Ada kumpulan cerpen baru yang baru saja dapat penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa yang cukup prestisius itu. Judulnya "Semua Untuk Hindia", dikarang oleh Iksaka Banu. Saya belum baca bukunya tapi setelah baca resensi yang ditulis oleh Ariel Heryanto di jurnal Inside Indonesia, jadi pengen cari dan beli buku ini di Indonesia. Atau kalau ngga dapat di toko buku entah karena habis cetak atau diumpetin, biasanya saya nunggu barang satu atau dua tahun supaya bisa pinjam dari salah satu perpustakaan universitas di AS. Dulu waktu di Cornell gampang sekali cari buku-buku yang terbit di Indonesia. Sekarang di Doha, ya harus lewat fasilitas peminjaman antar universitas (inter library loan).
Membaca resensi Pak Ariel ttg buku ini mengingatkan saya pada buku yang ditulis oleh sejarawan Bambang Purwanto yang berjudul "Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!" dan bukunya Rudolf Mrazek "Engineers of Happy Land."
Kumpulan cerpen Pak Iksaka dan bukunya Pak Bambang sebenarnya punya pesan yang sama: kaji dan tulis sejarah dengan segala kompleksitas dan kemajemukaanya. Sudah waktunya penulisan sejarah Indonesia (terutama jaman kolonial) bukan melulu soal "orang Indonesia" perang lawan "orang Belanda." Â Antara kami dan mereka. Antara orang bule kulit putih dan orang-orang Indonesia berkulit coklat. Seperti yang Pak Ariel tulis diresensinya bukan semua orang putih di Hindia Belanda itu orang Belanda, tidak semua orang bule mendukung "penjajahan", dan tidak semua orang berkulit coklat menentang "penjajahan" (bahkan justru ada yang lebih kejam menganiyaya bangsanya sendiri). Contoh-contoh kolaborasi, konflik, dan percintaan antara berbagai manusia yang membaur di Hindia Belanda sangat banyak.
Menurut Pak Bambang, penulisan sejarah Indonesiasentris mungkin dulu ada gunaya untuk mendukung proses dekoloniasasi politik, tapi sudah waktunya cara penulisan sejarah Indonesia baru yang bukan Indonesia sentris dilakukan supaya orang Indonesia bisa melakukan proses dekolonisasi imaginasi (ngga melulu terperangkap oleh pemahaman masa lalu yang sangat dangkal).
Kejadian-kejadian di masa lalu di tempat yang namanya Hindia Belanda yang kemudian jadi Republik Indonesia ini (belakangan ini kok jadi NKRI ya? Mulai kapan sih NK-nya disisipin jadi nama resmi?) sungguh kompleks, seperti yang digambarkan (menurut Pak Ariel) di bukunya Iksaka Banu. Sebenarnya hal yang serupa juga sudah diceritakan oleh Pram di Tetralogi Burunya. Nyai Ontosoroh yang nikah sama orang Belanda misalnya, sudah diperkenalkan di awal cerita. Minke juga ketemu dengan satu karakter orang Perancis yang nikah sama wanita Aceh. Minke sendiri nikah sama anak perempuannya Nyai yang Indo.
Tapi kenapa walau novel-novelnya Pram sudah banyak yang beli dan baca "sejarah Indonesia" versi monoton pemerintah masih mencengkram imaginasi publik Indonesia? Bahkan hal yang sama juga terjadi dengan bukunya Pak Iksana seperti yang diceritakan Pak Ariel diresensinya. Banyak resensi yang ditulis mengenai "Semua Untuk Hindia," seperti tidak mampu melihat pesan-pesan "subversif" di cerpen-cerpen yang dikarang Pak Iksana. Menurut saya salah satu sebabnya ya karena indoktrinasi satu versi. Generasi saya mungkin masih ingat mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Garing abis! Sebab lainnya kecendrungan melihat segala hal secara "hitam putih". Tidak ada ruang untuk abu-abu. Masih sulit misalnya bagi banyak orang Indonesia untuk menelaah secara kritis peran Bung Tomo di Perang Surabaya atau motivasi Pangeran Diponegoro melancarkan Perang Jawanya.
Bukunya Pak Rudolf isinya kurang lebih begitu juga. Hanya saja dia fokusnya mengenai teknologi. Tidak semua teknologi yang dibangun dan diperkenalkan di Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial. Ada juga yang diadopsi untuk "kepentingan nasional". Contohnya teknologi radio. Di tahun 1941 ada satu stasiun radio yang gemar memutar lagu-lagu kroncong. Stasiun ini juga menerbitkan jurnal Soeara Timoer. Beberapa penulis dan penyuntingnya kemudian jadi orang penting republik. Teknologi seperti listrik memang dibangun dan disalurkan bagi beberapa kalangan elit dan ke tempat-tempat tertentu saja seperti sentra-sentra produksi. Tapi juga dibangun di beberapa kota. Di Batavia tahun 1912 misalnya, lampu jalan listrik lebih banyak dipasang ketimbang di Amsterdam di tahun yang sama. Listrik juga secara tidak langsung memperkenalkan para pembaca Pandji Poestaka konsep modernitas dan nasionalisme.
Jadi, beberapa teknologi yang diperkenalkan di Hindia Belanda memang ada yang dibangun oleh tenaga otot orang-orang lokal dan sebagian besar untuk kepentingan pemerintah kolonial. Tapi ada juga yang diadopsi untuk lantas digunakan sebagai alat utk menumbuhkan kesadaran nasionalisme.
Ceritanya sangat kompleks, saudara-saudara!
Resensinya Pak Ariel Heryanto (dalam Bahasa Inggris) bisa dibaca disini.
Â