Mohon tunggu...
Syamsuddin Ruppa
Syamsuddin Ruppa Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Sederhana sebagai guru, agresif sebagai pemimpi yang sangat ingin Indonesia merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bingung

8 Desember 2011   19:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:39 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin itulah kata yang paling cocok untuk mewakili apa yang dirasakan sebagian besar penduduk dari sebuah bangsa yang harusnya besar bernama Indonesia. Sebagian besar dari kaula bangsa Indonesia memang masih sangat biasa dan terlalu sederhana untuk sekedar menyampaikan pendapatnya, apatahlagi pendapat itu mengenai kebesaran bangsanya. Mungkin saja disebabkan pula kebiasaan para pemimpinnya yang cenderung tidak perlu peduli dengan terikan kaulanya itu. Dan menurut teman dekat saya, "kayaknya kita rakyat memang bisanya hidup miskin saja, sambil mencoba membayangkan kesan yang timbul dari pembagian BLT, beras untuk gakin, dan subsidi BBM".

Kita dibiasakan dengan kalimat yang kedengaran sejuk, misalnya : Premium hanya untuk keluarga miskin, Dana Operasional  dan pengadaan beras miskin segera dicairkan, dll. Bukankah itu menyejukkan hati dari sebagian kita? Tetapi tanpa disadari mindset kita menerima kenyataan dan merasa biasa dengan keadaan kita yang miskin itu. Bahwa miskin itu biasa dan itulah milik kita. Maka kita lupakanlah pelajaran SD kita yang dulu disampaikan oleh Bapak Guru bahwa Indonesia adalah negara agraris yang kaya raya, negara maritim yang di dalam lautnya terpendam kekayaan yang luar biasa, kekayaan sumber daya hayati dan keaneka-ragaman kekayaan genetika, di dalam perut bumi apalagi, sumber mineral apalagi yang tidak bisa ditemukan? Dari Nikel di Soroako sampai Timah di Bangka Belitung, dari Batubara di Kalimantan sampai Emas yang mengkilap dan menyilaukan mata orang Amerika di Papua, dan dari pasir besi di Cilacap sampai minyak bumi di Selat Makassar.

Maka itulah pula sebabnya kita bisa berontak hanya di dalam pikiran kita, kita membenci kapitalis tapi kita sendiri yang memilih pemimpin kita, yang sejatinya tidak mengaku pula sebagai kapitalis namun sangat egois. Anak-anak kita disekolahkan untuk dijadikan pintar, akan tetapi jangan sampai dia cerdas.  Kalau kita membutuhkan anak cerdas, mengapa pula kita berlomba membayar upeti hanya karena anak kita mau dijadikan PNS? Bukankah dengan membayar "upeti" seperti itu maka kecerdasan menjadi disepelekan?

Laut kita kaya dengan segala jenis ikan, tapi nelayan "kurang" diberdayakan, lahan kita subur tapi petani selalu tidak kuat dari sisi permodalan, peternakan apalagi........, maka jadilah kita negara agraris yang "sudah tidak malu" untuk impor beras, negara maritim dengan kepala tertunduk membeli ikan dari negara tetangga sebelah. Paling tidak itulah yang menjadi alasan mengapa saya jadi sangat bingung, maka siapakah yang mau menjelaskan apa yang terjadi dengan negara ini?

(Limo, Depok 08122012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun