Para transmigran berdatangan untuk menggerakkan roda perekonomian Timor Timur. Para guru dan dokter didatangkan sehingga tingkat kesehatan dan pendidikan rakyat Timor Timur meningkat dengan cepat dibanding masa kolonial Portugis. Penggunaan bahasa Portugis dihapuskan dan diganti bahasa Indonesia untuk mengintegrasikan masyarakat Timor Timur dengan masyarakat Indonesia lainnya. Namun masyarakat Timor Timur tidak begitu terkejut dengan penggunaan bahasa Indonesia berkat jasa-jasa para tokoh APODETI yang dulu memromosikan bahasa Indonesia ke masyarakat Timor Timur. Tidak sedikit putra-putri Timor Timur yang melanjutkan studi hingga ke Pulau Jawa khususnya di Yogyakarta. Walaupun pihak separatis terus "menggonggong" menuduh TNI melakukan pembantaian terhadap orang-orang Timor Timur, ternyata ada banyak putra asli Timor Timur yang turut mengabdi menjadi prajurit TNI.
Namun PBB tidak pernah mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Setelah mencairnya Perang Dingin, Amerika Serikat dan Australia yang dulu mendukung Indonesia untuk segera menyatukan Timor Timur kini menjegal Indonesia dengan berbalik menuduh Indonesia telah menduduki Timor Timur dan melakukan pelanggaran HAM berat. Suatu tindakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia. Australia dan Portugal membantu perjuangan diplomasi FRETILIN dan CNRT (Conselho Nacional de Resistencia Timorense, partai pecahan FRETILIN) sedangkan Indonesia harus berjuang sendiri. Untungnya ada beberapa negara mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia yaitu negara-negara ASEAN, Argentina, Arab Saudi, Irak, dll. Mengapa Australia dengan begitu munafik mendukung kemerdekaan Timor Timur? Karena Australia ingin menguasai ladang minyak di Celah Timor (Timor Gap). Australia dahulu mendukung proses integrasi Timor Timur ke Indonesia hanya karena takut bahaya komunis akan mencapai garis depan Australia jika Timor Leste merdeka sebab FRETILIN beraliran komunis.
Gerakan separatis semakin kuat dan kekacauan terjadi di seluruh Timor Timur. Untuk itu, ABRI segera membentuk berbagai kelompok milisi pro integrasi yang terdiri dari putra-putra asli Timor Timur. Nama-nama kelompok milisi yang dibentuk : Gadapaksi (Garda muda penegak integrasi), BMP (Besi Merah Putih), Saka, Sera, Mahidi (Mati hidup dengan Indonesia), Makikit, Halilintar, dll. Komando tertinggi kelompok-kelompok milisi tersebut berada di tangan Joao da Silva Tavares selaku panglima PPI (Pejuang Pro Integrasi). Para milisi siap menyerang pemberontak FALINTIL (Forcas Armadas da Libertacao Nacional de Timor Leste, sayap militer CNRT) dan para pendukung kemerdekaan dan menghancurkan tempat-tempat yang dianggap milik para pendukung kemerdekaan demi memertahankan integrasi. Salah satu aksi para milisi yakni mengepung dan menghancurkan rumah seorang tokoh CNRT, Manuel Viegas Carrascalao, sebab selama ini rumah tersebut dipakai untuk menampung 124 pendukung kemerdekaan. Di satu sisi, para pendukung kemerdekaan juga melakukan hal yang sama kepada para pendukung integrasi. Monumen Pancasila di Vikeke tidak luput menjadi salah satu sasaran pengrusakan kelompok pro kemerdekaan. Banyak warga sipil yang mengungsi ke perbatasan NTT untuk menghindari kekerasan yang terjadi di Timor Timur.
Setelah rezim Orde Baru jatuh, tahun 1999, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie memutuskan untuk mengadakan referendum. Referendum tersebut penuh dengan kecurangan. Referendum tersebut berada di bawah tanggung jawab UNAMET (United Nations Mission in East Timor) dan dipenuhi dengan berbagai kecurangan. Perekrutan local staff diambil hanya dari orang-orang yang pro kemerdekaan atau yang akan memilih opsi merdeka. Sebagian besar lokasi TPS terletak di dekat pemukiman masyarakat pro kemerdekaan. Para orangtua dan saudara yang memiliki anak atau saudara anggota milisi pro integrasi dilarang memilih. Banyak orangtua yang dipaksa bahkan diancam untuk memilih opsi merdeka. Tanggal 5 Agustus 1999 di Bobonaro, salah seorang anggota UNAMET yang bertugas menerima pendaftaran berkata : "Kedatangan UNAMET hanya untuk bekerjasama dengan FALINTIL, bukan dengan Indonesia." Akibat dari ucapan ini, sempat terjadi keributan dengan pihak pro integrasi. Pernah juga terjadi kejadian di mana beberapa petugas Palang Merah asal Australia ditangkap karena membawa kartu referendum yang opsi merdeka telah dilubangi. Hasilnya 79% memilih merdeka, 21% memilih tetap bersatu dengan otonomi luas. Pertikaian kembali pecah pasca referendum karena para pendukung integrasi merasa kesal atas kecurangan yang terjadi selama referendum. Bagaimanapun Indonesia dengan terpaksa harus mengakui hasil referendum tersebut.
Masa Disintegrasi dari Indonesia
Timor Timur berada di bawah PBB hingga tahun 2002. Tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur resmi diakui kemerdekaannya secara internasional. Timor Timur menjadi sebuah negara dengan nama "Republik Demokratik Timor Leste". Kay Rala Xanana Gusmao menjadi presiden pertama dan Mari Bin Amude Alkatiri menjadi perdana menteri pertama negara itu setelah melepaskan diri dari NKRI tahun 2002.
Walaupun telah merdeka, rakyat Timor Leste tetap hidup dalam kemiskinan bahkan semakin melarat. GNP per kapita yang awalnya $1500 turun drastis menjadi $300. Penggunaan dolar AS sebagai mata uang Timor Leste menyebabkan standar hidup menjadi tinggi dan daya beli masyarakat menurun. Australia akhirnya berhasil memeroleh keinginannya, ladang minyak Celah Timor. Berdasarkan perjanjian, 80% hasil dari ladang minyak tersebut untuk Australia dan hanya 20% untuk Timor Leste. Harga BBM di Timor Leste sangat mahal sehingga tidak jarang mobil-mobil orang Timor Leste "minum" premium bersubsidi di Timor Barat padahal mereka tidak pantas mendapatkan itu sebab mereka bukan lagi warga negara Indonesia.
Pemerintah Timor Leste menerapkan bahasa Portugis dan bahasa Tetum sebagai bahasa nasional tetapi bahasa Portugis yang lebih diutamakan. Dengan begitu, pemerintah Timor Leste telah "sukses" memundurkan Timor Leste hingga 30 tahun ke belakang. Dalam semalam rakyat Timor Leste menjadi buta bahasa karena pada faktanya hanya kurang dari 3% dari seluruh penduduk Timor Leste yang fasih menggunakan bahasa Portugis. Sebagian besar yang bisa berbahasa Portugis berasal dari generasi tua. Mayoritas penduduk Timor Leste justru fasih berbahasa Indonesia karena selama 24 tahun mereka hidup bersatu dengan Indonesia.
Akibat dari kebijakan bahasa itu, wajah pendidikan Timor Leste turut menjadi bobrok. Sekolah diliburkan selama sembilan bulan hanya untuk memberi kursus bahasa Portugis kepada para guru Timor Leste. Pemerintah juga menawarkan kepada para pelajar beasiswa untuk melanjutkan studi di Portugal. Hasilnya banyak di antara mereka yang gagal dalam studi. Mereka hanya mendapat pelatihan bahasa Portugis selama lima bulan sebelum berangkat ke Portugal. Untuk ujian saringannya saja menggunakan bahasa Indonesia.
Pertikaian antar etnis juga sering terjadi. Pada tanggal 8 Februari 2006, lebih dari 400 pasukan Timor Leste etnis Loro Monu melakukan aksi mogok sebagai aksi protes karena merasa didiskriminasi. Pemerintah memecat sebanyak 594 pasukan etnis Loro Monu. Para prajurit desertir di bawah Mayor Alfredo Alves Reinado segera melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Kerusuhan juga terjadi di seluruh penjuru Timor Leste. Ratusan bangunan dibakar dan dijarah, sementara 20 orang dilaporkan tewas dalam pertikaian antara etnis Loro Monu dan Loro Sa'e. Pemerintah Dili tidak dapat mengendalikan pemberontakan tersebut hingga meminta bantuan militer Australia, Portugal, Selandia Baru, dan Malaysia tetapi hanya tentara Australia yang datang.
Pasukan PBB pun akhirnya turun tangan menjaga keamanan dan ketertiban di Timor Leste. Tanggal 29 Mei 2006, ratusan orang berdemonstrasi di luar istana presiden sambil meneriakkan yel-yel anti PM Mari Alkatiri karena pemerintahannya dianggap gagal. Di hari yang sama, sebuah gudang pangan milik pemerintah Timor Leste di lain tempat turut dijarah. Pada tanggal 11 Februari 2008, Presiden Jose Manuel Ramos Horta nyaris terbunuh oleh tembakan anak buah Mayor Alfredo Reinado, Amaro da Costa. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya keamanan di Timor Leste. Mayor Alfredo Reinado sendiri tewas beberapa hari kemudian. Tugas pasukan PBB di Timor Leste berakhir pada bulan Desember 2012 dan keamanan dan ketertiban kembali diserahkan kepada pemerintah Timor Leste.