pemandangan yang berganti-ganti, dari hamparan sawah hingga rumah-rumah penduduk. Husen duduk di sampingnya, tersenyum dan berkata, "Kita hampir sampai, Yani."
"Ya, Husen. Perjalanan ini mengajarkan kita banyak hal. Kesabaran, ketenangan, dan pentingnya perencanaan," jawab Yani sambil tersenyum.
Saat kereta perlahan memasuki Stasiun Merak, mereka merasa bahagia dan lega. Meski perjalanan ini penuh tantangan, mereka berhasil melewatinya bersama. Pengalaman ini akan selalu menjadi kenangan berharga yang menguatkan ikatan mereka berdua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H