Bulan April 1944, datang perintah dari Markas Besar Jepang di Asia Tenggara kepada Jendral Nozaki untuk melepaskan wanita yang dipaksa untuk menjadi pekerja seks di Semarang. Perintah ini datang setelah seorang ibu dari kamp Halmahera di Semarang - ada sumber yang mengatakan dari kamp Ambarawa 9 - memprotes penangkapan paksa anaknya. Perkara ini didengar oleh Kolonel Odajima dari Markas Besar di Jakarta, yang kemudian menemui ibu tersebut dan merekomendasikan perkara pelepasan wanita tersebut ke Markas Besar Angkatan Darat ke-16 di Saigon.
Para wanita tersebut sebagian dipindahkan ke kamp Kota Paris di Bogor, kemudian ke kamp Kramat 3 di Jakarta. Tampaknya insiden jugun ianfu di Semarang merupakan hal yang problematik bagi petinggi angkatan darat Jepang, sehingga para wanita yang dipaksa menjadi pekerja seks mendapatkan perlakuan khusus di kamp yang mereka tempati setelahnya. Di Kamp Kota Paris sendiri, terdapat sekitar 200 wanita eks budak seks yang tinggal bersama keluarganya di tempat tersebut.
‘Di antara faktor-faktor lainnya, respon resmi yang cepat mengindikasikan bahwa pihak berwenang Jepang menyadari bahwa perekrutan perempuan secara paksa untuk tujuan prostitusi merupakan pelanggaran hukum internasional. Bahkan, pemerintah Jepang menandatangani perjanjian internasional yang melarang perdagangan perempuan dan anak perempuan pada tahun 1925; namun, sebuah ketentuan dalam perjanjian internasional mengizinkan penandatangan untuk tidak menerapkan hukum di daerah koloninya.’ Tulis Chunghee Sarah Soh, profesor antropologi di San Francisco State University, dalam The Comfort Women: Sexual Violence and Postcolonial Memory in Korea and Japan.Â
Tidak hanya orang Eropa yang dijadikan sasaran, menurut George L Hicks dalam bukunya The Comfort Women : Japanese Brutal Regime of Enforced Prostitution in the Second World War, di rumah bordil Shoko Club terdapat 100 orang lokal, India, Tionghoa, dan Jawa yang diinspeksi disana. Tujuh belas orang dari mereka kemudian dikirim ke Flores, Nusa Tenggara Timur. Tidak seperti wanita Eropa yang kisahnya banyak dibahas -karena disidangkan di pengadilan militer pada tahun 1948 di Jakarta, tidak banyak yang diketahui mengenai nasib para wanita Indonesia yang saat itu dijadikan budak seks oleh Jepang.Â
Di akhir perang Kolonel Okubo yang menginisiasi berdirinya rumah bordil di Semarang, mengakhiri hidupnya di Jepang ketika proses penyelidikan. Ia meninggalkan catatan bahwa ia bertanggung jawab sepenuhnya perekrutan wanita di Semarang dan Ambarawa. Para terdakwa utama, seperti Jendral Nozaki bunuh diri di penjara, Kolonel Ikeda dihukum lima belas tahun penjara, dan Mayor Okada dihukum mati. Delapan perwira dihukum dari tujuh hingga dua puluh tahun penjara. Seorang penerjemah dihukum dua tahun penjara dan dua orang perwira medis mendapatkan hukuman ringan karena mengabaikan kesehatan dari para wanita. Beberapa terdakwa mengaku mengelabui korban dengan menawari mereka bekerja sebagai pelayan.
Sumber Pustaka :
Hicks, George L. (1995). The comfort women : Japan's brutal regime of enforced prostitution in the Second World War. New York :W.W. Norton & Co.,
Ruff-O'Herne J. (1994). 50 Years of silence. Editions Tom Thompson. Retrieved August 7 2023 from http://catalog.hathitrust.org/api/volumes/oclc/32704012.html.
Schedlmayer, Nina. (2020). Art Biography : Margot Pilz. Leben. Kunst. Leykam Buchverlag
Post, Peter. & Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie. Â (2010). Â The encyclopedia of Indonesia in the Pacific War : in cooperation with the Netherlands Institute for War Documentation. Â Leiden ; Boston : Â Brill
Yamamoto, Mayumi. (2012). Whispers and Gazes: A Postscript to the Semarang Comfort Women Incident. Waseda University.