Mohon tunggu...
Anto Mohsin
Anto Mohsin Mohon Tunggu... Dosen -

Sebelumnya kuliah dan bekerja di AS. Sekarang mengajar di Qatar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ruginya Bangsa Indonesia Memiliki Negara Kepulauan

21 Juli 2013   10:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:15 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di pertengahan tahun 1980an saya pernah tinggal di Singapura. Beberapa kali dengan orang tua saya pernah mengunjungi kota Johor Bahru dan Kuala Lumpur (lebih sering disebut KL oleh orang lokal). Itu sudah hampir tiga puluh tahunan lebih. Sekarang ini saya sedang berada di KL sedang jalan-jalan dengan keluarga.

KL hari ini sangat beda dengan KL dulu yang saya ingat. Beberapa bangunan seperti Masjid Jamek masih ada.  Tapi beberapa bangunan baru mulai telah muncul seperti Kuala Lumpur City Center (KLCC) tempat menara kembar Petronas berdiri.

Mungkin perubahan yang sangat jelas adalah sistem transportasi publik yang tersedia seperti KL monorail yang menghubungkan stasiun kereta KL Sentral ke beberapa daerah seperti Bukit Bintang dan jaringan Light Rail Transit yang dapat menngangkat penumpang dari KL Sentral ke KLCC. Ada juga bus Go KL City Bus yang mengangkat penumpang gratis mengelili kota KL.

Jaringan Keretapi Tanah Melayu (KTM) yang sudah lama ada masih berjalan dengan baik. Stasiun-stasiun keretanya dan gerbong-gerbong kereta apinya cukup bagus dan bersih. Bagaimana tidak. Selama kami naik kereta api dari Johor Bahru ke KL hari Jumat kemarin (7/19), ada petugas yang selalu mondar-mandir mengambil sampah dan membesihkan toilet secara berkala. Budaya memelihara sudah menjadi bagian dari denyut nadi orang-orang Malaysia.

Istri saya yang pernah naik kereta api di Indonesia dari Surabaya ke Bandung  tidak ingat kalau ada petugas serupa yang rajin menjaga kebersihan. Padahal waktu itu dia naik di gerbong kelas satu katanya. Mungkin kritik paling keras tentang perkereta apian Indonesia dilontarkan oleh Andre Vltcheck yang menulis betapa parahnya moda transportasi publik kita ini dan pemandangan mengenaskan yang terlihat di luar jendela sepanjang rel kereta api.

Setelah saya renungkan sedikit, saya sadar Malaysia yang masyarakat dan teknologinya tertata lebih rapi dan teratur daripada Indonesia terbentuk oleh beberapa faktor.

Pertama, ada faktor sejarah di mana Inggris lah yang membangun jaringan KTM di Semenanjung Malaya semenjak era kolonial.  Sehingga kereta api sebagai moda transportasi publik telah lama diperkenalkan kepada masyarakat di sini.

Kedua, faktor geografi. Semenanjung Malaya merupakan satu daratan panjang yang memungkinkan dibangunkannya jaringan kereta api yang menghubungkan beberapa negara. Jaringan KTM tersambung dari Singapura sampai ke Thailand.

Ketiga, adanya komunitas ekonomi politik ASEAN yang memudahkan warga negara anggotanya bepergian di dalam kawasan ini tanpa visa.

Keempat, gabungan ketiga faktor di atas. Karena adanya sistem transportasi massal yang menghubungkan Malaysia dengan negara tetangganya, ditambah dengan kemudahan bagi warganya mengunjungi Singapura dan Thailand, perputaran dan pertukaran orang, barang, jasa, dan ide bisa terjadi lebih sering dan lebih cepat.

Orang-orang Malaysia yang sering datang ke Singapura (bisa naik kereta, bus, atau mobil) dapat melihat bagaimana infrastruktur Singapura tertata cukup baik dan tentu menginginkan keadaan yang sama di negaranya. Begitu juga ketika mereka melancong ke Thailand. Arus manusia beserta ide berjalan lebih sering dan lebih cepat.

Dalam hal ini Indonesia sebagai negara kepulauan merugi. Orang-orang kita sering berbangga kalau wilayah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Apalagi ditambah dengan Wawasan Nusantara yang menghubungkan laut-laut di dalam kepulauan kita sehingga negara kita menjadi teritorial yang utuh dan berdaulat. Keduanya memang benar dan cukup membanggakan. Tapi sedikit yang sadar bahwa sebenarnya kita hidup terisolasi karena tinggal di negara kepulauan.

Jutaan manusia Jakarta (dan juga yang tinggal di kota-kota lain di Indonesia) belum pernah pergi ke luar kota Jakarta mengunjungi Singapura, KL, atau Bangkok. Mereka tidak tahu bagaimana mudahnya warga ketiga kota itu bergerak dalam kota dan bagaimana pemerintah mereka berdedikasi tinggi menyediakan infrastruktur yang dapat menciptakan kota yang layak huni bagi semua.

Sebenarnya bukan tidak ada orang-orang Indonesia yang sudah berkunjung ke Singapura, KL, Bangkok atau kota-kota lain di negara-negara yang lebih tertata dengan baik. Tapi sampai belakangan ini dengan adanya pesawat yang murah dan pembebasan fiskal, jumlah orang Indonesia yang mengunjungi tempat-tempat di luar negeri sedikit dibanding jumlah total penduduk Indonesia. Sehingga arus pergerakan orang sedikit. Jumlah ide yang mengalir pun jadi lebih sedikit karena orang-orang yang mampu bepergian ini jarang bicara dengan orang-orang Indonesia yang kurang mampu lainnya.

Keadaan ini diperparah oleh sikap para elit yang kurang peduli dengan kondisi di Indonesia. Teruatama banyak para anggota DPR yang doyan melancong dengan kedok studi banding.  Ketika mereka bepergian ke luar negeri, mereka dengan senang hati mengikuti peraturan dan menikmati bentuk dan gaya kehidupan di tempat yang mereka kunjungi. Tetapi ketika mereka pulang kembali ke tanah air, sedikit yang ingin menjadikan kondisi serupa terwujud di Indonesia. Sepertinya arus yang mereka tentang terlalu kuat sehingga mereka merasa nyaman tidak berbuat apa-apa.

Saya berharap, semoga tulisan ini, yang saya tulis dalam Bahasa Indonesia, bisa menjadi satu bentuk mengalirnya ide-ide baru di tanah air. Sudah saatnya lebih banyak orang Indonesia menuntut negaranya, kotanya, pengelolaan daerahnya menjadi lebih baik. Ini bukan soal membanding-bandingkan dengan negara tetangga. Tetapi lebih merupakan menciptakan kondisi yang lebih layak untuk hidup dan tinggal dengan nyaman di bumi Indonesia.

Anto Mohsin sedang melancong ke beberapa kota di negeri jiran saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun