Di sudut rumah, seorang ayah paruh baya duduk,
Wajahnya keruh, hati yang penuh beban,
Anak tertua, yang hampir lulus kuliah,
Mengimpikan sepeda motor seharga dua puluh juta.
"Anakku, tunggulah," bisiknya lembut,
"Mobil ini sebentar lagi lunas."
Mobil, andalan keluarga, sumber rezeki,
Menjadi harapan di tengah kesulitan.
Mobil itu menghidupi mereka,
Dengan warung kecil sebagai pelengkap,
Angsuran tiga koma satu juta setiap bulan,
Syukur, meski kadang penghasilan tak menentu.
Dua tahun lagi, angsuran selesai,
Namun anak terus mendesak, tak sabar menanti,
Setiap hari kiriman screenshot,
Sepeda motor impian yang diinginkan.
Nasihat dan pengertian ia coba tanam,
Namun anak tak jua memahami,
Akhirnya sang ayah terpaksa menyerah,
Tak ada jalan lain, mobil harus dijual.
Dengan berat hati, mobil dilepas,
Meski baru mengganti empat ban baru,
Mobil yang membawa mereka ke Malang,
Kini harus berpindah tangan.
Harga yang disepakati, seratus enam puluh tiga juta,
Leasing dilunasi, tujuh puluh juta,
Sisa enam puluh tiga juta di tangan,
Dua puluh juta untuk motor, sisa empat puluh tiga juta.
"Apa aku bisa mengajukan kredit mobil baru?"
Gumamnya dalam hati yang bimbang,
"Dengan DP empat puluh tiga juta,
Apakah angsuran bulanannya lebih dari tiga koma satu juta?"
Beban berat di hati sang ayah,
Namun demi kebahagiaan anak tercinta,
Ia rela berkorban, mengorbankan mobil,
Demi sepeda motor yang diimpikan anaknya.
Semoga pengorbanan ini tak sia-sia,
Doa dan harap selalu menyertainya,
Agar keluarga tetap bahagia,
Meski harus menghadapi berbagai rintangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H