Mohon tunggu...
Muhammad Quranul Kariem
Muhammad Quranul Kariem Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri

Dosen | Penulis, Pengamat, dan Analis Politik & Pemerintahan | Koordinator Politics and Public Policy Institute | Alumni Program Magister, Jusuf Kalla School of Government

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kesimbangan Hidup dalam Nilai-nilai Pancasila

31 Mei 2017   12:19 Diperbarui: 31 Mei 2017   12:38 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.inovasee.com/

Menilik tulisan dari Patrick K. Meyer di Republika tanggal 31 Mei 2017 yang berjudul Idealitas dan Realitas Pancasila, tulisan ini merupakan respon balik dari opini yang beliau tuliskan. Pancasila merupakan dasar dan falsafah hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, itu menjadi doktrin utama dalam pembentukan cara pandang mengenai Pancasila. Dalam opini tersebut disebutkan bahwa terdapat kritik idealitas dan realitas dalam kelima sila – sila dari Pancasila. Secara konseptual, Pancasila digali dan dibahas dalam sidang – sidang BPUPKI & PPKI dalam masa pra kemerdekaan, untuk menetukan suatu nilai dalam menjalankan negara.

Prinsip – prinsip dasar dari Pancasila telah sesuai dengan kondisi dan realitas social politik masyarakat Indonesia, dengan tambahan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ sebagai operasionalisasi kelima sila dalam Pancasila. Maksud Bhineka Tunggal Ika sebagai operasionalisasi adalah bahwa kondisi masyarakat yang sangat heterogen menjadi persoalan tersendiri untuk menerapkan falsafah hidup sebuah bangsa, berbeda dengan bangsa – bangsa Eropa atau Amerika yang cederung masyarakatnya homogen atau semi heterogen, sehingga semboyan itu menjadi sebuah pemahaman universal yang mampu menjadi framing dasar masyarakat. Dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 jelas disebutkan bahwa, tujuan daripada dibentuknya negara adalah untuk memenuhi pendidikan, kesejahteraan, perlindungan dan perdamaian dunia, yang dijalankan dengan prinsip dasar nilai Pancasila.

Pancasila menjadi sebuah kebenaran intelektual dalam konteks negara yang masyarakatnya sangat heterogen. Tidak ada negara di dunia ini yang mempunyai keberagaman masyarakat yang sangat luar biasa banyak selain Indonesia, oleh karena itu perlu ‘doktrin’ khusus yang mampu diterima secara pikiran dan nurani oleh masyarakat. Bahkan jika kita menilik dunia Internasional, contohnya Jerman dan Polandia tidak dapat bersatu, walaupun berasal dari suku yang sama. Contoh lain adalah Inggris dan Wales, juga mempunyai pandangan yang berbeda secara politik walaupun berada di territorial yang sama. Oleh karena itu, secara prinsip dalam idealitas, Pancasila sudah mampu menjawab tatangan heterogenitas masyarakat di Indonesia, setidaknya hampir 72 tahun lamanya, suatu doktrinasi yang tidak bisa dilakukan oleh negara manapun selain Indonesia, tanpa kekerasan dan kekuatan militer.

Patrik K. Meyer menunjukkan realitas yang tidak sejalan dengan idealitas Pancasila, sehingga perlu merekontruksi ulang nilai Pancasila, hal itu menjadi hal yang rancu, karena secara ideal, bukti 72 tahun heterogenitas (keberagaman) masyarakat telah terjaga dengan baik. Dalam hal realitas, sangat sederhana, pemerintah hanya perlu mengintegrasikan secara riil masing – masing dari tujuan negara itu dilaksanakan dengan prinsip lima sila Pancasila dalam hal perencanaan (planning) dan implementasi kebijakan (Policy Implementation). Misalnya dalam konteks mewujudkan kesejahteraan, program – program untuk mewujudkan kesejahteraan disesuaikan dan diseleraskan dengan prinsip nilai berdasarkan asas ketuhanan, ajaran – ajaran tuhan mengenai konsep kesejahteraan baik lahiriyah maupun batiniyah.

Kedua, kesejahteraan harus dilaksanakan beradasarkan asas kemanusiaan, dalam artian prioritas kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan harus difokuskan untuk ‘kesejahteraan’ masyarakat yang tidak mampu terlebih dahulu, dan selanjutnya untuk ‘kesejahteraan’ masyarakat menengah keatas. Ketiga, kesejahteraan harus diwujudkan dengan asas persatuan, oleh karena itu kesehteraan sebagai instrument pemenuhan hak dan kewajiban dasar masyarakat, agar senantiasa selalu bisa ‘bergotong royong’ dalam segala hal. Keempat, asas musyarawarah, sebagai instrument proses agregasi dan akulturasi kebijakan, agar mempunyai prinsip yang seimbang, tidak top downsentris, tidak pula down topsentris, sehingga ada ruang terbuka antara negara dengan masyarakat.

Kelima adalah, asas keadilan, yang artinya dalam program kesejahteraan harus melihat prinsip pemerataan untuk setiap warga negara. Pemerataan kesejahteraan menjadi realitas yang dapat diwujudkan dengan mendorong suatu program atau kebijakan pemerintah berdasarkan pada asas keadilan. Kesimpulannya jelas bahwa idealitas dan realitas Pancasila tidak perlu dipertanyakan atau direkontruksi, sebaliknya, Pancasila hanya perlu diintegrasikan secara kongkrit dalam setiap rumusan – rumusan kebijakan atau program pemerintah, agar dapat mendorong perwujudan daripada nilai sila – sila dalam Pancasila.

Penulis :

Muhammad Qur’anul Karim, S.IP.

Guru Pendidikan Kewarganegaraan, Muhammadiyah Boarding School Yogyakarta / Mahasiswa S2 Magister Ilmu Pemerintahan, UMY

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun