Mohon tunggu...
Anto Mohsin
Anto Mohsin Mohon Tunggu... Dosen -

Sebelumnya kuliah dan bekerja di AS. Sekarang mengajar di Qatar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kampanye Calon DKI-1 dan DKI-2, Beberapa Pertanyaan

25 Maret 2012   08:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:31 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak pendaftaran untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta ditutup hari Senin kemarin, media massa tidak henti-hentinya memberitakan keenam pasangan yang bakal bertarung bulan Juli nanti.  Sayangnya dari artikel-artikel yang saya baca, baik itu di detik.com, Kompas, Tempointeraktif.com atau situs lainnya tidak banyak yang kritis menelaah umbaran janji atau strategi yang dipakai para calon untuk pencintraan dan menarik simpati pemilih.

Belum banyak reportase yang memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang para kandidat. Ada satu artikel malah membahas apa arti pakaian yang mereka kenakan ketika datang ke kantor KPUD. Hal yang sebetulnya kurang penting dibanding substansi pencalonan mereka.

Ketika saya membaca artikel-artikel yang kebanyakan isinya hanya pembeberan fakta saja (dari mulai parpol yang mendukung sampai laporan harta kekayaan masing-masing calon pejabat), banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya:

Sudah menjadi rahasia umum, parpol mengusung calonnya masing-masing untuk memuluskan pemilihan umum 2014 nanti. Tapi bagaimana peta politik yang sedang dibentuk sebenarnya? Apa implikasinya nanti jika pasangan tertentu terpilih jadi DKI-1 dan DKI-2?

Parpol memang melakukan transaksi dalam mendukung cagub dan cawagub Jakarta. Tapi apa arti transaksi mereka? Kita bisa amati misalnya, ada pasangan dari Partai Golkar yang mengundurkan diri (Ahok) tapi Golkar secara resmi dukung Alex-Nono. PAN awalnya koalisi dengan PD dukung Foke-Nachrowi, tapi lantas berubah sikap dukung Hidayat-Didik. Dan yang paling mencolok, Hanura dengan mottonya "HANURA TAK AKAN KHIANATI RAKYAT" malah mendukung Foke-Nachrowi. Padahal bukannya Foke yang sudah hampir 15 tahun jadi pemimpin DKI (dia wagubnya Sutiyoso dulu) ngga berbuat banyak untuk kebanyakan rakyat Jakarta?

Kalau dua pasang kandidat independen duitnya ngga sebanyak calon dari parpol, kenapa mereka tidak membuka pendaftaran relawan untuk membantu kampanye mereka? Kenapa kesempatan ini justru direbut pasangan Jokowi-Ahok? Apa arti keterlibatan relawan bagi masing-masing calon?

Kenapa tidak ada penjelasan tambahan mengenai laporan kekayaan beberapa penjabat? Foke misalnya diberitakan hartanya nambah Rp 13,8 milyar dalam tiga tahun. Dari mana dia bisa dapat duit sebanyak itu? Jokowi juga hartanya naik Rp 2 milyar dalam 2 tahun dan dia punya tujuh mobil! Ngga satupun mobil Esemka :) Dan kenapa Alex Noerdin yang sudah jadi kepala daerah sejak 2001 baru sekali melapor kekayaannya? Apa yang ingin dia tutupi?

Masalah utama Jakarta macet dan banjir. Tapi kenapa beberapa kandidat hanya menggantungkan "solusi" dengan teknologi seperti buat monorail dan banjir kanal? Kenapa mereka terlalu percaya kalau teknologi dapat mengatasi semuanya? Apa mereka tidak memikirkan problem-problem lain yang terkait yang tidak melulu dapat diselesaikan dengan teknologi?

Yang tak kalah penting, mana suara warga Jakarta???!! Bukankah keinginan kami juga perlu ditampung media supaya para kandidat itu tahu pendapat warga kota yang bakal dipimpinnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun