Memasuki 12 tahun era reformasi kita melihat persoalan bangsa bukannya menjadi "adem" tapi malah semakin rumit saja. Ternyata kita sebagai bangsa belum siap sepenuhnya menjadi orang bebas, terutama dalam bersikap dan menyikapi persoalan bangsa ini. Kebebasan dalam arti seluas-luasnya (dan mungkin saja sebagai apresiasi terhadap kemerdekaan itu sendiri yang salah?) ternyata memunculkan lebih banyak unsincronize dengan karakter bangsa yang ramah, sebagai pegotong-royong yang romantis, yang wajib menghargai yang lebih tua plus menyayangi yang lebih muda dan lain-lain karakter positif yang terbangun sejak berabad-abad yang lalu.
Saking bebasnya sampai segelintir orang bisa saja percaya dengan kemunculan "nabi" baru, merasa berhak menghakimi komunitas yang berlainan aliran dalam agama yang sama. Hal yang tidak pernah mendapatkan ruang di era sebelumnya (era orde baru). Bisa jadi karena format kepemimpinan bangsa berubah dibarengi dengan format pengambilan kebijakan yang direform sejak 1999. Lalu dengan pertanyaan, semudah itukah karakter bangsa itu hilang? Karakter bangsa sejatinya tidaklah pernah hilang, hanya saja tidak mendapatkan tempat yang sesuai dengan alam reformasi yang serba mengatasnamakan demokrasi. Formasi kepemimpinan yang serba ragu-ragulah sehingga problema bangsa kita semakin bertumpuk, banyak kasus yang tidak selesai atau lebih tepatnya tetap mengambang.
Karakter bangsa tidaklah menginginkan ketegasan ala peluru karet terhadap beringasnya demo, tapi tidaklah pula adem terhadap masalah Bank Century misalnya. Karakter bangsa justru akan mencegah dan tidak menginginkan munculnya demo terkait kepemilikan lahan, penyelesaian kasus korupsi dan bahkan korupsi itu sendiri. Karakter bangsa yang antara lain dicirikan oleh kesungguhan para pemimpin (Raja, dimasa lampau) melindungi kepentingan kaulanya dan juga keikhlasan rakyat menghormati pemimpinnya. Jika dua ciri karakter tersebut tidak hilang dari tempatnya, mungkin pemberian izin penggunaan lahan perkebunan sawit (dan lain-lainnya) tidak akan menimbulkan kekacauan seperti di Mesuji. Bukankah bagi keduanya (perusahaan sawit dan masyarakat sekitar) justru kepemilikan lahan menjadi tidak penting lagi ketika kesejahteraan dibangun dan dinikmati secara bersama-sama?
Dan karena Indonesia dengan karakter sebagai bangsa, terbentuk dari bersatunya kerajaan-kerajaan nusantara akan sangat penting untuk mencermati kembali ciri-ciri masyarakat kerajaan di masa lampau dan menerapkannya di republik yang demokratis sekarang ini. Kalau ternyata kita kesulitan, apakah tidak lebih indah jika kita beranikan diri kita dan bangsa kita bersatu sebagai kerajaan nusantara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H