Masa depan Persebaya 1927 semakin tidak jelas mengarah suram. Hanya putusan pengadilan yang mungkin bisa menyelamatkan mereka. Sejak KLB beberapa bulan lalu tanda tanda kearah itu sebenarnya mulai nampak namun pasca dihentikannya IPL eksistensi Persebaya 1927 makin gelap. Bagaimanapun Persebaya 1927 adalah organisasii ( klub ) sepakbola jadi satu satunya bukti keberadaannya adalah dilapangan alias ikut kompetisi. Hal ini makin diperparah karena klub "kembaran" sekaligus saingannya Persebaya (thok) justru melenggang promosi ke ISL musim depan dan sepertinya mendapat dukungan finansial yang kuat. Berbanding terbalik dengan Persebaya 1927 yang meski didukung banyak Bonek dan klub anggota namun justru 'empot empotan' sejak ditinggal kabur cukong besarnya hingga mengalami kesulitan dana. Sebagai klub yang mengaku asli dan 'revolusioner' keadaan ini sungguh ironis.
Konon sepakbola Indonesia ini lekat dengan politik maka mau tidak mau saya menganalogikan masa depan dua Persebaya ini dengan sebuah partai politik yaitu PDI dan PDI-Perjuangan meskipun tidak sama persis. Bagi yang mengalami masa menjelang runtuhnya Orde Baru pasti tahu kisah dualisme PDI. Dimana atas campur tangan pemerintah puncaknya melalui peristiwa 27 Juli PDI terpecah jadi dua PDI Suryadi yang diakui pemerintah dan PDI Megawati yang lebih didukung massa namun tidak diakui penguasa ( mirip Persebaya 1927). Nasib baik bagi PDI Megawati. Orde Baru akhirnya runtuh dan demokrasi memulai babak baru di Indonesia. Karena PDI Suryadi masih diakui sebagai parpol maka mau gak mau PDI Mega harus rela mengubah namanya menjadi PDI-Perjuangan dan juga mengganti logo dari kepala banteng dengan banteng moncong putih. Seiring berjalannya waktu PDI-P lebih berumur panjang sampai kini sementara PDI (Suryadi) telah mati karena tidak mendapat dukungan pada pemilu 1999.
Keberadaan PDI-P hingga saat ini bisa jadi karena ada momentum reformasi 1998 yang dipicu oleh krisis ekonomi sehingga Orde Baru jatuh. Jika tidak ada krisis ekonomi dan Orde Baru masih berkuasa bisa jadi PDI Mega tetap hidup tapi tidak bisa ikut Pemilu. Namun ada perbedaan yang mendasar antara Persebaya 1927 dan PDI-P. Jika PDI-P karena reformasi & demokrasi justru membesar sebagai kekuatan politik di Indonesia sekaligus mengakhiri dualismenya secara konstitusional ( karena PDI Suryadi udah mati ). Tapi dualisme Persebaya dan awal kesuraman Persebaya 1927 justru berawal dari gerakan yang mereka klaim sebagai perubahan atau revolusi sepakbola Indonesia.
Sejak dimanfaatkan oleh pengurusnya untuk menjadi lokomotif penggulingan Nurdin Halid sejatinya Persebaya (1927) melakukan perjudian. Dengan ikut memelopori bergulirnya LPI secara tidak sadar mereka telah memakai cara yang lazim dalam politik yaitu liga tandingan/ pemberontakan. Pembenaran untuk melakukan pemberontakan itu didasarkan atas dalih "penzaliman" karena mereka (konon) dipaksa degradasi demi menyelamatkan Pelita Jaya. Celakanya kesimpulan "didholimi" ini hanya klaim sepihak meski ada indikasi kearah sana. Mereka lupa ini bukan arena politik tapi arena olahraga. Betapa seringnya kita disuguhi " pendhaliman" dalam olahraga dari level nasional sampai internasional. Bahkan Persebaya sendiri pernah "mendholimi" PSIS Semarang dengan sengaja mengalah 0 - 12 ketika lawan Persipura demi menyingkirkan klub Semarang itu tidak lolos ke Senayan pada jaman Perserikatan.
Cara politik yang dipakai Persebaya 1927 ( juga Persibo, Persema, PSM dan klub2 baru LPI ) pada saat itu menemukan momentumnya karena publik sudah begitu antipati pada kepemimpinan Nurdin Halid. Publik sepertinya mentolerir cara yang sebenarnya tidak sesuai untuk bidang olahraga karena yang dilawan adalah (katanya) 'mafia'. Membuat liga tandingan adalah preseden buruk bagi dunia olahraga. Terbukti kubu lawannya melakukan hal yang sama ketika mereka menggulirkan ISL sebagai liga tandingan ketika PSSI menjadikan IPL sebagai kompetisi resmi. " Kalo loe bisa bikin liga tandingan, mengapa gue tidak? " begitu mungkin pikiran para dedengkot KPSI. Monkey see monkey do.
Sejatinya kedua kubu sama sama menggunakan cara politis. Cara hukum hanya sebagai pemanis tambahan. Dan jika cara politik yang dipakai kuncinya hanya pada kuat kuatan finansial dan dukungan anggota dan massa.
Belajar dari kasus PDI sepertinya nasib Persebaya 1927 selain mengandalkan putusan pengadilan ( jika menang) juga membutuhkan momentum seperti krisis ekonomi 1997-98 atau dalam hal ini krisis kepemimpinan PSSI. Pertanyaannya kapan momentum itu datang? Sedangkan mayoritas publik sudah muak dengan konflik dalam tubuh PSSI. Apalagi bulan bulan ini publik sedikit merasakan 'bulan madu' dengan PSSI dengan penampilan gemilang timnas U-19. Terlebih publik juga sudah melihat apa yang terjadi ketika kaum revolusioner memegang PSSI.
Maaf saja revolusi itu dalam sejarah lebih identik dengan peristiwa politik kecuali revolusi industri di Inggris sana. Dalam konteks olahraga paradigma yang dilakukan oleh sebuah klub di dekat Yogya lebih pantas disebut revolusi yang sesungguhnya dibanding dengan teriakan teriakan penuh retorika namun nol besar dalam realitas.
- Salam kolomunyeng -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H