(Al Hambra Palace. The Photograph taken from www.theguardian.com)
Waktu itu, siang begitu terik. Sepertinya hujan akan datang mengguyur Jakarta. Sejak lama, Jakarta tidak pernah ‘konsisten’ dengan cuaca. Paginya begitu terik, tiba-tiba siang harinya hujan deras datang bak ‘tamu tak diundang’. Bulan-bulan dengan akhiran ‘ber’, seperti Oktober, Nopember, dan Desember, yang biasa diyakini banyak orang sebagai bulan turunnya hujan, seakan tak dikenal oleh ’kamus cuaca’ kota Jakarta.
Bima yang bekerja nun jauh di ujung Jakarta sana adalah salah seorang karyawan yang merasa ‘keberatan’ dengan cuaca Jakarta akhir-akhir ini. Bims, panggilan akrabnya, yang tinggal di daerah Jakarta selatan sudah setahun ini bekerja di daerah Kelapa Muda Jakarta Utara. Dengan berbekal jas hujan ‘rombeng’, Bims mengendarai motor tua kesayangannya setiap pagi demi mengejar ‘sebongkah emas’ yang tersimpan di perusahaan kecil untuk penerbitan ulang buku-buku tua, tempat dimana ia bekerja.
“Ikhlas aja”, niat Bima selalu ketika hendak berangkat setiap paginya menuju tempat kerja yang membosankan dan berjarak ‘ujung ke ujung’ dari tempat kos yang ia tinggali itu selama ini.
------------
Bima ‘versi lama’ adalah Bima yang tak seperti sekarang. Ia sempat tinggal di daerah elit Bandung bersama orang tuanya. Bima adalah anak ‘borjuis’ sekolah menengah atas bergengsi di Bandung. Ayahnya seorang pejabat terpandang salah satu perusahaan BUMN di Bandung. Rumahnya bak Istana Sulaeman (Haikal Sulaiman) di Yerusalem atau Istana Alhambra di Spanyol, terletak di kawasan elit yang sangat strategis untuk pergi kemanapun wilayah eksotis Bandung lainnya. Bima ‘old version’ adalah Bima yang selalu fashionable, berpakaian branded, dengan gaya dandanan rambut up to date nan klimis layaknya Christiano Ronaldo, pemain Real Madrid itu.
Bima dikenal teman-temannya sebagai ‘raja’ (entahlah, mungkin karena dandanannya yang sering berlebihan sehingga tampak seperti Ian Kasela, vokalis band lama bernama ‘Radja’). Layaknya seorang raja, Bima di sekolah memiliki banyak patih, ‘body guard’, dan tentunya seabreg perempuan cantik mojang Bandung sebagai selir-selirnya. Gonta-gonti cewe sepertinya biasa untuk seorang Bima, sebagaimana ia dengan mudah dan seringnya membeli dan mengganti gadget pribadinya. Mulai dari cewek tipe manis seperti aktris Naysila Mirdad, tipe feminine gaya penyanyi Raisa, tipe seksi dengan lekuk tubuh bak ‘biola spanyol’ seperti penyanyi 'cetar membahana'Syahrini atau tipe future-mom seperti Oki Setiana Dewi, pernah dikencani Bima, anak tajir bermata empat ini (berkaca mata). Begitu pula dengan gadget yang selalu ia pamerkan kepada teman-temannya di sekolah. You-Pad yang biasanya dipakai oleh para eksekutif kaya untuk keperluan bisnisnya, dibeli pula oleh Bima padahal hanya sekedar untuk SMS teman-temannya yang 'katro’ itu.Konon, gadget yang satu ini merupakan teknologi dengan kapasitas ‘smartest’ diantara gadget-gadget lainnya yang pernah ada. Maklum, harganya pun ’secerdas’ teknologi yang dimiliki.
Tak hanya itu, Bima ’versi lama’ dikenal begitu angkuh dan ringan tangan. Dari beberapa teman dekat dan mantan teman kencannya, ia selalu meninggalkan’kenangan indah’ berupa pengakuan ’penyesalan’, ’sakit hati’, dan lebih parahnya luka fisik (sore). Kalau melihat ’penderitaan’ mereka, semua orang pasti terketuk hatinya ingin melakukan semacam penyelamatan emergency.
If I kiss You where it’s sore
If I kiss You where it’s sore
Will You feel better, better, better
Will You feel anything at all
(Regina Spektor, Better)
-------------
Bima sekarang, hidup ’terpaksa’ prihatin. Ayahnya yang pejabat itu sudah meninggalkan ia dan ibunya. Ibunya sekarang sudah mendapatkan ’belahan jiwa’ lainnya, meski hanya untuk mengisi kekosongan sisa hidupnya saja. Bima sekarang sudah berubah. Ia menjadi sosok yang sangat detail dalam kehidupannya. Ia sangat detail menghitung pengeluarannya setiap saat. Jakarta yang keras dan kompetitif pun telah mengubah mental Bima. Kehidupan berlimpah yang dijalaninya dahulu sepertinya tak berbekas dalam diri Bima sekarang. Ia sangat rendah hati dan penuh perhitungan.
