Di kaki Gunung Gede, terletak sebuah desa yang tenang dan indah. Pepohonan hijau yang rimbun menyelimuti lereng-lereng gunung, sementara kabut tipis menggantung rendah di udara, memberikan sentuhan magis pada pemandangan. Desa ini adalah tempat tinggal Yani dan Husen, sepasang sahabat yang telah tumbuh bersama sejak kecil.
Yani adalah seorang gadis dengan mata yang penuh semangat, dan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Dia selalu penuh rasa ingin tahu dan mencintai alam sekitarnya. Setiap pagi, dia akan berjalan melewati ladang hijau, merasakan embun pagi yang menyejukkan kulitnya, dan menghirup dalam-dalam udara segar yang membawa aroma khas pegunungan.
Di sisi lain, Husen adalah seorang pemuda yang tenang dan penuh perhatian. Dia memiliki jiwa yang dalam dan penuh dengan pemikiran-pemikiran mendalam tentang kehidupan. Setiap pagi, dia duduk di tepi sungai yang jernih, mendengarkan irama gemericik air yang mengalir di antara bebatuan, dan merasakan dinginnya air yang menyentuh kulitnya. Bagi Husen, sungai ini adalah tempat di mana dia bisa merenung dan menemukan ketenangan.
Namun, di balik ketenangan desa ini, ada gejolak yang tak terlihat oleh mata. Di hati Yani, ada perasaan yang menyesakkan. Mungkin aku tak pandai berkata, pikirnya. Walau suasana hati bergejolak, menekan hasrat yang menyesak, menusuk hingga tancapan terdalam. Yani sering merasa bingung dengan perasaannya sendiri, tak mampu mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan.
Husen, di sisi lain, selalu merasa bahwa mungkin jiwa ini masih ada karena doa yang tak henti dipanjatkan. Dia percaya bahwa cinta dan asa yang terus hidup di dalam hatinya adalah yang membuatnya bertahan. Walau terkadang dia merasa hampa, penuh harap, dan hati yang terus berteriak tanpa seorang pun yang mendengar.
Pagi itu, ketika matahari perlahan naik di atas puncak gunung, semburat sinar jingga mulai menyinari desa. Husen dan Yani bertemu di tepi ladang, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mereka duduk di bawah pohon besar, mendengarkan desiran angin yang berbisik di antara dedaunan, dan merasakan kehangatan sinar matahari yang menyentuh kulit mereka.
"Mungkin ada baiknya memilih," kata Yani pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara alam. "Dari berbagai macam alasan, seperti berjuta-juta bintang yang terlihat indah. Tangisi kehilangan dalam hidup, atau bahagia dengan apa yang telah dimiliki."
Husen mengangguk, matanya menatap jauh ke arah cakrawala. "Mungkin bisa tak terdengar lagi desiran angin berbisik, irama gemericik air, segala nyanyian alam, hingga hangatnya semburat sinar mentari jingga. Disaat tenggelam dalam kebimbangan."
Mereka duduk di sana dalam keheningan, hanya suara alam yang menemani. Semilir angin dingin membelai lembut wajah mereka, dan bau pagi pegunungan menyelimuti indra mereka. Hanya aku, pikir Yani, cukuplah aku yang merasakan. Dan di sampingnya, Husen merasa hal yang sama. Mereka mungkin tak mampu mengungkapkan semuanya dengan kata-kata, tapi di dalam hati mereka, ada pemahaman yang mendalam tentang satu sama lain.
Di desa kecil di kaki Gunung Gede ini, Yani dan Husen menemukan kedamaian dalam kebersamaan mereka, menikmati setiap momen yang mereka miliki di tengah keindahan alam yang mengelilingi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H