------------
Kehidupan kampus yang ia jalani di Jakarta pun telah mengubah cara pandang Bima yang ’jahiliyah’. Dengan uang pas-pasan, Bima menjalani kuliahnya dahulu dengan sangat rajin. Ia dikenal teman-temannya di kampus sebagai anak yang rajin dan teguh pendirian.’Sebaik-baiknya teman adalah buku’ mungkin adagium yang tepat untuk memotret kehidupan Bima pasca peristiwa ’broken home’ yang terjadi pada keluarganya. Kemanapun Bima pergi, buku selalu menemaninya. Meskipun bukan buku baru yang populer seperti Explicit Love Story karya Lee Sae In, Skenario Remang-remang karya Jessica Huwae, atau Follow @MerryRiana karya Debbie Widjaja yang ia punya.
Bima begitu menikmati lembar demi lembar buku-buku lama bekas yang ia beli dari daerah Palasari Bandung atau dari beberapa pedagang langganannya yang tersebar yang sekarang sudah tidak berjualan di daerah Kwitang Jakarta lagi. Bagi Bima semua ini dia maknai bahwa masa depan merupakan puzzle lukisan kesuksesan yang harus disempurnakan oleh serpihan demi serpihan proses panjang.
------------
Dengan uang secukupnya dari sisa gaji bulanan yang ia dapat dari pekerjaannya, Bima begitu menikmati hidupnya di sebuah kos bilangan Jakarta Selatan. Kehidupan sederhana seolah menjadi teman keseharian Bima ketika berada di luar kantor tempat dimana ia bekerja. Hiruk pikuk kehidupan malam Jakarta seakan tak mampu membangunkan ’gairah nakal’-nya untuk ikut berdansa-dansi layaknya pria metropolis Jakarta lainnya.
Ada yang berbeda dengan Bima akhir-akhir ini. Ia begitu ceria. Ia begitu yakin dan percaya diri. Pekerjaannya yang membosankan sebagai editor buku-buku tua, begitu ditekuninya dengan senang hati. Seperti ada ‘vitamin’ yang membuat tubuhnya begitu bersemangat.
“Gw jatuh cinta, man.” Jawab Bima ketika ditanya teman-teman sekantornya. Sontak teman-teman kantor Bima kaget. Bima yang dikenal intovert dan tak suka bercerita mengenai kehidupan romantica de amor-nya, akhirnya bisa curhat juga. ”Gw suka sama cewek....ah pokoknya beda banget nih cewek.” Bima mencoba bertahan. Ia didesak teman-temannya untuk menggambarkan tipe cewek yang telah membuatnya jatuh cinta itu.
-------------
Ketika itu jam menunjukkan pada arah 12 siang. Di tengah terik sinar matahari yang menyilaukan mata, Bima menyetir mobil Jazz hitamnya menuju sebuah cafe elit di daerah Cihampelas Bandung. Ia membolos sekolah karena merasa bosan di sana. Tidak sekali dua kali Bima kabur pada jam pelajaran sekolah. Mulai dari kepala sekolah, guru, wali kelas, bahkan penjaga pintu sekolah tahu kalau Bima sering membolos.
Bima masuk cafe tersebut dengan raut muka lelah. Tampak sekali pada gurat wajahnya, Bima sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat. Bima kemudian duduk di sofa berkulit halus dekat pintu, sambil melihat keluar jendela cafe yang berwarna biru. Sesaat kemudian, datang seorang pramusaji pria berkulit cokelat menghampirinya. ”Biasa, Asian Dolce Latte yang Grande satu” pesan Bima kepada pelayan tersebut.
Sesaat kemudian, pelayan tersebut datang dan ditaruhnya satu mug kopi pesanan Bima tadi. Bima sepertinya ingin menikmati suasana cafe yang sepi tersebut. Bima boleh dibilang pelanggan loyal cafe ini. Setiap kali membolos ia selalu datang ketempat ini sendirian. Maklum, cafe ini satu-satunya di Bandung yang selalu memutarkan lagu-lagu Brit-pop dari Lily Allen atau Kate Nash yang sangat Bima sukai. Ia lalu membuka sebungkus rokok mild, dan menghisapnya gently.
Sekitar jam 9 malam, Bima pulang ke rumah. Dibukakan pintu pagar rumahnya itu oleh beberapa petugas satpam pribadinya. ”Malam, mas Bima”sapa salah seorang petugas satpam kepadanya sedikit kaku. Ketika hendak memasuki pintu rumahnya, tiba-tiba seorang perempuan berteriak dari luar pintu pagar rumahnya, ”Hai Bima, bilang sama bokap lo, gw ga butuh duit !” Dengan nada kesal Bima berteriak pula ”Hey, lo siapa?” Dengan muka yang memerah, Bima lari mendekat pagar. Tapi petugas satpam kemudian menahan Bima dan menenangkannya. Mereka pun langsung mengusir perempuan itu untuk pergi.
-------------
Beduk adzan di sebelah gedung pertemuan, membuat Bima bergegas membereskan kertas-kertas makalahnya. Baru saja Bima menyelesaikan diskusi dengan teman-temannya di gedung kaya sejarah di sekitar daerah Menteng Jakarta Pusat. Gedung yang konon dulu sempat disinggahi beberapa tokoh nasional beken saat masa mudanya itu, akhir-akhir ini sering disinggahi pula oleh Bima
Bima merasa ”lelah” dengan rutinitas kampusnya yang ketat itu. Hampir setiap hari Bima mendapatkan tugas dari dosen-dosennya. Dan itu harus dikerjakannya dengan ”senang hati” hingga kadang-kadang jam tidur malamnya terganggu. Tidak jarang Bima mengerjakan tugasnya hingga larut malam bahkan pagi hari. Maklum, Bima sekarang kuliah di sebuah universitas swasta terkenal di Jakarta. Banyak lulusannya sekarang yang ”sukses”. Di fakultasnya saja, kampus tersebut sudah banyak melahirkan lulusan-lulusannya yang bekerja di pelbagai Departemen. Di samping, ada juga yang bekerja di organisasi-organisasi internasional, perusahaan Multinasional, dan bahkan tidak sedikit juga yang berprofesi sebagai artis ibukota.
Setiap malam, Bima mengerjakan tugasnya secara ”sukarela”. Namun di sela mengerjakan tugasnya, dia sering berpikir, apakah ia sudah tuntas berperan sebagai mahasiswa ketika tugas-tugasnya yang seabreg itu terselesaikan dengan baik. Pikirannya sering bergejolak dengan pelbagai pertanyaan kritis, apakah seorang mahasiswa hanya bisa berperan sebagai ”follower” yang harus mengerjakan tugas-tugasdosennya saja, atau atas nama kebebasan berpikir apakah mahasiswa pun bisa proaktif berkreatifitas sembari menjalankan titah dosennya itu?
Bima dikenal temannya sebagai pribadi yang menjunjung tinggi ”IPK” di kampusnya. Bima dikenal pengikut aliran ”IPK Tiga Koma” di kampusnya. Sudah tiga semester ini Bima mendapat IPK ”tiga koma” di kampusnya. Padahal, IPK sebesar itu hampir jarang sekali didapatkan oleh teman-teman sekelasnya. Memang, kampus Bima terkenal begitu ketat dengan aktivitas akademisnya. Dosen-dosennya seakan tidak mau tahu aktivitas mahasiswanya di luar kelas sana yang tidak jarang dinilai 'lebih bermanfaat' dibandingkan hanya harus mengerjakan tugas yang selalu bertumpuk dari kelas.
Di luar kampus, Bima aktif mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi liberal art dan sosial bersama teman-temannya. Gedung yang sering ia singgahi akhir-akhir ini adalah semacam gedung sekretariat organisasi kepemudaan yang ia ikuti. Di sana, ia bukan saja bisa menikmati ”pencerahan” melalui diskusi-diskusi ”bebas” sehingga libido intelektualitasnya ”terpuaskan”, tetapi ia juga bisa mendapatkan banyak arti kehidupan melalui obrolan-obrolan ringan dengan temannya.
Bima tahu betul sekarang mengenai apa arti pertentangan kelas yang dimaksud ”Mbah” Karl Marx dalam magnum opus-nya, Das Kapital, pertentangan kelas sosial antara kaum borjuis (kaya) seperti kebanyakan teman kampusnya dengan kaum proletar (melarat) seperti dirinya.
”Ini realitas kehidupan, inilah yang disebut Fakta Sosial” tegas Bima ”Ada kelompok penindas dan kelompok tertindas macam gue. Presiden dan menteri-menterinya sebagai pembantu presiden jangan sampai menjadi kelompok penindas di negara ini. Kalau itu terjadi, gue mesti melawan, melakukan aksi, kalau bisa gue mesti berhadapan sama elit-elit negara dan ngomong sama mereka kalau apa yang dilakukan mereka terhadap rakyatnya tidak ada bedanya dengan kelompok penindas.” tambah Bima, sambil meniup asap rokoknya yang sudah mengepul penuh di mulutnya.
Bersambung.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H